Jumat, 02 November 2018

Zuhud

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Sebagai upaya menambah materi pelajaran dari apa yang kudapat di Daruzzahro, aku mengambil les privat dari Ustadzah Maryam, Puteri Habib Ali Masyhur, mufti (orang yang berwenang memberi jawaban terhadap permasalahan umat) Tarim saat ini. Beliau adalah seorang ustadzah yang aktif bergerak dalam bidang dakwah dan juga mengajar di Darul faqih, sebuah madrasah khusus puteri yang ada di Tarim ini juga. Aku belajar memahami tentang hadits-hadits Rosulullah SAW dari beliau seminggu sekali.

Sore ini beliau mengupas hadits :
“Zuhudlah (hilangkan dari hatimu kecintaan) terhadap harta dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah (hilangkan dar hatimu keinginan) terhadap apa yang dimiliki orang lain niscaya engkau akan dicintai mereka.”

Ustadzah Maryam kemudian menjelaskan padaku arti zuhud dan gambarannya dalam praktek kehidupan manusia. Seperti keteladanan Nabi Muhammad SAW yang lebih memilih untuk mengganjal perutnya dengan batu karena menahan lapar dan rela tidur di atas tikar usang darpada selalu kenyang dan hidup dalam kenyamanan. Atau seperti Nabi Isa AS yang sampai hari beliau diangkat ke langit tak pernah memiliki rumah sebagai tempat tinggal. Begitu juga para hamba-hamba pilihan Allah yang lebih memilih untuk meninggalkan kesenangan dunia demi meraih kebahagiaan akhirat.

Aku jadi tertarik dan bertanya:
“Ustadzah, masih tersisakah di zaman sekarang ini orang yang bersifat zuhud, sementara godaan untuk mementingkan dunia sedemikian beratnya?”

“Tentu masih ada” jawab beliau.

“Di dunia ini masih akan selalu asa hamba-hamba pilihan Allah yang memahami untuk apa mereka di ciptakan, mereka menyadari hakikat dunia yang esok atau lusa akan mereka tinggalkan. Mereka berhasil meyakinkan diri bahwa taka da yang akan mereka bawa ketika masuk kubur nanti kecuali kain kafan, dan bahwa dunia yang tampak menyenangkan ini hanya akan menyisakan hisab (perhitungan dan pertanggung jawaban di hari kiamat) yang panjang. Mereka sungguh orang-orang yang pandai, tak mau senang sesaat namun kemudian membawa petaka yang maha berat. Tak menginginkan kebahagian sebentar tetapi membawa penyesalan berkepanjangan”
Sejenak beliau diam dan minum segelas air putih di hadapannya lalu beliau melanjutkan penjelasannya:
“Pertanyaanmu tadi mengingatkanku akan kejadian kemarin, ketika aku sedang berada di Madrasah Darul Faqih pada jam istirahat. Kala itu aku sedang berada di kantor dengan beberapa orang guru, tiba-tiba seorang anak remaja memanggilku dan memintaku mendekat, aku lalu mengajaknya menepi di sudut ruangan untuk berbicara dengannya.

“Ustadzah, aku harap ustadzah berkenan menjadi saksi untuk ibuku.”
Aku mendengarkannya, dengan lebih serius.

“Saksi atas apa, nak?”

“Ibuku sepanjang hidupnya tak memiliki apapun kecuali 2 buah baju. Satu ia kenakan sementara yang lain ia cuci. Ia juga hanya memiliki 2 buah kerudung, mukena, sepasang sandal, sebuah sisir, cermin, piring, Al-Qur’an, tasbih dan sajadah. Dia tak memegan satu sen pun uang, tak memiliki perhiasan, rumah, barang, atau perabot apapun. Di masa tuanya beliau tinggal dengan kakak tertuaku. Apabila salah satu dari anaknya memberinya uang, dia akan menerimanya dengan senang hati dan mendoakannya namun keesokan harinya uang tersebut sudah tidak lahi di tangannya.
Dan ketika beberapa hari yang lalu seseorang memberinya hadiah selembar kain, beliau berkata:
“Jika umurku sampai Ramadhan nanti, jahitkan kain ini untuk baju sholatku sebagai pengganti mukena yang lama. Namun jika tidak, tolong berikan kepada ‘si fulanah’ yang rumahnya disana, kulihat mukena yang di pakainya terlihat usang dan tak lagi layak di pakai.

Anak remaja di hadapanku menunduk, dia menyembunyikan air matanya yang perlahan menetes sebelum akhirnya kemudian berkata:
“Ustadzah” panggilnya lirih
“Ibuku meninngal tiga hari yang lalu… ku harap ustadzah berkenan menjadi saksi bahwa beliau telah berhasil menjalani kehidupan seperti yang diinginkannya. Karena setiap kali aku protes dengan caranya menolak harta dunia dia selalu berkata:

“Tahukah kau nak? Cita-citaku adalah termasuk dalam kelompok orang yang di ceritakan nabi Muhammad SAW bahwa saat proses hisab masih berlangsung, dan Shirotol mustaqim (jembatan yang tebentang di atas neraka jahannam yang harus dilewati setiap manusia untuk menuju syurga) masih dibentangkan, ada sekelompok orang yang telah menanti Nabi Muhammad SAW di pintu-pintu syurga, hingga malaikat bertanya ;

“Siapakah kalian yang telah berada disini padahal proses hisab masih berlangsung dan belum selesai?”

“Kami adalah sekelompok orang dari Umat Nabi Muhammad SAW yang keluar dari dunia seperti kami masuk ke dalamnya. Tak ada yang harus di hisab dari kami..” jawab mereka
Anakku… aku ingin keluar dari dunia ini tanpa membawa apapun kecuali sekedar yang aku perlukan untuk bertahan hidup sehingga tak harus ada proses hisab yang panjang menantiku di depan.”
Begitu selalu jawab ibuku dan dia berhasil menjalani hidupnya tepat seperti yang dia mau. Aku bercerita padamu agar kelak engkau berkenan menjadi saksi kebaikannya” kata remaja itu mengakahiri ceritanya..”

Aku takjub mendengar cerita Ustadzah Maryam dan kagum luar biasa pada wanita yang beliau ceritakan itu.

Betapa sederhana hidup sesungguhnya… Ya sangat sederhana, andai kita tidak menganggap penting sesuatu yang sebenarnya memang tidaklah penting. Harta dunia yang karenanya banyak orang berlomba hingga mau berbuat apapun untuk meraihnya, pada akhirnya akan ditinggalkan begitu saja.
Hidup ini sederhana saja sebenarnya.. Kita sendirinya yang suka membuat sesuatu menjadi lebih rumit. Cinta dunia sering kali mengelabui kita dari memahami makna hidup yang sesungguhnya.

Tarim 2000

0 komentar:

Posting Komentar

 
;