بسم الله الرّحمن الرّحيم
Jika rasa benci atau cinta yang berlebihan tanpa sebab yang jelas adalah salah satu penyakit yang harus diobati, itu sudah ku tahu dari dulu. Tapi kalau di obatinya adalah dengan cara dadamu di usap, kepalamu di pegang sembari di doakan agar kebencian di hatimu terhadap seseorang bisa hilang, seumur hidup baru kali ini ku rasakan.Aneh memang...
Bagaimana rasa benci terhadap salah satu pelajar yang aku mengajar di kelasnya bisa datang begitu tiba-tiba, tanpa ada sebab bahkan tanpa aba-aba. Aku tiba-tiba tidak ingin memandang wajahya, pusing mendengar suaranya. Bahkan sungguh baru ku tahu bahwa aku bisa benar-benar muntah tatkala secara tidak sengaja melihat wajahnya.
Lebih anehnya lagi dia termasuk pelajar terbaik di kelasnya, cerdas, aktif, penurut dan yang jelas dia tidak pernah bermasalah apapun denganku. Dia pasti bertanya-tanya dan bingung ketika kemudian aku memintanya untuk duduk di barisan belakang dan tidak tepat dihadapanku. Karena aku bahkan tidak bisa berkonsentrasi sama sekali dalam kondisi seperti ini. Dia dan juga teman-teman sekelasnya pasti bingung ketika aku memintanya untuk menuliskan saja pertanyaan yang akan dia lontarkan agar tidak mendengar suaranya yang bisa membuat isi perutku naik ke dada dan mernyebabkan mual secara mendadak begitu saja.
Jangan kau kira aku tak ada usaha apa-apa ntuk menghilangkannya. Berulang kali aku merenung, berperang dengan diri sendiri dan mencoba menenangkan hati saat kebencian itu memanas-manasi. Usahaku tidak membuahkan hasil.
Doa dan dzikir selalu kubaca setiap kali terpikir bahwa ini merupakan salah satu ujian untukku. Namun semuanya belum cukup untuk emenghilangkan rasa itu.
Setengah mati kucoba sembunyikan kebencian ini darinya, namun sepertinya dia mulai merasakannya juga. Dia lebih banyak diam disepanjang mata pelajaranku. Duduk paling belakang dan tak lagi terlihat tersenyum seperti biasanya.
Ya Allah...aku telah melukai hatinya, aku telah menyakiti perasaannya.
Teman sekamarku yang juga seorang ustadzah mulai merasakan ketidaknyamanan ini, ku ceritakan padanya keanehan yang terjadi lengkap dengan pembelaan bahwa rasa itu muncul tiba-tiba dan tanpa sebab apa-apa.
Dan entah apa yang ada di dalam benaknya, hingga suatu siang sepulang dari masjid selepa sholat Dhuhur ia memintaku berkemas dan kemudian kami berdua bergegas pergi menemui seorang wanita berusia 60-an tahun, temanku ini memanggilnya dengan panggilan Hubabah Umairoh.
Kami menunggu cukup lama di ruang tamu karena beliau masih menemui tamu yang lain sebelum kami kemudian di persilahkan menemui beliau di ruang tengah rumahnya.
“Therapis?Dokter jiwa?psikolog?atau bahkan dukun?”aku menerka-nerka.
Namun bayangan itu hilang seketika saat aku melihat sosoknya. Beliau adalah seoarang wanita dengan wajah keibuan, bicaranya lembut, dan penuh senyuman. Di hadapannya aku merasa seolah bertemu dengan seseorang yang telah lama aku kenal.
Siang itu masih dengan memakai mukena selepas sholat Dhuhur, beliau menyambut kami dengan hangat lalu menanyakan kabar Alhabib Umar bin Hafidz guru kami. Kemudian dengan penuh perhatian beliau, mendengarkan apa yang di tuturkan temanku mengenai diriku tentang rasa benci yang tiba-tiba kurasakan sebagai sesuatu yang tidak wajar, mengingat aku sebelumnya tidak pernah membenci seseorang tanpa sebab yang jelas.
Beliau lalu berdiri menghampiriku, memegang kepalaku sembari menggumamkan doa-doa dan dzikir, tak lama kemudian beliau duduk di hadapanku, mengusap dadaku sambil tidak berhenti berdoa. Dan beliau mengakhiri bacaan-bacaannya dengan meminta kami semua membaca surat Al Fatihah bersama.
“Ada 2 orang yang paling banyak di dengki oleh orang lain di atas muka bumi ini “ kata beliau sembari menuangkan teh di cangkir kecil dan menghidangkannya di hadapan kami.
“Orang yang berharta dan orang yang berilmu” lanjut beliau.
“Jika kamu jadi salah seorang dari mereka, pandai-pandailah menjaga sikap saat bergaul dan berurusan dengan orang lain. Pandai-pandai pulalah menyimpan rasa. Karena bahkan orang yang terlihat di cintai oleh kedua orang inipun akan menimbulkan iri dengki dari yang lainnya. Sepertinya itulah yang terjadi padamu” katanya bijak.
Kami pulang setelah memperoleh anjuran beliau untuk membaca beberapa dzikir saat suasana hati sedang tidak menentu.
Dan Subhanallah...
Apa yang kemudian terjadi sesampainya di asrama sungguh luar biasa. Di pintu masuk aku berjumpa dengan pelajar yang pagi tadi perasaanku padanya masih di penuhi dengan kebencian. Aku pandang wajahnya dan dia menunduk takut, ku cari kebencian yang seminggu ini menyiksaku dan menyiksanya tentu saja, namun rasa itu sungguh-sungguh tak lagi bersisa, sudah hilang entah ke mana.
Aku langsung menyalami dan memeluknya, sementara dia kebingungan, tak mengerti apa yang terjadi
“Maafkan aku...” kataku
“ada apa Ustadzah?” tanyanya kebingungan
“Aku tidak bisa menjelaskannya, tapi yang pasti aku minta maaf padamu atas semua kesalahanku yang kamu tahu atuapun tidak” jawabku lirih sambil melepaskan pelukanku darinya.
7 tahun berlalu sejak kejadian itu...
Salah satu agenda kegiatan kunjungan kami ke Hadhromaut adalah berziarah kepada para sesepuh yang masih ada. Selain meminta nasihat, kami gunakan kesempatan yang berharga ini untu memohon agar mereka berkenan mendoakan kami. Dan nama Hubabah Umairoh aku masukkan dalm daftar kunjungan tersebut.
Alhamdulilah, sekembalinya aku ke tanah air, aku mendapat kepercayaan setahun sekali dari sebuah biro perjalanan haji dan umrah untuk membimbing jamaah mereka yang hendak menunaikan ibadah umrah. Rombongan yang terdiri dari kurang lebih 30-an orang itu aku pimpin menunaikan ibadah umrah sekaligus berziarah ke negeri Hadhramaut tempat aku dulu pernah menuntut ilmu.
Kami duduk di hadapan Hubabah Umairoh dan meminta beliau mendoakan kami. Belia terlihat jauh lebih tua dari saat ku temui beberapa tahun silam. Keriput di wajahnya semakin dalam, hanya semangat dan kepercayaan dirinya terhadap Allah yang ku lihat tetap sama.
Aku berusaha menterjemahkan percakapan rombonganku kepada beliau dan percakapan beliau kepada mereka. Dan ketika semuanya usai, aku berkata berkata beliau:
“Sekarang giliranku, Hubabah” kataku sambil mendekat
“Doakan agar Allah berkenan mengaruniakan aku keturunan. Hampir 4 tahun aku menikah belum juga di karuniai anak.”
Beliau mendengarkan dengan seksama lalu berujar dengan santai;
“Halimah...
Tidaklah kamu merasa hidup ini sudah begitu sibuk?ada banyak hal di dunia ini menyibukkan kita dari ibadah kepada Allah. Dari 24 jam sehari semalam yang Allah berikan hanya beberapa jam yang tersisa kita gunakan untuk-Nya. Apakah engkau masih ingin menambah kesibukanmu pula dengan urusan anak?”
Aku tercenung mendengar ucapannya yang tidak ku sangka...
Beliau lalu melanjutkan;
“Aku menikah, dan dari sejak awal pernikahanku, aku selalu berharap jika dengan kehadiran anak-anak akan menyibukkanku dari-Nya, maka tanpa karunia anakpun, aku tak apa-apa...aku tak ingin di tersibukkan dengan selain-Nya.”
“Tapi bukankah mereka akan jadi penerus amal kebaikan kita tatkala kita mati nantinya?”kataku membela diri
‘Tak adakah hal lain yang bisa menggantikannya? Ilmu yang kita ajarkan dan di amalkan bahkan oleh generasi mendatrang setelah kita, doa oang banyak yang kita pernah berbuat baik padanya, amal jariyah yang kita lakukan dan kemanfaatannya terus di rasakan?”
Aku terdiam dan berpikir panjang...
Hubabah Umairoh tak menyisakan argumen untukku menjawab ucapannya.
“Tapi...tapi aku masih menginginkannya...walau mungkin hanya untuk sekedar kesempurnaan menjadi seorang wanita”kataku setengah terbata-bata
“Benar Anakku, aku memahamimu...karenanya aku akan tetap mendoakanmu..,namun yakin dan selalu percayalah, bahwa apapun yang Dia pilihkan untukmu itu merupakan hal terbaik yang Dia karuniakan. Dia mengetahui segalanya...dan kita tidak mengetahui apapun sesungguhnya...”
Kata-kata bijaknya selalu ku kenang sampai saat ini, dan sampai saat ini pula aku selalu berdoa kiranya allah berkenan memanjangkan umurnya agar masih banyak orang-orang sepertiku yang bisa memetik pelejaran darinya. Tentang tujuan hidup sesungguhnya..tentang tawakkal, tentang keikhlasan...tentang segala hal...meski entah, apakah orang seperti beliau berharap masih ingin lebih lama hidup di muka bumi ini atau justru sudah merindukan kematian sebagai jembatan pertemuannya dengan Sang Pencipta.
Pentingkah...?
Bila hidup adalah sebuah danau yang tenang
Atau suatu bak air yang keruh ?
Ia tak abadi
Jutaan bintang hidup tanpa cemas
Merpati tak tahu,
Apakah ia makan nati malam?
Tetapi ia tetap bersenandung
Dari gajah sampai unggas
Semua adalah hasil ciptaan tuhan
Dan bergantung kepadaNya
Pemberi rizki yang Maha Agung
(Jalaluddin Ar Rumi)
Anakku...
Bahagiamu letaknya di sini...
Di hatimu sendiri
Bukan pada indah pemandangan
Di tatap mata
Bukan pada sanjungan merdu
Di dengar telinga
Bukan pada kelembutan
Yang dapat kau raba
Ia tak bisa di deteksi panca indra
Sebaliknya, anakku...
Kala hatimu bahagia
Gurun-gurun pasir tak ubah taman bunga
Cacian dan makian serasa senandung belaka
Semua yang kau sentuh terasa bak sutra
Bahagiamu dekat saja, Nak...
Di hatimu sendiri
Tak perlu kau cari ia
Jauh-jauh di sana...
0 komentar:
Posting Komentar