بسم الله الرّحمن الرّحيم
Masih dengan memakai mukena selepas sholat dzuhur di salah satu ruang kelas asrama, ketika dia membuka buku catatan sembari membaca sebuah kitab kecil di hadapanku. Lalu berkata:
“Saya sudah ulangi kembali semua pelajaran yang ustadzah sampaikan seminggu yang lalu. Ada beberapa pertanyaan yang ingin saya ajukan” katanya sambil menatapku.
Terus terang aku merasa risih dengan panggilan “ustadzah” nya. Karena meski sejak beberapa bulan yang lalu, kegiatan belajarku di Daruz Zahro bertambah dengan ikut serta mengajar, aku merasa belum layak dipanggil begitu apalagi olehnya yang berusia 2 tahun di atasku.
“Baik…” ujarku menjawab perkataaanya.
“Namun ada baiknya kita lanjutkan dulu kajian materi yang lalu sebelum kita bahas pertanyaan-pertanyaanmu, karena aku juga ingin bertanya beberapa hal kepadamu”
Dia mengangguk dan kemudian berkonsentrasi dengan materi yang aku berikan sampai akhir pembahasan.
Aku amati wajah lembut di hadapanku, kulitnya putih bersih khas wanita bule, meskipun rambutnya berwarna hitam seperti kebanyakan wanita Asia. Dia berasal dari Amerika namanya Erika. Dan di hari pertama ia tiba di Kota Tarim, saat mengunjungi Hubabah Zahro, Ibunda Al Habib Umar Bin Hafidz guru kami, namanya di ganti oleh beliau Maryam. Dan selanjutnya aku ditugaskan memberi pelajaran tambahan untuknya, mengingat dia baru masuk islam sekitar 5 tahun yang lalu.
Wanita dengan pribadi yang mengagumkan, Dua minggu bersamanya nyaris tak kutemukan kekurangan. Sungguh aku yang seringkali berburuk sangka terhadap orang Amerika, benar-benar tak menyangka jika negri yang kuanggap musuh islam ini bisa melahirkan wanita sebaik dia. Aku tak pernah mendapatinya membicarakan kekurangan orang lain, berkata kasar atau sinis. Senyuman manis selalu menghiasi wajahnya.
Dan yang paling kukagumi adalah kemampuannya untuk berpikir positif dalam segala hal. Belum lagi ibadahnya yang membuat aku berdecak kagum sekaligus malu. Sebagai seseorang yang dilahirkan dari Rahim wanita muslimah, aku merasa menjadi orang yang jauh tertinggal di hadapannya. Tahajjudnya selalu ia kerjakan, dan disaat sedang tak berbuat apa-apa, lisannya selalu disibukkan bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW.
Maka siang itu setelah aku menyampaikan materi pelajaran dan menjawab beberapa pertanyaannya, kami berdua terdiam tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hingga lalu aku berkata:
“Maryam, selajutnya giliranku bertanya padamu” kataku memecah keheningan
Dia terlihat tegang, sebelum kemudian kulanjutkan
“Apa yang membuatmu beralih ke agama Islam?”
“Hidayah Allah” jawabnya singkat.
“Ya, itu pasti. Maksudku bagaimana hidayah itu datang padamu?”
Sejenak di tutupnya kitab dan buku catatan di hadapannya. Lalu berkata;
“Aku di lahirkan dari keluarga Katolik yang taat. Ibuku aktifis gereja yang rajin membawa anak-anaknya termasuk aku mengikuti berbagai macamkegiatan keagamaan disana. Hingga akhirnya saat duduk di bangku kuliah, aku bertemu dengan seorang mahasiswa muslim yang sampai saat itu aku tidak pernah mendengar tentang islam kecuali gambaran bahwa ia adalah agama yang disebarkan dengan pedang dan peperangan.
Sebuah agama yang mengedepankan ritual pengorbanan untuk Tuhan dengan darah, bom bunuh diri dan kekejian-kekejian lainnya. Namun Hasan Sidqi, pemuda muslim yang aku temui di kampus itu merubah sudut pandangku tentang Islam. Dia pandai bergaul, berbaur dengan siapapun tanpa melihat perbedaan agama yang dianut.
Aku seperti halnya teman-temanku yang lain, suka memperhatikan hal-hal baru dalam kehidupan dan kami jadi diam-diam selalu memperhatikan caranya berdoa, berbicara, hingga pada akhirnya ku tahu sesibuk apapun kami beraktifitas, dia selalu menyempatkan diri melakukan ritual 5 waktunya yang kemudian kutahu belakangan bernama sholat.
Aku kagum dengan kesungguhannya menjalani keyakinan yang dia pegang, dan itulah yang kemudian menyebabkan aku mendekatinya. Kami sering terlibat diskusi agama kami masing-masing sebagai bahan perbandingan. Jujur saja, banyak berdiskusi dengannya membuatku mulai ragu dengan keyakinan yang selama ini kuyakini. Bagaimana mungkin dalam injil yang merupakan kitab suci yang Tuhan turunkan kepada kami, ternyata banyak ayat-ayat yang saling bertentangan satu sama lain bahkan dalam hal paling prinsip dalam keyakinan. Misalnya saja tentang ketuhanan Yesus. Banyak ayat menyatakan dia adalah Tuhan, ayat yang lain menyatakan dia anak Tuhan, dan ada pula yang menyatakan bahwa dia adalah utusan Tuhan.
Sementara Al-Qur’an selalu menyatakan hal yang sama; Tuhannya adalah Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Dan dalam Al-Quran pun di ceritakan bahwa nabi Isa atau Yesus adalah salah satu dari utusan-Nya juga.
Keragu-raguan itu semakin mejadi-jadi dari hari kehari. Dan puncaknya terjadi malam itu. Kegelisahan benar-benar menyelimutiku. Aku buka injilku, lembar demi lembarnya berharap mendapat sesuatu petunjuk yang mungkin dapat menenangkan hatiku atau menghalau kegelisahanku, namun aku tidak mendapatkannya. Kemudian kuambil terjemahan Al-Quran, kubuka ayat-ayatnya secara acak, siapa tahu aku bisa mendapatkan sesuatu, entah apapun itu…..
Aku tetap tidak mendapatkan jawaban.
Aku memutuskan untuk menenangkan pikiran dan bersembahyang kepada Tuhan. Namun lagi-lagi aku bingung, menghadap siapa aku dalam sembahyangku?...
Akupun mulai berdoa namun kemudian kusadari kepada siapa aku harus memohon?...
Siapa yang harus aku panggil nama-Nya dalam doaku?...
Aku sungguh-sungguh gelisah..
Serasa ada sesak di dada hingga disaat rasa itu tak mampu lagi kubendung, meluaplah rasa amarah, seiring airmataku yang tumpah ruah..
“Wahai Tuhan…
Aku tidak tahu siapakah Engkau sesungguhnya? Aku tidak tahu hidupku ini pemberian dari siapa?
Siapa yang telah menciptakanku dan mengaruniai kehidupan ini untukku?”
“Wahai Tuhan..
Beri tahu aku siapa diriMu?... Hingga kutahu kepada siapa aku harus menyembah dan mensyukuri setiap anugerah.”
Lelah menangis sekian lama aku tertidur akhirnya.
Ternyata lewat tidur itulah Tuhan memberiku jawaban.
Aku bermimpi membawa kitab Injil yang tak asing lagi bagiku. Dia berjalan melewatiku, aku lantas mengikutinya dari belakang, kami menuju sebuah altar agung yang megah. Sesampainya disana dia duduk, membuka kitab Injil dalam dekapannya. Dia lalu memberi isyarat padaku agar mendekat sehingga dapat melihat dengan jelas lembaran Injil yang dibukanya.
Aku terhenyak dan terbelalak saat melihat apa yang tertulis didalamnya.
Kudapati halaman Injil itu hanya bertuliskan satu kalimat yang sangat kukenal:
LAA ILAAHA ILLALLAH
MUHAMMAD RASULULLAH
TIADA TUHAN SELAIN ALLAH
MUHAMMAD UTUSAN ALLAH
Seketika aku terbangun dengan beragam perasaan yang sulit kulukiskan dengan kata-kata. Penuh rasa Syukur tak terkira. Kupejamkan mataku sekali lagi. Merasakan nikmatnya hidayah menghampiriku, damai menerpaku, menyelusuri seluruh relung jiwaku.
Tekadku telah bulat. Aku harus memeluk agama Islam.
Siang itu di fakultas aku mencari Hasan, dan ketika aku menemukannya, aku langsung menarik tangannya dan bergegas menuju masjid terdekat. Dan disanalah dengan disaksikan imam masjid, aku mengikrarkan dua kalimat syahadat untuk pertama kalinya.
Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari tersulit dalam hidupku. Karena untuk mengerjakan sholat aku harus sembunyi-sembunyi di rumahku sendiri. Sampai suatu ketika ibuku memergokiku melakukan ritual itu, spontan dia naik pitam, penuh kemarahan dan menganggap aku keluar dari kebenaran. Ketika aku berusaha meyakinkannya bahwa agama Islam tidaklah seperti yang selalu dilihatnya di telivisi dengan aksi terror dan kekejian dan perang, ibuku malah membawaku ke gereja dan mempertemukanku dengan seorang pendeta. Aku dicecar dengan berbagai nasihat hingga doktrin-doktrin agama. Namun tetap saja aku tak bergeming dan tak rela meninggalkan hidayah yang telah dikaruniakan padaku dengan cara yang begitu indah.
Tak sekali ibuku berbuat seperti itu, hingga tatkala dirasakan usahanya sia-sia demi melihat kegigihanku mempertahankan ajaran yang baru, diapun akhirnya kelelahan sendirir dan berhenti mempengaruhiku.
Situasi ini semakin memacu semangatku untuk terus mempelajari Islam dari sahabat muslimku itu. Hingga tatkala kemudian Hasan, sang perantara hidayah datang bersama ibunya melamarku, aku tak punya satupun alasan untuk menolaknya. Kamipun menikah” katanya sambil tersenyum mengakhiri pernikahannya
“Sungguh sebuah cerita yang luar biasa indah” komentarku perlahan, nyaris tak terdengar.
Semakin dekat dengan Maryam, aku semakin kagum atas kegigihannya mempelajari Islam dengan bahasa arab yang tentu sangat sulit baginya, juga kesungguhannya mengamalkan apa yang telah dia tahu dalam Islam.
Lewat aku, dia banyak mempelajari ilmu dalam Islam. Namun sesungguhnya lewat dia, akulah yang banyak belajar praktek pengalamannya dalam kehidupan nyata.
Masih segar dalam ingatanku kala di malam jumat dia datang ke Daruz Zahro, dia mendapatiku tengah membaca surat Al-Kahfi, lalu menanyakan padaku mengapa aku membacanya?
Aku menerangkan beberapa Fadilah surat tersebut dan hukum membacanya yang disunnahkan di malam atau hari jum’at.
Dan keesokan harinya yang merupakan jadwal belajarnya denganku, dia tidak datang sampai malam menjelang. Dia memohon maaf atas ketidak hadirannya di siang hari lalu bercerita bahwa dia seharian ini berusaha membaca surat Al-Kahfi. Namun karena masih mengeja dia harus menghabiskan waktu sampai sehari penuh untuk membacanya sampai tuntas. Dia tidak berhenti kecuali untuk sholat Fardhu dan sholat sunnah yang biasa dia lakukan.
“Bahkan Hasan suamiku terpaksa harus membeli makan siang kami diluar karena aku tidak sempat memasak untuknya. Begitu juga pakaian kamipun tidak sempat kami cuci hari ini” katanya diiringi senyuman.
Dia sungguh-sungguh berusaha mengamalkan tiap ilmu yang telah dia tahu..
Mungkin karenanya Allah selalu mengajarkan padanya yang belum dia tahu..
●●●
Erika atau yang kemudian akrab aku panggil Maryam, juga teman diskusi yang menyenangkan. Suatu ketika saat aku berdiskusi beberapa masalah dengannya. Aku bertanya padanya:
“Menurutmu apa yang paling indah dalam Islam?” tanyaku di sela-sela diskusi kami.
Tanpa berfikir panjang, dia segera menjawab:
“Cinta Rasul” katanya dengan jawaban yang tak kuduga
“Mengingat Rasulullah dan cinta beliau kepada ummatnya selalu saja membuat hatiku berbunga-bunga”
Duuuh indahnya…
Andai semua orang di negeriku tahu bahwa nabi Muhammad SAW mencintai umatnya sebegitu besar mereka pasti akan tertarik kepada Islam”.
“Ya.. meskipun hidayah tetap Allah jualah yang memilikinya..” katanya mengakhiri perbincangan.
●●●
Jika kehidupan ini laksana menyusun puzzle, bagiku Maryam adalah salah satu puzzle yang menjadikan hidupku sempurna.
Semoga Allah selalu melindunginya dimanapun dia berada… (ketika aku menulis buku ini Maryam telah kembali ke negerinya dan berdakwah disana.)