Banyak ulama Hadramaut yang memiliki keahlian khusus. Selain menguasai ilmu agama, ada beberapa diantaranya yang terkenal sebagai sufi. Sedangkan Habib Ali bin Alwi bin Shahab dikenal sebagai pakar atithibb an-nabawi , pengobatan cara Nabi.
Beliau lahir dan dibesarkan di lingkungan para wali di Tarim, Hadramaut, pada tahun 1267 H / 1847 M. sejak kecil beliau dididik oleh ayahandanya hingga sang ayah menjelajah beberapa negeri di Asia untuk berdakwah, dan akhirnya bermukim di Palembang, Sumatera selatan.
Selain kepada ayahandanya, Habib Ali berguru kepada beberapa ulama besar. Antara lain :
- Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi ( penulis kitab Iqdul Yawaqitul Jauhariyah ).
- Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi ( penulis naskah Maulid Simthud Dhuror ).
- Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf ( ayahanda Al-Quthb Habib Abdul Qadir Assegaf, Jeddah ).
Setelah dewasa, Habib Ali, bersama saudaranya Habib Hasan, berdakwah ke Asia, sekalian menziarahi ayahandanya di Palembang. Sebelum akhirnya menetap di Palembang, beliau tinggal di Singapura sambil berguru kepada Syeikh Umar Al-Khatib; sedangkan Habib Hasan dan saudaranya, kembali ke Hadramaut, Yaman, setelah mengunjungi Gresik, Jawa Timur.
Di Palembang dia mendirikan rumah di perkampungan kaum Alawiyin di sungai Bayas, berhadapan dengan rumah ayahandanya, yang oleh penduduk disebut rumah batu. Rumah itu berlantai dua. Lantai bawah khusus para tamu, lengkap dengan kamar tidur dan kamar mandi. Sedangkan beliau sendiri tinggal di lantai atas.
Kegemaran Habib Ali bin Alwi bin Shahab memuliakan para tamu bukan hanya dalam keadaan jaga, tapi juga dalam keadaan tidur, mungkin bisa disebut dalam keadaan mimpi. Sampai-sampai istrinya, Syarifah Ruqayyah binti Abu Bakar Al-Kaf, pada hari-hari pertama berkeluarga dengan Habib Ali bingung dan mengira suaminya sakit. Sebab dalam keadaan tidur, Habib Ali tampak berdialog dan menyebut nama para wali yang sudah wafat. Agaknya mereka menemui Habib Ali dalam tidurnya.
Tamu Habib Ali, dalam keadaan terjaga, banyak sekali, terdiri para pedagang dan mubaligh, baik dari Asia maupun Timur Tengah. Mereka melakukan transaksi dengan Habib Ali, dan Habib Ali menjual barang dagangann ya di Toko "Laris" di pasar Ilir, atau menyalurkannya ke Apotek. Diantaranya terdapat da'wat ( untuk rajah ), khan arab, inggu, dedes, mustaki, minyak wangi. Getar semalo, malam, akar kara, kumo-kumo dan minyak Za'faron.
Rumah Habib Ali juga dimanfaatkan untuk majelis taklim, tempat mendidik anak-anaknya dan beberapa murid lain. Diantara mereka, dibelakang hari ada yang menjadi ulama terkenal, seperti Nungcik Aqil dan mualim Umar. Kepada para muridnya, Habib Ali selalu memberi uang setiap kali mereka selesai belajar.
Suatu hari, Habib Ali memulai majelisnya pada pukul dua dini hari hingga para santrinya kedinginan dan kelaparan lantaran menunggu Habib Ali menghatamkan Al-Qur'an, kebiasaannya tiap hari. Mualim Umar, melihat pisang goring yang disediakan untuk Habib Ali sudah dingin, tapi madu dan ceret kopi sudah kosong.
Setelah menghatamkan Al-Qur'an dan shalat dua raka'at, Habib Ali menyuruh murid-muridnya membuka kitab, sedangkan Mualim Umar disuruh menyajikan kopi, pisang goreng dan madu. Tentu saja Mualim Umar bingung, tapi ia tetap mematuhi perintah sang guru. Betapa ia terkejut ketika didapatinya pisang goring masih panas dan ceret kopi sudah terisi penuh, padahal tak ada orang lain yang mengerjakannya.
Dalam majelisnya yang lain, Habib Ali didatangi seorang pemuda berpakaian rapi, mengenakan jas dan celana panjang dengan rambut tersisir rapi. Tampilan pemuda itu tidak sesuai untuk ukuran majelis taklim. Namun Habib Ali menyambutnya dengan hangat, memeluk dan mencium tangannya, meskipun umur sang tamu masih sangat muda.
"Kalian tahu siapa yang datang tadi? Habib Ali bertanya kepada para santrinya setelah sang pemuda tadi pamit pulang.
"Beliau adalah Habib Salim bin Ahmad bin Jindan dari Jakarta, Waliyullah yang mendapatkan abdal ( salah satu tingkatan wali yang jumlahnya tujuh ) dari Allah swt." Konon, Habib Salim Jindan sengaja berpakaian seperti itu agar para pemuda tidak sungkan-sungkan menghadiri majelis Habib Ali.
Selain di rumah, Habib Ali juga mengajar di beberapa tempat lain, seperti di rumah Habih Muhammad bin Alwi ( pasar Kuto, Palembang ), Pesantren Tahtal Yaman ( Jambi ) dan Madrasah Al-Ihsan ( 10 Ilir, Palembang ) cababg Rabithah Alawiyah ( Jakarta ).
Habib ali juga dikenal sebagai ahli Thibbun nabawi , pengobatan cara Nabi. Mulai dari pembuatan wafak atau wifik, hingga obat-obatan tradisionil yang terkenal mujarab. Produk obatnya yang masih bisa diperoleh hingga saat ini, antara lain minyak mawar, minyak inggu, minyak rahib, minyak telur, minyak labu dan ma,jun bawang putih.
Beliau juga menulis kitab tentang obat-obatan dalam huruf Arab Melayu berjudul Penggirang Hati dan menerbitkan beberapa risalah :
- Fathul Mubin
- Al-Ghirah al-'Alawiyyah 'ala al-Ukhuwwah al-Hadramiyyah
- Tanbihul Anam 'anti Jawiyyah
- Al-Ghirah asy-Syahabiyyah 'ala as-Sirah al-Hasyimiyyah.
Pada suatu hari, ketika sedang beristirahat di teras kamar. Beliau didekati dua ekor burung berwarna putih. Beliau lalu menciprati burung itu dengan minyak wangi, dan si burung disuruh terbang kembali. Tetapi burung tidak terbang juga meski Habib Muhammad, anaknya, ikut mengusirnya. Agaknya Habib Ali memahami situasi tersebut. Lalu dipanggilnya pembantu setianya yang terbaring sakit.
"Ya. Saidah, Izrail sudah datang, dia mau memanggil saya."
Yang dimaksud dengan Izrail, rupanya si burung itu.
"jangan Ya Habib, biar Saidah dulu, tolong Habib doa'kan saya." Jawab Saidah binti Salim al-Maidit yang mengulanginya sampai tiga kali. Akhirnya, ketika magrib tiba, Saidah pun wafat.
Malamnya, Habib Ali mempersiapkan kain kafan untuk Saidah, setelah itu kembali ke kamarnya, sementara burung putih itu masih bertengger di teras rumah.
Keesokan harinya, setelah mandi dan shalat shubuh. Habib Ali minta dimandikan lagi, karena hari itu sahur pertama, terlebih ada jenazah Saidah.
"Rupanya Izrail masih menunggu saya dan saya mau mandi dulu." Kata Habib Ali kepada istrinya. Setelah mandi dengan bantuan anaknya, Habib Muhammad, beliau berbaring. Saat itulah beliau bertanya:
Ya Izrail apakah sudah ada izin dari Allah swt?"
Tidak lama kemudian beliau pun berkata kepada istrinya:
Ya Ipa, sudah ada izin dari Allah awt."
Kontan istrinya berteriak :
"Jangan, Ya Ami……Jangan Ya Ami!
Kemudian Habib Ali berdoa' sambil tetap berbaring, setelah sebelumnya mencelupkan kedua tangannya ke dalam baskom air. Saat itulah Habib Ali berpulang dalam usia 87 tahun, pada 1 Ramadhan 1354 H, bertepatan dengan tanggal 27 November 1935 M.
(al-Kisah No.25/ tahun III/ 5-18 desember 2005 )