Jumat, 02 November 2018

Hubabah Tiflah (Ajarkan Aku Berdoa Sepertimu)

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Allah SWT berfirman:
Seruanmu memanggil nama-Ku
adalah jawaban-Ku.

Kerinduan pada-Ku
adalah pesan-Ku untukmu.

Segala upayamu
untuk menggapai-Ku
pada hakikatnya adalah
upaya-Ku menggapaimu.

Ketakutan dan cintamu
adalah simpul untuk
mendapati Aku.

Dalam keheningan yang mengelilingi setiap seruan:
'Allah'

menanti seribu jawaban
'Di sinilah Aku'

Lebaran pertamaku di perantauan. Tanpa ketupat, tanpa opor, tanpa sambal goreng kesukaan, tanpa kue-kue kering makanan khas lebaran. Tanpa orang tua, tanpa saudara tanpa teman-teman sepermainan. Tanpa siapapun yang sebelumnya kukenal kecuali kakak laki-lakiku yang memang bersamanya aku merantau ke negri orang.

                Dengan baju baru yang dibelikan kakak semalam, aku berjalan keluar rumah sendirian. Kakakku sudah lebih dulu keluar, ada acara uwadh semacam open house, silaturrahmi antar ulama dan masyarakat. “Khusus Laki-laki” jawabnya ketika kuutarakan niatku ikut bersamanya.

Maka aku pun berjalan sendirian. Takbir Idul Fitri sudah tidak lagi terdengar. Karena selepas sholat ied pagi tadi masjid-masjid sudah berhenti mengumandangkan takbir. Dari kejauhan tampak deretan pohon kurma yang tidak sedang berbuah. Sekarang musim dingin dan pohon-pohon kurma baru akan berbuah pada musim panas. Kabarnya angin panas padang pasir yang biasa disebut Samum (Nama angin yang mengeluarkan hawa panas) itulah yang membuat masak buah kurma. Pantas saja pohon kurma tak berbuah di negeri Indonesia. Angin disana tidak panas malah sejuk menerpa wajah.

Jalanan telihat lengang hanya sesekali saja kulihat mobil-mobil pribadi yang mungkin membawa penumpangnya bersilaturahmi saling berkunjung pada lebaran seperti ini.

Kuketuk pintu rumah ustadzah Zainab AlKhotib. Seorang Ustadzah dari Taiz, sebuah kota pertanian di daerah Yaman Selatan yang kini menetap di Tarim (nama sebuah kota di profinsi Hadramaut Republik Yaman) dan mengajar di Daruz Zahro (nama lembaga pendidikan agama semacam pesantren putri), Ma’had (semacam pesantren di Indonesia) dimana aku bersekolah disana. Suaminya Ustadz dan pengurus Darul Musthofa (nama lembaga pendidikan agama yang didirikan oleh Da’I ila Allah Al Habib Umar Bin Hafidz), yayasan yang membawahi Daruz Zahro. Kebetulan kemarin disaat bejumpa dengannya di masjid, sewaktu sama-sama sholat tarawih terakhir , beliau mengajakku mungkin karena kasihan terhadap anak-anak yang berlebaran sendirian berkunjung ke beberapa orang tua di negeri ini.

Senyum Muhammad putera ustadzah segera menyambutku kala ia membukakan pintu.

“Kamu Halimah dari Indonesia ya?” tanyanya dengan dialek arab yang fashih. Usianya kutaksir 7 tahunan. Aku mengangguk mengiyakan dan diapun segera berlari kedalam memberitahukan ibunya setelah sebelumnya mempersilahkan aku masuk dan duduk di ruang tamu. Sebuah ruangan tanpa kursi khas arab hanya bantal-bantal tebal tersusun sebagai sandaran.

Tak lama Ustadzah Zainab menemuiku dengan sebaki nampan penuh makanan. Ada berbagai jenis halawa (kue manis biasanya terbuat dari wijen), kacang-kacangan, gela (sejenis kwaci) dan secangkir teh dengan ni’na (daun mint) minuman khas daerah ini.

Setelah berbasabasi sebentar menanyakan keadaan dan aku menjawabnya dengan bahasa arab ala kadarnya karena baru kurang lebih sebulan aku tinggal di negeri ini, Ustadzah Zainab menerangkan padaku siapa yang akan kami kunjungi hari ini. “Kita biasa memanggilnya Hubabah Tiflah” katanya.

“Seorang perempuan tua, ahli ibadah yang lisannya tak pernah berhenti berdzikir. Orang-orang biasa memanggilanya dengan nama itu (dalam bahasa arab artinya bayi) mungkin karena beliau sampai dimasa tuanya masih tetap seperti bayi, tak pernah menyakiti siapapun.”

Rumah itu sangat sederhana kalau tidak malah bisa dibilang miskin. Tak ada permadani tebal atau sandaran-sandaran empuk layaknya rumah-rumah yang lain pada umumnya. Hanya karpet tipis yang mulai lapuk menutupi tanah tak bersemen di bawahnya. Dindingnya hanya separuh yang di cat. Selebihnya berwarna coklat asli tanah yang dilaburkan begitu saja. Ada tumpukan bantal dan selimut usang di sudut ruang. Kurasa diruangan itu pula mereka biasa tidur di malam hari. Sungguh keadaan yang memprihatinkan. Sangat tidak sesuai dengan raut wajah mereka yang menyambut kami kala masuk rumah tadi. Senyum mereka begitu lepas tanpa beban, tawa ceria anak-anak kecilpun tetap terdengar, sambutan berupa pelukan dan di barengi ucapan ahlan wa sahlan (ungkapan selamat datang dalam bahasa arab) terdengar berulang-ulang seolah kami adalah kerabat dekat yang selalu dinanti bertandang. Sungguh… aku jadi betul menyadari memang benar bahwa kebahagiaan tak selalu diukur dengan materi.

Sekilas kudengar Ustadzah Zainab memperkenalkan aku kepada keluarga itu sebelum akhirnya menarik tanganku menemui seorang wanita tua yang duduk bersandar di sudut ruangan.

Wanita itu segera tersenyum demi menyadari keberadaan kami. Aku berpikir ini pasti Hubabah Tiflah yang diceritakan Ustadzah Zainab di rumahnya tadi. Usianya kutaksir di atas tujuh puluhan. Kulitnya sawo matang berkeriput.

Dan Ya Allah…
ternyata beliau buta…
pantas saja beliau tidak ikut berdiri bersama yang lain kala menyambut kami. Aku perhatikan raut wajahnya. Dia tidak cantik namun dari wajahnya terlihat seolah tak pernah ada beban atau masalah apapun dalam hidupnya. Beliau betul-betul seperti bayi. Aku diam di hadapannya, tak tahu harus berbuat apa. Hingga tatkala kulihat Ustadzah Zainab duduk dan mencium tangan wanita itu, akupun cuma mengikuti saja di belakangnya. Dan sambil kupegangi tangannya, aku memperkenalkan diri

“Halimah dari Indonesia” Kataku kataku dengan lahjah (dialek) yang ketara bukan orang arab tentunya.

Dia balas memegang erat tanganku lama sekali hingga kurasa hangat tangannya menjalari tanganku. Lalu dia meraba-raba wajahku dengan kedua tangannnya. Mungkin untuk mempermudah dia membayangkan rupaku.

Kemudian diletakkannya tangan kanannya di dadaku, dan lalu ia mendoakanku. Dia terus berdoa dan tak henti-hentinya berdoa untukku. Seolah saat itu tak ada yang lebih penting darinya kecuali aku. Perempuan asing yang bahkan baru ia kenal beberapa menit yang lalu. Ia masih saja berdoa dengan satu kalimat sederhana. Ya, ia berdoa dengan satu kalimat saja. Satu kalimat doa yang tak akan pernah kulupa. Apalagi tatkala kemudian diiringinya doa tersebut dengan linangan air mata. Sungguh membuat aku terpana, lemas tak mampu bahkan untuk mengangkat tanganku mengaminkan doanya…

“Semoga Allah takkan tega menyengsarakanmu anakku..” doa it uterus di ulangnya berkali-kali dengan cucuran air mata…

Ya Allah, sampai kapanpun, dimanapun, jangan pernah tega untuk menyengsarakan hidupnya”..
katanya lagi dan lagi dengan air mata yang membanjiri wajah tuanya. Membuatku tak kuasa membendung luapan airmata dan akupun ikut menangis terguguk di lantai itu juga.

“Ya Allah… kabulkan doanya.” Teriakku dalam hati. Jangan pernah tega menyengsarakan aku sekarang, nanti dan selamanya, di sini dan di sana. Di dunia ini ataupun hari setelahnya.

Tangisku tumpah ruah. Kukutuki diri dan dosa-dosa yang cukup membuat Allah murka dan berkemungkinan membuatku sengsara. Aku malu atas gunung-gunung dosa yang kutimbun tak habis-habisnya.

“Ya Allah, dan maafkan aku yang tak mengerti bagaimana berdoa pada-Mu. Maafkan aku yang jika untuk keselamatan diriku sendiri harus ada orang lain yang memohonkan dengan linangan air matanya. Sesuatu yang bahkan tak kuingat pernah kulakukan”

“Dan terimakasih Ya Allah… Kau perkenalkan aku pada wanita ini yang berdoa untukku ribuan kali lebih baik dariku.”

“Terima kasih untuk air mata kesungguhannya yang mungkin tak kudapat dari orang-orang yang mengaku mencintaiku sekalipun.”

“Terima kasih pula telah Kau bawa aku ke rumah ini. Rumah yang aku yakini di mata malaikat-Mu lebih indah dari rumah bermarmer mewah namun penghuninya tak pandai mensyukuri nikmat-Mu.”

“Terima kasih Ya Allah untuk sebuah pelajaran berharga”

"Doamu untuk sesama adalah hadiah terindah yang dapat kau berikan padanya

- Tarim Idul Fitri 1999

0 komentar:

Posting Komentar

 
;