Kisah Zubaidah binti Ja'far, Istri Khalifah Harun Al-Rasyid
بسم الله الرّحمن الرّحيم
Syeikh Sa'id Adam Umar (Penjaga Makam Rasulullah)
بسم الله الرّحمن الرّحيم
![]() |
Syeikh Sa'id Adam Umar |
Sebuah Syair Pujian Kaisar Tiongkok Tentang Nabi Muhammad (Shalallaahu 'Alaihi Wasallam)
بسم الله الرّحمن الرّحيم
Kesedihan Saat Do'a Terkabul Meminta Nasi Biryani
بسم الله الرّحمن الرّحيم
Kisah Basahnya Tempat Shalat Al-Imam Hasan Al-Bashri
بسم الله الرّحمن الرّحيم
Suatu hari seorang ulama sedang berkunjung di kediaman Al-Imam Hasan Al-Bashri, lalu dia dipersilahkan menunggu di musholla yang ada didalam rumahnya, sebuah musholla kecil yang biasa digunakannya untuk ibadah.
Lalu tidak sengaja ulama itu menyentuh sajadah Imam Hasan Al-Bashri yang dilihatnya tampak basah, lalu dilihatnya atap ternyata tidak ada yang bocor.
Dan ketika salah satu keluarga Imam Hasan datang untuk memberikan suguhan, ditegurnya keluarga itu.
"Wahai fulan kenapa kamu biarkan sajadah Imam Hasan ini tampak basah, tidak ada atap yang bocor, apakah ini ompol seorang anak-anak, hendaknya kamu bisa mensterilkan tempat ibadah ini dari anak-anak agar tidak seperti ini." katanya dengan nada menasehati
Dijawablah "Itu bukan ompol ataupun air tumpah, melainkan ketahuilah bahwa setiap kali Imam Hasan Al-Bashri shalat di situ, ia tak kuasa membendung air matanya. Setiap kali sujud, ia menangis dan berderailah air matanya. Hingga tempat itu hampir selalu basah dan tak pernah kering."
Mendengar penuturan itu, sang ulama tampak malu, kaget sekaligus kagum kepada Imam Hasan Al-Bashri.
Sumber: https://majelisalmunawwarah.blogspot.com/2021/07/kisah-basahnya-tempat-shalat-imam-hasan.html
Kisah Gitar Gambus Habib Segaf bin Abu Bakar Assegaf
بسم الله الرّحمن الرّحيم
![]() |
Hadratus Syeikh Arifin bin Ali bin Hasan & Habib Segaf bin Abu Bakar Assegaf |
Pegambus ternama Tanah Air, Habib Segaf Assegaf adalah putra dari Al-Quthub Al-Imam Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, Gresik. Menurut banyak sumber yang telah dikonfirmasi keabsahannya oleh banyak Habaib Indonesia, kisah Habib Segaf mencintai gambus bermula dari kisah ayahnya, Habib Abu Bakar Assegaf saat berada di Hadhramaut.
Saat itu beliau menegur seseorang yang terus memainkan gambus tanpa memperhatikan waktu. Pegambus tersebut (yang kemungkinan Madzdub) lantas berkata, "Engkau akan memiliki seorang anak yang seperti diriku." Dan benar beliau memiliki putra, yakni Habib Segaf yang amat menggemari gambus.
Makna tersirat dari kisah di atas adalah, bahwa tidak semua gambus melenakan seperti yang difahami orang kebanyakan, khususnya kaum Wahabi yang menyatakan bulat-bulat bahwa musik adalah haram.
Gambus dalam beberapa kasus, seperti Habib Segaf ini, merupakan satu sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Melalui gambus disampaikan pesan-pesan moral, nasehat agama dan sebagainya.
Di dunia kesufian, gambus juga banyak digunakan para wali untuk menutup pandangan kasyaf mereka terhadap dunia. Mereka yang diberi keistimewaan melihat hakikat bentuk manusia, umumnya merasa "tidak nyaman" dengan anugerah tersebut, sehingga menggunakan gambus untuk menutupi kasyafnya.
Di Indonesia, selain Habib Segaf, yang menggunakan gambus untuk metode ini adalah Habib Abdul Qadir bin Abdullah Bilfaqih (Sayyid Abu Abdillah Elkisa).
Melalui Habib Segaf, Habib Abu Bakar kemudian mengerti arti lain gambus yang ternyata memiliki hakikat khusus. Sebab ketika beliau melarang anaknya untuk bermain gambus lagi, gitar gambus putranya tersebut menangis dan mengutarakan kesedihannya karena tidak dimainkan lagi.
Maka semenjak itu Beliau Habib Abu Bakar tidak pernah lagi melarang putranya bermain Gambus.
Sumber: https://majelisalmunawwarah.blogspot.com/2021/06/kisah-gitar-gambus-habib-segaf-bin-abu.html
Kedermawanan Ba Misbah
بسم الله الرّحمن الرّحيم
Suatu hari Sayidina Abdullah bin Syeikh Alaydrus duduk bercakap-cakap dengan para sahabatnya. Tiba-tiba beliau bertanya, “Adakah dermawan yang lebih murah hati daripada aku?”Dua kali pertanyaan ini diajukan, tetapi semua diam, tidak ada seorang pun yang berani menjawab. Namun, kemudian ada salah seorang dari mereka berkata, “Ya sayyidiy, ada yang lebih murah hati daripada engkau.”
“Siapa dia?”
“Dia tak begitu dikenal.”
“Kau harus memberitahukan siapa orang itu. Tak ada alasan untuk menyembunyikannya dariku.”
“Dia adalah seorang lelaki lemah bernama Ba Misbah, tinggal di Kholif. Dia lebih murah hati daripada engkau.”
“Apa pekerjaan laki-laki ini?”
“Tukang celup pakaian.”
Setelah hari malam, Habib Abdullah menyamar sebagai wanita, lalu pergi ke rumah Ba Misbah di Kholif. Sesampainya di sana, beliau mengetuk pintu rumah Ba Misbah.
“Siapa…?” tanya Ba Misbah.
“Aku seorang syarifah alawiyah. Aku butuh sesuatu darimu.”
Dengan perasaan senang, ia segera keluar menemui beliau.
“Selamat datang wahai syarifah, segala puji syukur bagi Allah yang telah memilih kami untuk memenuhi kebutuhanmu...” katanya setelah membuka pintu. Malam itu kebetulan adalah malam Idul Adha.
“Ya sayyidatiy, apakah kebutuhanmu, mintalah semua yang kau butuhkan. Hamba akan patuh kepadamu.” kata Ba Misbah.
“Aku adalah seorang syarifah yang miskin. Anakku banyak. Aku tidak memiliki ayah, saudara maupun suami. Besok hari raya, tapi kami tak memiliki apa-apa.”
“Marhaba… Permintaan yang mudah bagi pelayanmu ini. Lalu apa yang kau inginkan?”
“Aku butuh makanan dan beras.”
“Siap!” ia lalu memberikan dua karung makanan dan dua karung beras.
Habib Abdullah tidak membawa barang itu pulang ke rumah, tapi beliau pergi ke belakang rumah Ba Misbah, lalu meletakkan makanan dan beras tersebut di sana. Beliau menunggu hingga Ba Misbah naik ke tingkat paling atas dari rumahnya. Setelah merasa yakin bahwa Ba Misbah telah tidur, beliau kembali ke rumah Ba Misbah, mengetuk pintunya.
“Siapa?” tanya Ba Misbah.
“Hababahmu, Syarifah yang tadi datang ke sini. Aku masih ada kebutuhan yang lupa kusampaikan kepadamu.”
“Selamat datang sayyidatiy, puji syukur bagi Allah yang telah memilih aku untuk memenuhi kebutuhanmu. Ini sebuah nikmat yang agung” Ia segera menemui Habib Abdullah dengan perasaan senang dan bahagia.
“Ya sayyidatiy, mintalah apa yang kau perlukan, aku adalah abdimu, milikmu”, katanya setelah membuka pintu.
“Aku lupa, kami berempat di rumah tidak memiliki pakaian. Aku butuh pakaian.”
“Siap...” ia lalu mengambilkan 4 pakaian yang telah dicelup dan bergambar. Pakaian-pakaian itu berkualitas tinggi, dan pakaian terbaik bagi wanita zaman itu adalah yang bergambar.
Habib Abdullah membawa pakaian tersebut ke belakang rumah Ba Misbah dan meletakkannya di tempat yang sama. Beliau mulai takjub dengan kebaikan akhlak Ba Misbah. Sebab, meski diganggu di malam hari, ia tidak merasa susah dan jengkel. Setelah merasa yakin bahwa Ba Misbah telah tidur pulas, Habib Abdullah kembali ke rumah Ba Misbah untuk yang ke tiga kalinya.
Beliau mengetuk pintu rumahnya. Ba Misbah segera bangun dan bertanya, “Siapakah yang di luar?”
“Hababahmu, syarifah yang tadi datang ke sini. Aku lupa, masih ada satu kebutuhan lagi yang belum kusampaikan kepadamu.”
“Selamat datang, segala puji bagi Allah yang telah memilihku untuk memenuhi kebutuhanmu” Ba Misbah segera keluar menemui Habib Abdullah dengan perasaan lebih senang dan bahagia dari sebelumya. Ia membukakan pintu seakan-akan Habib Abdullah baru pertama kali datang ke rumahnya.
“Ya sayyidatiy…, wahai penyejuk hatiku…, mintalah apa yang engkau butuhkan, pelayanmu ini akan selalu patuh. Apa gerangan kebutuhamu sekarang?”
“Aku butuh minyak zaitun, minyak samin, dan beberapa kurma.”
“Marhaba… Setiap kali kau butuh sesuatu mintalah kepadaku.” Ba Misbah segera mengambilkan satu kantong minyak zaitun, satu kantong minyak samin, satu wadah kurma.
“Ya sayyidatiy, ambillah barang-barang ini. Maafkan aku telah meyusahkanmu lantaran engkau lupa menyebutkan semua kebutuhanmu. Jika masih ada yang terlupa, kembalilah kemari. Kedatanganmu ke rumahku ini merupakan nikmat terbesar yang diberikan Allah padaku.”
Habib Abdullah mengambil semua pemberiannya, lalu pergi ke belakang rumah Ba Misbah. Habib Abdullah takjub melihat kebaikan akhlak Ba Misbah dan mukanya tidak berubah. Beberapa saat kemudian, setelah beliau yakin bahwa Ba Misbah telah tidur pulas, beliau kembali mengetuk pintu rumahnya. Beliau ingin melihat sifat buruknya, atau perubahan wajah Ba Misbah.
Ba misbah segera bangun dari tidurnya dan bertanya, ”Siapa itu?”
“Hababahmu, syarifah yang tadi datang ke sini. Masih ada keperluanku yang terlupakan. Cepatlah kemari.”
Ba Misbah segera keluar dengan perasaan senang dan bahagia, seakan-akan baru pertama kali syarifah itu mengetuk pintu rumahnya.
“Selamat datang sayyidatiy, penyejuk hatiku. Segala puji bagi Allah yang telah mengistimewakanku dengan bolak-baliknya engkau ke rumahku. Mintalah apa yang kau butuhkan. Aku adalah abdi dan pelayanmu. Dan memenuhi semua kebutuhanmu adalah puncak cita-citaku.”
“Masih ada kebutuhan yang terlupakan olehku.”
“Apa itu? Semua yang engkau butuhkan akan kusediakan. Jika tidak ada di sini, aku akan menjual diriku untuk membeli barang yang kau butuhkan.”
“Aku butuh daging untuk hari raya besok. Besok hari raya, tapi kami tidak memiliki sesuatu pun.”
“Demi Allah, di rumah pelayanmu ini tidak ada sesuatu pun kecuali satu kepala kambing untuk hari raya anak-anaknya”, kata Ba Misbah sambil memegang janggutnya, “Akan tetapi tidaklah benar jika anak-anak orang yang kopiahnya bau ini menikmati hari raya, sementara anak cucu Rasulullah SAW tidak berhari raya. Ambillah kepala kambing ini, dan berhari rayalah dengan anak-anakmu.”
Habib Abdullah membawa kepala kambing itu dan kembali meletakkannya di belakang rumah Ba Misbah. Habib Abdullah terheran-heran menyaksikan akhlak Ba Misbah. Beliau berkata dalam hatinya, “Hanya seorang arifbillah saja yang akhlaknya seperti ini. Laki-laki ini sedikit pun tidak melihat basyariah seseorang.”
Habib Abdullah diam di sana beberapa saat. Setelah merasa yakin bahwa Ba Misbah telah tidur pulas, ia segera kembali ke rumah Ba Misbah untuk yang ke lima kalinya. Beliau ingin melihat sedikit saja perubahan dari sikap Ba Misbah, walaupun hanya sekedar perubahan raut wajah. Beliau kembali mengetuk pintu rumah Ba Misbah.
“Siapa itu ?”
“Hababahmu, syarifah yang tadi datang ke sini. Aku teringat satu lagi kebutuhanku.”
“Selamat datang wahai cucu Rasulullah. Kenikmatan apa gerangan yang diberikan Allah kepadaku di malam ini? Segala puji syukur bagi-Nya” Ia segera keluar dengan perasaan senang dan bahagia seakan-akan baru pertama kali syarifah tersebut datang ke rumahnya.
“Selamat datang Ya sayyidatiy, dan penyejuk hatiku. Mintalah semua yang kau butuhkan. Aku adalah abdi dan pelayanmu. Aku patuh kepadamu.”
“Aku butuh kayu.”
“Marhaba.”
Ia memanggil pembantunya, meminta kayu.
“Wahai hababahku, wahai pelipur hatiku, inilah kayu yang kau butuhkan. Setiap kali kau ingat suatu kebutuhan, kembalilah ke sini. Sebab, melayanimu merupakan salah satu pendekatan diri yang paling baik kepada Allah.”
Habib Abdullah membawa kayu itu, lalu meletakkannya di tempat yang sama. Beliau kagum menyaksikan kebaikan akhlak Ba Misbah dan kelapangan hatinya. Tak sehelai rambut pun bergerak, tak sedikit pun raut wajah berubah. Beliau duduk sejenak hingga benar-benar yakin bahwa Ba Misbah telah pulas dalam tidurnya. Beliau kembali mengetuk pintu rumahnya untuk yang ke enam kali. Dalam hati, beliau berkata, “Mungkin kali ini raut wajahnya akan berubah, atau ia akan mulai menghina dan berkata kasar.”
Ba Misbah segera bangun dan bertanya, “Siapa yang mengetuk pintu?”
“Hababahmu, syarifah yang tadi ke sini. Masih ada satu kebutuhanku yang baru kuingat sekarang.”
“Marhaba… Wahai hababahku, tuanku dan penyejuk hatiku.” Ba Misbah keluar dengan perasaan lebih senang dan bahagia dari sebelumnya. Seakan-akan baru pertama kalinya syarifah itu mengetuk pintu rumahnya.
“Alhamdulillaah, kenikmatan agung apa yang sedang diberikan Allah kepadaku ini. Aku tidak berhak menerima kenikmatan ini. Mintalah apa yang kau butuhkan. Wahai sayyidatiy, setiap kali kau ingat sesuatu, datanglah ke sini. Aku adalah abdi dan pelayanmu. Aku akan patuh kepadamu.”
“Aku butuh seseorang untuk membawakan semua yang kau berikan kepadaku. Lihatlah, semua yang kau berikan kuletakkan di belakang rumahmu. Aku tidak kuat membawanya ke rumahku.”
“Beres! Kami akan mengantarkan barang-barang itu ke mana pun engkau suka.” Ia kemudian membangunkan isteri, anak dan pembantunya. Mereka semua kemudian diperintahkannya membawa barang-barang syarifah tadi.
“Ya sayyidatiy, jalanlah lebih dahulu, agar kami dapat mengikutimu” kata Ba Misbah.
Habib Abdullah berjalan di depan mereka. Ketika sampai di Nuwaidiroh, Habib Abdullah berhenti dan berkata, “Wah…, aku datang bukan dari rumahku, dan aku tidak kenal jalan ini, kecuali kalau aku memulai lagi dari rumah kalian. Mari kita kembali.”
“Marhaba….” Mereka semua kembali ke rumah Ba Misbah. Setelah sampai di sana, Habib Abdullah berkata, “Sekarang aku ingat jalan menuju rumahku. Inilah jalannya.”
“Jalanlah di muka…, agar kami dapat mengikutimu.” Beliau berjalan di depan, dan mereka semua mengikutinya. Sesampainya di Nuwaidiroh, beliau berhenti. “Aku kehilangan arah lagi. Apakah gerangan yang terjadi? Aku tidak dapat mengingat jalan menuju rumahku, kecuali jika kita mulai lagi dari rumah kalian. Mari kita balik ke sana.”
Mereka pun dengan senang hati kembali ke rumah Ba Misbah. Habib Abdullah telah menguji Ba Misbah sampai pada puncaknya. Beliau ingin melihat lelaki itu marah, namun sedikit pun sikapnya tidak berubah hingga Habib Abdullah sendiri merasa kelelahan. Fajar mulai menyingsing, Habib Abdullah berkata kepada mereka, “Sekarang telah masuk waktu fajar. Bukalah pintu rumah kalian, aku ingin menunaikan salat Subuh di rumah kalian.”
“Selamat datang. Salatmu di rumah ini adalah nikmat terbesar bagi kami. Setiap kali kau meminta sesuatu kepada pembantumu ini, ia akan menyediakannya untukmu. Meskipun kau minta semua yang ada di rumahnya, ia akan memberikannya kepadamu. Dan engkau sesungguhnya telah bermurah hati kepada kami, karena telah mengistimewakan aku untuk memenuhi kebutuhanmu.”
Ba Misbah lalu membuka pintu rumahnya. Setelah memasuki rumah, Habib Abdullah membuka cadar yang menutupi wajahnya dan berkata kepada Ba Misbah, “Sungguh beruntung kamu..., sungguh beruntung..., kuucapkan selamat atas akhlakmu yang luhur ini. Demi Allah, kau seorang dermawan sejati, lebih murah hati dariku. Aku bukanlah seorang wanita. Aku adalah Abdullah bin Syeikh Alaydrus. Tidak ada seorang manusia pun akan mampu berperilaku dengan akhlak yang luhur ini.”
Air mata Habib Abdullah menetes di pipi, ia berkata, “Selamat… selamat… selamat… Maafkanlah aku. Semoga Allah menambah apa yang telah Ia berikan kepadamu, dan menjadikan budi pekerti kita seperti budi pekertimu…”
Setelah berpamitan, Habib Abdullah lalu pergi sambil memuji dan mendoakannya.
Sumber: https://majelisalmunawwarah.blogspot.com/2020/07/kedermawanan-ba-misbah.html
Kisah Ayyub As-Sakhtiyani r.a (Tabi'in)
بسم الله الرّحمن الرّحيم
“Ayyub adalah pemimpin para pemuda Bashrah….(Hasan al-Bashri)Seorang pemuda, pemimpin ahli ibadah yang disinari dengan cahaya keyakinan dan iman. Ayyub bin Kaisan As-Sakhtiyani bergelar Abu Bakar al-Bashri adalah seorang ahli Fiqh yang kaya Hujjah, ahli ibadah haji, pemilik akhlak yang selalu berteman dengan kebenaran
Begitulah Abu Nuaim menggambarkan sifatnya. Dia sangat teguh pada keislamannya dan selalu berteman dengan orang-orang pilihan. Ia pernah meletakan tangannya diatas kepalanya lalu berkata,”Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami dari syirik. Tak ada diantara kami kecuali Abu Tamimah (Ayahnya).”
Humaidi berkomentar, “Sufyan bin Uyainah menemui 86 Tabi’in. Dia berkata.”aku tidak melihat seorangpun seperti Ayyub.”
Hisyam bin Urwah berkata,”Aku tidak pernah melihat orang Bashrah seperti Ayyub.”
Ayyub tak melupakan nikmat Allah. Dia tidak henti-hentinya bersyukur dengan lisan dan anggota tubuhnya. Dia seorang berilmu, beramal dan khusyuk. Begitulah Malik mengomentarinya.
Suatu ketika Ayyub melakukan perjalanan bersama rombongannya. Ketika mereka tiba disuatu tempat, tiba-tiba seorang laki-laki berbadan besar, berpakaian kasar dari kain katun berkata,”Apakah diantara kalian ada yang mengetahui Ayyub bin Abi Tamimah?”
Salah seorang dari rombongan segera memberi tahu Ayyub. Ketika bertemu, keduanya segera berpelukan. Ternyata laki-laki yang baru datang itu adalah Salim bin Abdullah bin Umar bin Khathab.
Ayyub mempunyai kedudukan tinggi dikalangan orang-orang shalih. Ia dicintai, baik oleh kalangan umum maupun tokoh masyarakat. Suatu ketika, ia menemui Hasan al-Bashri dan menanyakan sesuatu. Ketika dia berdiri, dengan bangga Hasan al-Bashri berkata, ”Ini pemimpin para pemuda”.
Ubaidillah bin Umar selalu ingin bertemu dengan orang-orang dari Irak ketika tiba musim Haji. Ketika ditanya tentang hal itu, ia berkata,”Demi Allah, dalam setahun aku tak pernah segembira kecuali ketika tiba musim haji. Aku bisa bertemu dengan oran-orang yang hatinya telah disinari oleh Allah dengan cahaya iman. Jika melihat mereka, hatiku tenang. Diantaranya mereka adalah Ayyub!”
Demikianlah kedudukan Ayyub dimata orang-orang shalih. Apakah semua itu didapat dengan cara mudah? Tidak! Ia mendapatkannya dengan menjauhi banyak diam, selalu melakukan perjalanan, bergabung dengan oran-orang shalih yang terpilih, mengurangi tidur dan menghindari orang-orang jahat.
Ayyub selalu bangun malam tanpa memamerkannya pada orang lain. Ketika waktu shubuh datang, ia meninggikan suara bacaannya seolah ia baru bangun. Ayyub sering melaksanakan ibadah haji. Bahkan disebutkan ia sempat berhaji 40 kali
Ibadah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi sangat membekas di hati, menyucikan jiwa dan membersihkan kotoran-kotoran ibadah. Ia mentauhidkan Allah dengan ketaatan. Ketika dia keluar menemui oran-orang, nampaklah hal itu diwajahnya.
Ayyub mempunyai hati yang lembut. Bahkan sangat lembut. Malik menuturkan bahwa ia sering menemui Ayyub. Ketika ia memaparkan tentang hadis Nabi, ia selalu menangis. Malik berkata,”Kami kadang merasa kasihan melihatnya. Ketika hal itu terjadi, ia mengaku sedang kena Flu. Padahal, ia tidak sedang flu, tapi karena menahan tangisnya.”
Suatu ketika ada yang melihatnya berdiri dekat makam Hasan al-Bashri dan Muhammad bin Sirin dalam keadaan menangis. Sesekali ia melihat kesana kemari.
Kelembutan hati merupakan tanda penerimaannya terhadap sang Pencipta. Sibuk dengan ketaatan padaNya merupakan cara membersihkan hati dari segala kotoran. Bagaimana hati Ayyub tidak lembut kalau dia selalu menyibukkan dirinya dengan perkataan-perkataan baik.
Jamaah yang menghadiri majelisnya memintanya untuk terus berbicara. Ia berkata,”Cukup. Seandainya aku memberitahu kalian apa yang kuucapkan hari ini, tentu aku akan lakukan.” Ini menunjukan bahwa ia berkata sedikit dan mampu membatasi perkataannya.
Shalih bin Abil Akhdhar berkata,”Aku berkata kepada Ayyub, berilah aku wasiat!’Dia menjawab, sedikitkan bicara!”
Ayyub juga seorang ahli zuhud yang benar-benar mengetahui makna zuhud. Dalam sebuah ungkapannya ia berkata,”Zuhud di dunia ada tiga: Yang paling dicintai paling tinggi disisi Allah dan paling besar pahalanya adalah zuhud dalam ibadah kepada Allah dan tidak menyembah selainNya, baik raja, patung, batu maupun berhala. Kemudian zuhud terhadap apa yang diharamkan Allah dari mengambil atau memberi sesuatu. Lalu ia menemui orang-orang dan berkata,”Zuhud kalian wahai sekalian Qurra (ahli membaca al-Qur’an). Demi Allah, paling khusus bagi Allah, yaitu zuhud dalam hal yang dihalalkan Allah.
Simaklah ungkapan Hamad bin Zaid yang memberikan gambaran tentang pribadi Ayyub,”Seandainya kalian memberinya minum, kalian tak akan bisa. Dia mempunyai makanan cukup, minuman banyak, pakaian indah, penutup kepala bagus, celana kurdi yang baik dan selendang yang indah.”
Ayyub tidak membuat-buat seolah dirinya zuhud dengan tampilan miskin. Dalam hal ini, Ayyub menggabungkan antara kezuhudan dan kekayaan dalam bingkai ikhlas. Ia seorang Tawadhu dan jauh dari keinginan untuk terkenal.
Hamad bin Zaid memaparkan tentang kezuhudannya ketika menemaninya berjalan.”suatu saat Ayyub melewati jalan yang jauh (padahal ada jalan pintas).
”Lewat sini lebih dekat,”kata Hamad.
”Aku menghindari majelis ini, ” jawab Ayyub.
”Hal itu disebabkan ketika Ayyub memberi salam, mereka menjawab lebih dari mereka menjawab salam pada orang lain. Ayyub berkata,”Engkau tahu, saya tidak menyukai hal ini.”
Di Antara contoh ketawadhuannya, ketika ditanya dan dia tidak bisa menjawabnya, maka ia mengatakan,”Tanyakan pada Ulama!”Dia pun biasa menjawab,” Belum sampai padaku masalah ini!.”
Orang-orang pun mendesaknya,”katakan menurutmu!”
” Belum sampai padaku masalah ini!.”jawabnya.
Ayyub juga dikenal murah senyum dan ramah. Ia juga selalu menepati janjinya. Syu’bah berkata,”aku tidak pernah membuat janji dengan Ayyub kecuali ketika akan berpisah ia selalu berkata,”tidak ada antara kita janji.”
Namun, ia selalu datang lebih dulu.
Ketika ada yang baru mendapatkan anak, Ayyub memberi ucapan selamat,”Semoga Allah memberikan keberkahan padamu dan Umat Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam.”
Ketika wabah Kolera menyebar pada 131 Hijriyah, Allah pun mewafatkannya. Ia meninggalkan Bashrah dan dunia seisinya...Semoga Syurga Allah Menantinya...Amien
Sumber:
Shuwar min Siyar at-Tabi’in, Azhari Ahmad Mahmud
Siyar A’lam at-Tabi’in, Shabri bin Salamah Syahin
Keutamaan Mengetahui Aib Dibandingkan Ibadah 70 Tahun
بسم الله الرّحمن الرّحيم
Sebuah kisah yang diriwayatkan dari Al-Imam Wahab bin Munabbih.
Dulu ada seorang laki-laki Bani Israil yang terus melakukan puasa selama tujuh puluh tahun. Dalam setiap tahunnya ia hanya berbuka enam hari. Lalu ia memohon kepada Allah agar diberi kemampuan dapat melihat setan, agar mengetahui bagaimana setan-setan itu menggoda manusia.
Setelah lama ia memohon hal itu kepada Allah, namun belum juga dikabulkan, maka ia berkata: "Seandainya kesalahan dan dosa-dosaku kepada Tuhan diperlihatkan kepadaku, tentu hal ini lebih baik daripada apa yang aku minta tersebut."
Tidak lama kemudian, Allah mengutus seorang malaikat kepadanya, ia berkata, bahwa Allah mengutus aku kepadamu, Dia berfirman kepadamu: "Sesungguhnya apa yang kamu katakan terakhir (memohon diperlihatkan dosa-dosa dan kesalahan) lebih Aku sukai daripada ibadah yang selama ini kamu kerjakan (Puasa selama 70 tahun)".
Akhirnya Allah telah membuka ketajaman penglihatan matanya dan mampu melihat pasukan iblis meliputi seluruh bumi. Tidak ada seorang pun manusia yang tidak dikelilinginya seperti halnya lalat yang mengerubungi bangkai. Sehingga laki-laki itu berkata "Wahai Tuhanku, kalau begini siapa yang dapat selamat dari setan?" Allah menjawab: "Yang selamat adalah orang-orang yang wara' dan lemah lembut".
Sumber : http://majelisalmunawwarah.blogspot.com/2020/01/keutamaan-mengetahui-aib-dibandingkan.html
بسم الله الرّحمن الرّحيم
Sebuah kisah yang diceritakan oleh Rasulullah ﷺ, dari Abu Hurairah dan diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam Al 'Adabul Mufrad.Tidak ada bayi yang dapat berbicara kecuali Isa ibn Maryam dan bayi yang membela Juraij. Para sahabat bertanya, siapa itu Juraij yaa Rasulullah? Beliau berkata, sesungguhnya ia adalah hamba Allah yang sholeh dari kalangan ummat sebelumnya. Ia tinggal disebuah dataran tinggi dan memiliki tempat yang ia khususkan untuk beribadah.
Suatu hari, ketika ia sedang beribadah di tempat peribadatannya datanglah Ibunya yang memanggil, "Wahai Juraij!" Mendengar itu, di dalam hatinya Juraij berkata "Kujawab panggilan ibuku atau kulanjutkan shalat ku?" Namun ia memilih untuk melanjutkan shalatnya. Ibunya kembali memanggil, dan Juraij kembali memilih melanjutkan shalatnya, begitu lagi hingga 3x. Karena marah ibu Juraij kemudian berkata "Yaa Allah jangan wafatkan ia kecuali telah dipertontonkan dihadapan para pelacur."
Di daerah tersebut, juga ada seorang wanita yang sangat terkenal akan kecantikannya, namun ia seorang pelacur dan semua orang didaerah itu tau bahwa ia adalah wanita tercantik dan seorang pelacur. Begitupun Juraij, ia juga dikenal sebagai orang yang paling shaleh di daerah itu. Mengetahui hal tersebut, wanita pelacur ini ingin menguji keshalehan dari Juraij. Setelah berhias secantik mungkin, datanglah ia ditempat peribadatan Juraij dan menawarkan dirinya untuk disetubuhi, ia tampakkan apa-apa yang menurutnya dapat memancing hasrat Juraij.
Namun ternyata, Juraij tidak memperdulikannya sama sekali. Karena tidak terima, wanita itu kemudian mendatangi penggembala sapi disamping tempat peribadatan Juraij dan membuka peluang untuknya disetubuhi, dan terjadilah hingga wanita itu hamil. Setelah melahirkan bayinya, ia datang melapor pada raja dan berkata "Ini hasil hubunganku dengan Juraij".
Datanglah raja bersama pasukan dan penduduk lainnya yang marah dan menghancurkan tempat peribadatan Juraij. Lalu ia diikat dan dipertontonkan dihadapan para pelacur hingga tiba dihadapan wanita tersebut. Raja berkata, "Bayi ini hasil zinamu dengannya."
Juraij menunjuk bayi itu dan berkata "Wahai bayi yang berada dalam buaian ibunya, siapakah ayahmu?"
Atas izin Allah subhanahu wata'ala, bayi itu kemudian berkata "Ayahku adalan Fulan, si penggembala sapi". Sontak semua orang yang berada ditempat itu kemudian kaget dan merasa malu kepada Juraij. Dengan wajah yang memerah, sang raja kemudian berkata kepada Juraij, "Wahai Juraij, maukah engkau aku bangunkan rumah peribadatan baru yang terbuat dari perak atau emas?" Namun Juraij berkata "Tidak perlu, bangunkan saja aku sebagaimana mulanya."
Ini adalah sebuah kisah yang panjang namun berusaha kami ringkas sesingkat mungkin. Semoga kita dapat memetik pelajaran didalamnya.
Sumber: https://majelisalmunawwarah.blogspot.com/2019/07/juraij-dan-bayi-yang-bicara.html