Sabtu pagi…
Berarti awal aktivitas belajar mengajar kembali dimulai. Dan sabtu pagi ini aku sudah berdiri di halaman Daruz Zahro diantara ibu-ibu yang juga berdiri sepertiku menanti bis mengantar kami ke Darul Faqih. mulai hari ini aku dipercaya untuk ikut serta mengajar Dauroh Linnisa (semacam pesantren kilat tanpa menginap untuk kaum ibu), yang rutin diadakan setahun sekali oleh pengurus ma’had kami.
Darul Faqih letaknya sekitar 5 kilometer dari Daruz Zahro. Panitia menyiapkan bis antar jemput bagi peserta yang rumahnya jauh. Dan ibu-ibu ini sudah berkumpul di halaman dari sebelum jam 06.30 pagi. Aku kagum dengan semangat belajar mereka sekaligus bangga berada diantara mereka.
●●●
Setelah selesai, akupun bergeggas turun, namun kemudian kecewa karena tak lagi kudapati seorang pun di halaman yang tersisa. Semua sudah berangkat berarti bisnya tadi sudah tiba dan lalu pergi tanpa aku tebawa diantara mereka.
Lemas seketika aku rasanya satu-satunya yang bisa aku lakukan hanya menghubungi panitia, meminta dikirimkan mobil atau apa saja yang bisa mengantarku kesana. Lalu aku menunggu di halaman ini sampai transportasinya tiba.
●●●
Bis besar itu kosong saat kumasuk, isinya hanya sopir, kondektur dan aku yang duduk di tengah cukup jauh dari mereka. Aku betul-betul sendirian tanpa ada teman yang kuajak bicara, maka ketika seorang wanita tua memberhentikan bis kami di jalan untuk ikut entah sampai dimana, akupun mensyukurinya.
“Assalamu’alaik ya Hubabah…” kataku menyapanya.
Dia sejenak menjawab salamku, kemudian memilih tempat duduk di seberang pintu tanpa merasa mengajakku berbicara lebih panjang lagi. Maka, akupun memilih menikmati pemandangan kota Tarim dari jendela.
Menatap Zambal dan Furait dari balik kaca bis selalu jadi hiburan yang tak pernah kulewatkan, letaknya tepat ditengah kota. Bukan taman, bukan pula kantor-kantor pemerintahan. Dua tempat tersebut adalah pemakaman. Ribuan Waliyullah diyakini di makamkan disini.
Diantara mereka AlFaqihil Muqoddam (Muhammad bin Ali Ba’alawi), Imam Al-Hadad (Abdullah bin Alwi AlHaddad) penyusun Ratib Hadad yang terkenal itu, Syekh Umar Muhdor (Umar Al Muhdhor bin Abdurrahman Asseqaf), Abdullah Al Aydrus Al Akbar (Abdullah Al Aydrus bin Abu Bakar AsSakran) dan para wali lainnya, yang bahkan sekedar nama-nama merekapun sulit bagiku menghafalnya. Pemakaman para wali bisa jadi sering aku jumpai, namun lokasinya yang terletak di pusat kota, berdekatan dengan pusat keramaian dan pasar adalah hal yang menarik. Melihatnya seperti melihat sebuah papan pengumuman bertuliskan:
“Hiduplah di duniamu namun ingatlah tempat kembalimu adalah kuburan.”
Kemudian bis kami melewati pasar, aku lihat sayur-sayur segar dijajakan, roti-roti besar khas arab, para pedagang buah yang menawarkan dagangannya juga kerajinan tangan dari para pengrajin berupa tembikar dari tanah liat yang dibakar.
Pasar tradisional dimana-mana kulihat mirip-mirip saja, taka da perbedaan yang mencolok disbanding pasar yang selama ini kulihat kecuali bahwa aku tak menemukan seorang perempuan disana. Kota ini memiliki tradisi perempuan memasak di rumah, dan suami atau saudara laki-laki berbelanja. Bagus juga kurasa, menjadikan laki-laki lebih bertanggung jawab atas ekonomi keluarga. Dan pasar disini cenderung lebih tenang disbanding pasar manapun. Mungkin karena tidak ada perempuan yang memang sering kali lebih rewel daripada laki-laki.
Aku masih termenung ketika bis kemudian tanpa kuduga mengerem mendadak karena ada seorang anak yang tiba-tuba menyeberang jalan.
Bis itu mengerem begitu mendadak hingga tubuhku condong ke depan dan membuat kepalaku terantuk sandaran kursi di hadapanku. Hanya itu yang terjadi padaku yang masih muda dan berat badanku ringan saja. Aku bisa menjaga keseimbangan. Namun wanita tua yang duduk tepat dua baris dihadapanku keadaannya benar-benar memprihatinkan. Aku terkejut melihatnya. Dia terpelenting dan jatuh di tangga pintu masuk, untung saja pintunya tertutup rapat . rupanya dia berusaha memegang besi pintu bis yang licin hingga membuatnya terjerembab dan tangannya tergores besi di bagian bawah pintu sampai darahnya bercucuran.
Aku terkejut dan terperangah…
Benar-benar tak menyangka keadaannya sebegitu parah.
Belum selesai keterkejutanku, aku dibuat lebih terkejut lagi mendengar ucapan pertama yang mengalir dari lisannya saat menyadari darah bercucuran dari tangannya. Dengan terlihat tanpa menahan perih, dia berkata lirih:
“Alhamdulillah…
Terima kasih Ya Allah… atas karunia dan pemberian-Mu yang taka da habis-habisnya”
SubhanAllah… aku terkesima beberapa saat lamanya. Hingga akhirnya ketika dia mulai bisa bangun, aku segera berusaha memapahnya dan menanyakan keadaannya.
Alhamdulillah, tidak apa-apa kok nak… Allah Tuhan kita begitu baik, dan selalu memberi kita yang terbaik.”
Aku semakin terkesima mendengar jawabannya. Betapa mulia hati wanita tua ini, yang bahkan kala ditimpa kemalangan dia tidak hanya bersabar lagi mampu menerima dan mensyukurinya.
Semenjak kejadian pagi itu sampai malam hari aku terus memikirkan kata-katanya sampai membuatku tidak bisa memejamkan mata. Aku begitu malu, sungguh malu kepada Allah yang telah menganugerahkan padaku kehidupan, sementara aku jarang sekali berterima kasih dan mensyukuri atas segenap nikmat yang tak pernah putus-putusnya. Dan ironisnya, disaat tertimpa hal yang tidak menyenangkan, aku seringkali berkeluh kesah. Padahal di atas muka bumi ini ada hamba-hamba-Nya yang bahkan kala mereka di timpa musibah, mereka berterima kasih dan mampu mensyukuri segalanya, sembari meyakini bahwa yang terjadi adalah yang terbaik untuk mereka. Dan wanita ini adalah salah satunya.
Entah kapan aku menjadi golongan mereka ?
Akankah seumur hidup hanya menjadi hamba kebanyakan yang sulit dan tidak mengerti cara berterima kasih pada Tuhannya ?
Entahlah…….
0 komentar:
Posting Komentar