Senin, 21 September 2020 0 komentar

Manaqib Habib Hasan bin Soleh Al-Bahr Al-Jufri

بسم الله الرّحمن الرّحيم



Nasab

Nasab beliau bersambung sampai Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam: Hasan Al-Bahr bin Saleh bin Idrus bin Abu Bakar bin Hadi bin Sa’id bin Syeikhon bin Alwi bin Abdullah At-Tarisi bin Alwi bin Abu Bakar Al-Jufri bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Sohib Mirbath bin Ali Kholi’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’afar As-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Fatimah Az-Zahra binti Rasulillah Shalallahu 'Alaihi Wasallam.

Tempat Kediaman

Beliau lahir di kota Kholi’ Rasyid (Houthoh) tahun 1191 H. Ketika berusia 2 tahun, ayah beliau meninggal dunia. Beliau kemudian diasuh dan dibesarkan oleh ibu dan kakeknya, Sayid Idrus bin Abubakar Al-Jufriy, di kota di Dzi Isbah. 

Guru Dan Muridnya

Beliau menuntut ilmu dari sejumlah ulama di zamannya, misalnya: Al-Allamah Umar bin Zein bin Smith, Syeikh Abdullah bin Semair, Habib Umar bin Ahmad bin Hasan Al-Haddad, dan Habib Alwi bin Segaf bin Muhammad bin Umar Assegaf. Syeikh fath beliau dalam (ilmu) dhohir dan bathin adalah Habib Umar bin Segaf bin Muhammad bin Umar Assegaf.

Beliau memiliki murid-murid yang tersebar ke berbagai penjuru dunia, timur maupun barat. Mereka menyebarluaskan ilmu-ilmu agama dan tasawuf yang telah mereka pelajari dari Habib Hasan. Pernah dikatakan bahwa tidak ada seorang alim, pelajar atau sufi pun di Hadhramaut yang tidak pernah belajar kepada beliau. Di antara murid beliau adalah Sayid Hamid bin Umar bin Muhammad bin Segaf Assegaf dan Sayid Muhsin bin Alwi bin Segaf Assegaf.

Keluasan Ilmunya

Beliau dijuluki Al-Bahr (lautan) karena kedalaman dan keluasan ilmunya. Ketika mempelajari kitab Mukhtashor At-Tuhfah langsung dari pengarangnya, Syeikh Ali bin Umar bin Qadhi Baktsiir, beliau mengoreksi beberapa hal yang ditulis oleh gurunya sendiri, padahal usia beliau saat itu masih di bawah 20 tahun.

Sewaktu beliau sedang menunaikan ibadah haji, mufti Zubaid, Al-Allamah Sayid Abdurrahman bin Sulaiman Al-Ahdal meminta beliau untuk menuliskan sebuah risalah yang menjelaskan sifat-sifat salatnya kaum muqarrabin. Permintaan itu beliau kabulkan, dan ternyata risalah itu membuat kagum para ulama dan kaum sufi di Hijaz dan kota-kota lain.

Habib Ahmad Al-Junaid bercerita bahwa ia dan Habib Hasan berkunjung ke kediaman Sayid Ahmad bin Idris, seorang yang sangat alim. Habib Ahmad Al-Junaid lalu membacakan kitab Ar-Rasyafaat, Sayid Ahmad bin Idris pun kemudian menjelaskan bait demi bait dengan mengutip berbagai ayat Al-Qur'an dan hadits Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam.  Habib Hasan bin Saleh Al-Bahr kemudian membacakan karyanya sendiri, Sholâtul Muqarrabîn. Setelah Sholâtul Muqarrabîn selesai dibacakan, Sayyid Ahmad berkata, “Andaikan penulis risalah ini masih hidup, maka sepatutnya perut onta dicambuk agar segera dapat menjumpainya.

“Waktu itu, aku hendak memberitahu mereka, bahwa penulis risalah itu adalah orang yang baru saja membacanya. Namun, Habib Hasan mencegahku,” kata Habib Ahmad Al-Junaid.

“Mungkin penulisnya hanya sekedar menyifatkan, tidak sungguh-sungguh mengalami apa yang ditulisnya,” kata salah seorang murid Sayyid Ahmad bin Idris.

“Diamlah engkau, wadah (hanya) akan memercikkan isinya" kata Sayyid Ahmad bin Idris. 

Mujahadahnya

Habib Hasan selalu berpegang teguh pada sunah nabi, dan berusaha meniti jejak para salafnya. Beliau mengamalkan berbagai salat sunah: salat sunah rawatib maupun salat sunah lainnya. Mulai dari salat khusuf dan kusuf sampai dengan salat tahiyyatul masjid. Mulai dari salat sunnatul wudhu, dhuha 8 rakaat, awwabin 20 rakaat, tahajjud di sebagian besar waktu malam sampai dengan salat witir 11 rakaat di akhir malam. Semua ini beliau kerjakan dengan tekun: siang maupun malam, saat berada di kota maupun ketika bepergian, saat sehat maupun sakit. Sakit tidak pernah mengendurkan semangat ibadah beliau.  Apabila tiba saat ibadah, beliau seakan sembuh dari sakitnya. Namun, begitu ibadah selesai dikerjakannya, beliau tampak lemah kembali. Beliau selalu mengerjakan salat lima waktu dengan berjamaah.

Beliau biasanya membaca setengah Al-Qur'an dalam salat tahajjudnya setiap malam. Kadang kala seluruh Al-Qur'an beliau khatamkan dalam satu rakaat. Selama hidupnya beliau tidak pernah meninggalkan puasa Daud, baik pada waktu musim panas maupun dingin, saat berada di kota maupun saat bepergian, ketika sehat maupun sakit. Beliau sering sekali membaca surat Yasin sebanyak 40 kali dalam satu majelis, dan dalam satu atau dua rakaat. Di antara wirid beliau adalah membaca surat Al-Ikhlas sebanyak 90.000 kali dalam satu rakaat.

Beliau menunaikan ibadah haji lebih dari 7 kali. Beliau sangat sering tawaf di tengah kegelapan malam sambil membaca Al-Qur'an sampai waktu fajar, terkadang beliau menghatamkannya dalam semalam.

Pada waktu dhuha, hari Rabu 23 Dzul Qa’dah 1273 H beliau meninggal dunia di Dzi Isbah, lalu dikuburkan di dekat makam ibunya, di tengah-tengah musholla yang terletak di samping rumahnya.

Sifat Rahmatnya

Berikut adalah sekelumit cerita yang menunjukkan keluhuran budi dan kasih sayang beliau pada makhluk Allah.

Suatu malam sekelompok orang berkerumun di depan pintu sebuah rumah. “Siapa yang berkerumun di depan pintu itu?” tanya tuan rumah.
“Mereka adalah fakir miskin yang menantikan sisa-sisa makan malam,” jawab salah seorang pembantunya.
Maka tuan rumah itu pun segera memerintahkan pembantunya untuk mengundang dan menjamu mereka.
Tuan rumah tersebut memang dikenal dermawan, ramah, dan lemah lembut. Dialah Habib Hasan bin Saleh Al-Bahr Al-Jufri, seorang ulama besar dan wali yang termasyhur di Hadramaut.

Sejak kecil, ia tinggal di lingkungan yang mencintai ilmu pengetahuan agama dengan semangat beribadah yang kuat. Mula-mula belajar membaca Al-Qur'an kepada Syeikh Abdurrahman Ba Suud, kemudian belajar menghafal kitab suci itu di bawah bimbingan Syeikh Abdullah bin Saad.

Setelah itu ia berguru ke sejumlah ulama, seperti Habib Umar bin Zein bin Smith, Habib Umar bin Ahmad bin Hasan Al-Hadad, Habib Alwi bin Saggaf bin Muhammad bin Umar Assegaf. Belakangan, ia juga belajar kepada Habib Umar bin Saggaf bin Muhammad bin Umar Assegaf di Seiwun. Di sana pula akhirnya ia mendapatkan jodoh.

Ketika dewasa ia sering berdakwah melalui beberapa majelis taklim keliling di Syibam, kemudian berdakwah di kota-kota lain. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena penduduk Syibam saat itu tengah mengalami kemunduran dan kelalaian. Karena itu ia pun terpaksa hijrah dari Syibam menuju Dzi Ishbah.

Di belakang hari ia dijuluki Al-Bahr (yang artinya “laut”, maksudnya “lautan ilmu”) berkat kedalaman dan keluasan ilmu agamanya. Ketika mengkaji kitab Mukhtashar at-Tuhfah langsung dari pengarangnya, Syeikh Ali bin Umar bin Qadhi Bakhsir, ia banyak mengoreksi beberapa hal, padahal umurnya baru 20 tahun.

Kedalaman ilmu itu juga tampak ketika Sayyid Abdurrahman bin Sulaiman Al-Ahdal, seorang mufti dari Zabid, memintanya menulis risalah yang menjelaskan sifat salat kaum muqarabin, orang yang selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan sebisa mungkin melaksanakana segala ibadah sunah. Permintaan itu ia penuhi dalam risalah Shalatul Muqarrabin, yang membuat kagum para ulama dan sufi, terutama di Hijaz – nama Arab Saudi kala itu.

Sebagai ulama yang berpegang teguh pada sunah Nabi, ia selalu berusaha meniti jejak para ulama salaf. Misalnya dengan selalu menunaikan shalat berjemaah di masjid meskipun letaknya jauh dari rumah di pinggiran kota Dzi Ishbah. Atas permintaan penduduk, juga untuk menghemat waktu dan mengurangi kesulitan perjalanan, ia kemudian pindah ke dalam kota.

Semangatnya untuk mengamalkan shalat sunah Rawatib, shalat sunah yang dikerjakan secara tetap sebelum dan sesudah shalat fardu, dan shalat sunah yang lain, memang sangat tinggi. Antara lain, dari shalat Khusuf (Gerhana Bulan), shalat Kusuf (Gerhana Matahari), sunah setelah wudu, shalat Duha delapan rakaat, hingga shalat Witir 11 rakaat di akhir malam – semuanya ia kerjakan dengan tekun.

Tentu saja shalat wajib lima waktu selalu ia kerjakan secara berjemaah pula. Ia juga lazim membaca setengah dari jumlah surah Al-Qur'an dalam shalat Tahajud. Kadang kala malah khatam dalam satu rakaat. Ulama yang sangat mengutamakan shalat ini juga sering melakukan puasa Nabi Daud (sehari puasa sehari tidak), baik sedang di rumah maupun bepergian, sehat ataupun sakit.

Ahli Ibadah

Ia juga sering membaca surah Yasin 40 kali dalam satu majelis dan dalam satu atau dua rakaat shalat. Di antara wirid yang digemarinya ialah membaca surah Al-Ikhlash sebanyak 90.000 kali dalam satu rakaat shalat.

Ia telah menunaikan ibadah haji lebih dari tujuh kali dan sering melakukan tawaf malam hari sambil membaca Al-Qur'an sampai fajar – kadang malah sampai mengkhatamkannya. Sebagaimana dituturkan Sayyid Ahmad bin Ali Al-Junaid dalam perjalanan dari Mekah ke Medinah pada 1233 H/1813 M, pada saat puasa Habib Hasan setiap malam hanya sahur dengan beberapa teguk air, lalu menunaikan shalat Tahajud.

Menurut salah seorang anaknya, Abdullah bin Hasan, walaupun sang ayah sedang sakit parah dan hanya bisa terbaring di tempat tidur, ketika waktu shalat sunah yang biasa dilakukannya telah tiba, Habib Hasan bangun kemudian memukul kedua pahanya sambil berkata, ”Bangunlah wahai jiwa yang buruk! Jangan kau halangi aku untuk menunaikan wiridku!” Ia lalu mengambil air wudu untuk shalat sunah sambil memegang Al-Quran. Usai shalat, ia terjatuh dan tubuhnya kembali panas. 

Meskipun dikenal sebagai ahli ibadah, dengan rendah hati ia berkata, “Kekerasan hati dan kelalaian telah mengalahkanku, sehingga tidak tersisa lagi padaku selain tawakal kepada Allah, serta prasangka baik kepada-Nya, dan pada sifat-sifat-Nya yang Pengasih dan Penyayang. Adapun amalan-amalanku buruk. Jika ada amalku yang baik, itu berkat kemurahan, rahmat, dan karunia Allah SWT belaka.”

Selain dikenal sebagai ahli ibadah, orang mengenalnya pula sebagai pribadi berbudi luhur dan penuh kasih sayang terhadap sesama makhluk. Seperti diceritakan oleh Habib Ahmad bin Ali Al-Junaid, yang menemaninya dalam perjalanan ke Mekah lalu berziarah ke makam Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam di Medinah. Dalam perjalanannya ke Medinah, mereka dirampok. Tapi Habib Hasan tidak mencegahnya.

“Mengapa Sayid tidak mencegahnya?” tanya Habib Ahmad.

Maka jawab Habib Hasan, “Cobaan ini tidak terlalu berat bagiku, kecuali mereka mengambil Al-Qur'an yang kubawa. Ini memang cobaan Allah. Dan cobaan Kekasih tidak menyakitkan.”

Ketika saudara kandung Habib Ahmad Al-Junaid, yaitu Habib Umar Al-Junaid, yang kaya, meninggal dunia, ia berwasiat kepada Habib Ahmad agar memberi uang senilai 500 riyal kepada Habib Hasan. Tapi, ketika uang tersebut diserahkan, Habib Hasan justru berkata, ”Ini adalah dosa yang siksanya akan disegerakan.” Lalu ia langsung membagi-bagikan uang tersebut kepada orang-orang yang dapat memanfaatkannya demi ketaatan mereka kepada Allah SWT.

Anjing Liar

Kasih sayangnya tidak hanya terhadap orang-orang di sekitarnya, tapi juga kepada seekor anjing liar yang banyak mengganggu penduduk karena sering melahap hewan piaraan. Mendengar pengaduan penduduk, ia berkata, ”Anjing itu bertingkah demikian karena kalian menelantarkannya dan tidak memberi makan. Bawa kemari anjing itu, lalu berilah makan dia hingga kenyang.”
Habib Hasan sangat menaruh perhatian pada anjing tersebut, dengan menempatkannya dalam sebuah kandang yang bersih dan memberinya makanan. Setiap hari ia selalu bertanya kepada pembantunya bagaimana keadaan anjing yang dipeliharanya itu.

Usai menunaikan salat Jumat di sebuah masjid di Syibam, Habib Hasan melihat seekor burung kecil jatuh dari sarangnya di atas masjid ke lantai. Melihat anaknya jatuh, induknya menjerit-jerit. Habib Hasan rupanya terharu, ia pun tak kuasa lagi menahan air matanya. Maka ia pun lalu minta para jemaah keluar sebentar, agar si induk burung dapat mengambil anaknya dengan leluasa kembali ke sarangnya.
Ia juga sangat peduli pada fakir miskin. Ketika menikahkan salah seorang putrinya, Habib Hasan melihat kerumunan orang di bawah jendela lonteng.
“Siapa yang berkerumun di sana itu?” tanyanya.
“Mereka fakir miskin yang menantikan sisa-sisa makan malam,” jawab pembantunya. Maka ia pun segera memerintahkan menjamu mereka, padahal hanya tersedia makanan yang dipersiapkan untuk para tamu pernikahan.
”Tidak apa-apa, hidangkan saja makanan itu,” ujarnya.

Habib Hasan mendapat gelar Aljufri, sebagaimana para pendahulunya. Tokoh yang pertama mendapat gelar Aljufri ialah Habib Abubakar bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ustadzil A’dzam Al-Faqih Al-Muqaddam. Julukan itu ada riwayatnya. Ketika masih kecil, ia disapa oleh sang kakek, Al-Imam Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mawla Dawilah, “Ahlan bil Jufrah!” (Selamat datang, anak kambing kecilku).

Sang kakek memanggil cucunya dengan panggilan “anak kambing” karena tubuh cucunya yang gendut dan lucu seperti anak kambing yang sehat. Menurut seorang ahli bahasa, jufri berarti anak kambing usia empat bulan. Ada pula yang mengatakan, sebutan jufri itu digunakan karena dahulu kakek mereka menulis buku tentang jufr dan sering mengulang-ulang kata jufri.

Mutiara Nasehatnya

Sesungguhnya di surga tidak ada penyesalan, hanya saja mereka merasa malu atas kemuliaan dan kebaikan yang diberikan oleh Allah. Jika dibanding dengan nikmat yang mereka terima di surga, maka kelelahan mereka semasa di dunia tiada artinya.

Kenikmatan yang disegerakan, kebaikan yang diangan-angankan dan kehidupan yang baik hanya terdapat dalam ketaatan kepada Allah.

Jika engkau tak bisa beramal dengan anggota tubuhmu, misalnya: shalat-shalat sunah dan lain-lain, maka engkau masih bisa mengerjakan ketaatan lisan, seperti: dzikir, amar ma’aruf dan nahi mungkar. Dan jika engku tak bisa melakukan ketaatan lisan, maka engkau masih bisa mengerjakan ketaatan hati, misalnya: ikhlas, sabar, zuhud, ridha, cinta, syukur dan lain-lain.

Habib Hasan bin Saleh Al-Bahr Al-Jufri, yang berbudi luhur dan penuh kasih sayang, wafat pada waktu Duha, hari Rabu, 23 Zulkaidah 1273 H/1853 M, di Dzi Ishbah. Jenazahnya dimakamkan dekat makam ibundanya di tengah musala di samping rumahnya.
 
;