بسم الله الرّحمن الرّحيم
Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi |
Beliau lahir di kota Khola' Rosyid, Hadramaut, Yaman Selatan, pada tahun 1265 H atau 1845 M. Sejak kecil beliau diasuh oleh pamannya yaitu Al-Habib Sholeh bin Muhammad Al-Habsyi. Sejak itu beliau menjadi besar dalam didikan pamannya, sehingga mengikuti jalan dan perilakunya.
Ayah beliau, Al-Imam Al-'Arif Billah Al-Habib Idrus bin Muhammad Al-Habsyi telah bepergian ke Indonesia untuk berdakwah, Sejak kecil ia diasuh oleh pamannya, Habib Sholeh bin Muhammad Al-Habsyi dan wafat di kota Cirebon serta dimakamkan disana. Ayahandanya, Habib Idrus bin Muhammad Al-Habsyi, berdakwah ke Indonesia dan wafat pada 1919 M di Jatiwangi, Majalengka. Sedangkan ibu beliau adalah Syeikhoh Sulumah binti Salim bin Abdullah bin Saad bin Sumair Al hadhrami (putri Syeikh Salim bin Smeer penyusun kitab Safinah Najah).
Pada masa mudanya, Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi telah menuntut ilmu agama yang cukup mendalam, menguasai dan memahaminya. Berbagai ilmu agama yang beliau dapatkan dari ulama masa itu diantaranya ilmu tafsir, hadits dan fiqih. Para ulama dan orang-orang sholeh saat itu telah menyaksikan ketaqwaan dan kedudukan beliau sebagai ulama yang 'aamil (mengamalkan ilmunya).
Seperti hanya para ulama yang lain, di masa mudanya Habib Muhammad juga rajin menuntut ilmu agama hingga sangat memahami dan menguasainya. Beberapa ilmu agama yang ia kuasai, antara lain, tafsir, hadits dan fiqih.
Status sebagai anak yatim tidak berpengaruh kepada terhadap diri beliau, karena ibunya dengan penuh kesabaran mendidiknya dan tidak menikah lagi. Di tambah lagi asuhan dan perhatian dari para pamannya, terutama Al-Habib Sholeh bin Muhammad Al-Habsyi yang menjadi munshib Al-Habsyi di negerinya, beliau dibesarkan dalam didikan pamannya ini sehingga mengikuti jalan dan perilakunya.
Sebelum genap berusia tujuh tahun, beliau telah mulai mempelajari Al-Qur’an kepada mu’allim Ali Syuwa’i pada tempat pengajian umum di Hauthah. Kemudian beliau menghatamkannya pada Syeikh Ahmad Al-Baiti, munsyid di kubah datuknya, Sayyidina Ahmad bin Zain Al-Habsyi. Dalam perjalanan menuntut ilmunya beliau mengerahkan seluruh segala kemampuannya untuk belajar baik ketika masih di Hauthah maupun di berbagai tempat lain di Hadramaut. Disebagian tempat beliau menetap dalam waktu lama dan di sebagian yang lain beliau hanya tinggal beberapa saat. Al-Ghorfah, Sewun, Tarim, Syibam dan Du’an adalah sebagian diantara kota-kota yang didatanginya.
Selain mempelajari Al-Qur’an, sejak kecil beliau juga belajar ilmu fiqih, hadits, tafsir, tasawwuf, nahwu, sharaf, dan sebagainya. Di dalam Qurrah al-‘Ain disebutkan, di antara kitab-kitab yang dibacanya pada pamannya, Al-Habib Sholeh dan pamannya yang lain Al-Habib Abdullah, adalah kitab Ar-Risalah Al-Jami’ah karya datuknya Al-Habib Ahmad bin Zain, Bidayah Al-Hidayah dan umdah as-Salik dalam fiqih, Al-Jurummiyah dan Al-Mutammimah dalam nahwu. Kepada gurunya Al-Habib Abdullah bin Thoha Al-Haddar Al-Haddad, beliau belajar membaca kitab Fathul-Mu’in, rujukan sangat penting dalam fiqih syafi’i.
Guru-gurunya yang lain dalam fiqih dan tasawwuf adalah Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, Al-Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi, Al-Habib Idrus bin Abdul Qadir bin Muhammad Al-Habsyi, Al-Habib Muhsin bin Alwi Assegaf, Al-Habib Hasan bin Husein bin Ahmad Al-Haddad, dan lain-lain. Di antara semua gurunya yang menjadi Syeikh fath (guru pembukanya) adalah Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi.
Sejak kecil beliau sering dido'akan dan diilbas (dikenakan pakaian, yang tujuannya sebagai pengangkatan atau pengakuan) oleh para alim ulama. Muridnya, Al-Allamah As-Sayyid Abdullah bin Thahir Al-Haddad mengatakan dalam kitab qurrah Al-‘Ain bahwa, di antara yang mendo'akan dan meng-ilbas-nya adalah Al-Habib Hasan bin Sholeh Al-Bahr seorang ulama terkemuka. Banyak gurunya yang telah melihat kelebihannya sejak kecil. Mereka telah melihat tanda-tanda kewalian pada dirinya.
Tahun 1281 H, pada usia 16 tahun beliau menunaikan haji untuk pertama kalinya dengan menaiki kapal dagang yang menuju ke Jeddah. Setelah itu kembali ke negerinya, Hauthah. Tetapi hanya beberapa bulan berada di tengah-tengah keluarganya, setelah itu belaiu kembali lagi ke Hijaz untuk menunaikan haji yang kedua, setelah musim haji selesai beliau tidak pulang melainkan menetap di Haramain dan menimba ilmu kepada para ulama.
Di antara para gurunya di Haramain adalah Sayyid Fadhl bin Alwi bin Alwi bin Muhammad bin Sahl Maulad Dawilah yang kemudian menjadi tokoh habaib di Turki, Al-Allamah Sayyid Ahmad Zaini Dahlan mufti syafi’i di Makkah, Al-Allamah Sayyid Umar bin Abdullah Al-Jufri, dan Al-Allamah Asy-Syeikh Muhammad bin Muhammad Al-‘Azab, beliau juga mendalami tajwid kepada sayyid Muhammad An-Nuri.
Kemudian takdir Allah menentukan beliau untuk pergi ke India, tetapi karena hatinya merasa tak tenang tinggal disana akhirnya beliau menuju singapura dalam perjalannya di jawa. Selama beberapa tahun beliau tinggal di Jakarta menggeluti perdagangan di samping belajar kepada Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Muhammad bin Hamzah Al-Attas, Al-Allamah Al-Habib Umar bin Hasan Al-Jufri dan sejumlah tokoh ulama lainnya.
Demikianlah terus berlanjut sampai Allah melimpahinya cahaya ilmu dan kewalian yang membuatnya terkenal dimana-mana, maka berdatanganlah orang-orang yang ingin belajar dan mendapatkan manfaat darinya dari berbagai tempat di antaranya Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar, Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi, Al-Habib Thahir bin Alwi Al-Haddad, Al-Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf.
Ahklaq dan budi pekertinya sangatlah baik, beliau adalah seorang yang pemurah dan berkasih sayang terhadap orang lain, apalagi kepada orang-orang yang lemah, apa-apa yang Allah berikan kepadanya tidak segan-segan beliau memberikannya kepada siapa saja yang mendatanginya, beliau seorang yang murah senyum, lemah lembut tutur katanya dan sangat baik sambutannya, itulah perangainya meneladani perangai datuknya, Nabi Muhammad SAW. Setiap orang yang duduk di sampingnya akan merasa bahwa dirinyalah yang paling dicintai dan dipilihnya sebagai sahabat karib.
Salah seorang ulama besar, Al-Imam Al-Qutub Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi telah mengutarakan dalam surat-menyurat dengan beliau yang artinya kurang lebih demikian, "Sesungguhnya orang-orang berpergian ke Indonesia untuk bekerja dan mencari harta keduniaan, tetapi sesungguhnya putra kami Muhammad bin Idrus Al-Habsyi bekerja dalam dakwah Islamiyyah untuk mencapai Ash-Shiddiqiyyah Al-Kubro (tingkatan tertinggi di kalangan Wali Alloh)".
Kemudian beliau pergi haji ke Makkah dan berziarah ke Madinah kepada datuknya Baginda Nabi Muhammad SAW. Kemudian beliau menuntut ilmu dari ulama-ulama Al-Haramain (Mekkah-Madinah), diantaranya ulama yang terkenal di Makkah saat itu yaitu Al-Imam Al-Habib Husein bin Muhammad Al-Habsyi.
Ketika menunaikan ibadah haji ke Makkah dan berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah, ia sekalian menuntut ilmu kepada beberapa ulama besar di Al-Haramain alias dua kota suci tersebut. Salah seorang di antara para ulama besar yang menjadi gurunya adalah Habib Husain bin Muhammad Al-Habsyi.
Banyak kalangan mengenal Habib Muhammad sebagai ulama yang berakhlak mulia, dan sangat dermawan. Ia begitu ramah dan penuh kasih sayang, sehingga siapa pun yang sempat duduk di sampingnya merasa dirinyalah yang paling dicintai. Ia selalu tersenyum, tutur katanya lemah lembut. Itu semua tiada lain karena ia berusaha meneladani akhlaq mulia Rasulullah SAW.
Tak heran jika masyarakat di sekitar rumahnya, bahkan juga hampir di seluruh Surabaya, sangat mencintai, hormat dan segan kepadanya. Ia juga dikenal sebagai juru damai. Setiap kali timbul perbedaan pendapat, konflik, pertikaian di antara dua orang atau dua pihak, ia selalu tampil mencari jalan keluar dan mendamaikannya. Sesulit dan sebesar apa pun ia selalu dapat menyelesaikannya.
Ayah bagi Fakir Miskin dan Anak Yatim
Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi lebih dikenal sebagai ulama yang mencintai fakir miskin dan anak yatim. Itu sebabnya kaum muslimin menjulukinya sebagai "bapak kaum fakir miskin dan anak yatim." Semasa hidupnya ia rajin berdakwah ke beberapa daerah. Dalam perjalanan dakwahnya, ia tak pernah menginap di hotel melainkan bermalam di rumah salah seorang Habib.
Hampir setiap hari banyak tamu yang bertandang ke rumahnya, sebagian dari mereka datang dari luar kota. Ia selalu menyambut mereka dengan senang hati dan ramah. Jika tamunya tidak mampu, ia selalu mempersilakannya menginap di rumahnya, bahkan memberinya ongkos pulang disertai beberapa hadiah untuk keluarganya.
Ia juga memelihara sejumlah anak yatim yang ia perlakukan seperti halnya anak sendiri. Itu sebabnya mereka menganggap Habib Muhammad sebagai ayah kandung mereka sendiri. Tidak hanya memberi mereka tempat tidur, pakaian dan makanan, setelah dewasa pun mereka dinikahkan.
Sebagai dermawan, ia juga dikenal gemar membangun tampat ibadah. Ia, misalnya, banyak membantu pembangunan beberapa masjid di Purwakarta (Jawa Tengah) dan Jombang (Jawa Timur). Dialah pula yang pertama kali merintis penyelenggaraan haul para waliyullah dan shalihin. Untuk pertama kalinya, ia menggelar haul Habib Muhammad bin Thahir Al-Haddad di Tegal, Jawa Tengah. Ia juga merintis kebiasaan berziarah ke makam para awliya dan shalihin.
Menjelang wafatnya, ia menyampaikan wasiat, "Aku wasiatkan kepada kalian agar selalu ingat kepada Allah SWT. Semoga Allah SWT menganugerahkan keberkahan kepada kalian dalam menegakkan agama terhadap istri, anak dan para pembantu rumah tanggamu. Hati-hatilah, jangan menganggap remeh masalah ini, karena seseorang kadang-kadang mendapat musibah dan gangguan disebabkan oleh orang-orang di bawah tanggungannya, yaitu isteri, anak, dan pembantu. Sebab, dia adalah pemegang kendali rumah tangga."
Akhlak dan budi pekerti beliau sangatlah terpuji, mulia keturunannya, murah tangan dan kasih sayang, apa-apa yang Allah berikan kepadanya tidak segan-segan diberikan kepada siapa saja yang mendatangi beliau.
Daripada kemuliaan akhlak beliau, setiap orang yang duduk disampingnya akan mengetahui bahwa dirinyalah yang paling dicintai, dan memilihnya sebagai sahabat karib, yang mana dapat dilihat dari senyum mukanya, lemah lembut tutur katanya dan sambutannya yang sangat baik. Inilah akhlak dan perangai beliau, sebagaimana meneladani perangai datuknya Nabi Muhammad SAW.
Beliau dalam setiap kali perjalanan dakwahnya ke daerah-daerah, tidak akan bermalam di salah satu tempat yang beliau singgahi kecuali di tempat tersebut terdapat Ahlul Bait cucu Rasullullah SAW.
Beliau apabila ada orang bertamu ke kediamannya, beliau selalu bertanya tentang hal ihwal anak-anak dan cucu-cucu orang tersebut. Juga demikian dengan tamu dari luar kota, beliau menyambut dengan ramah tamah dan senang hati. Bahkan apabila yang datang fakir miskin, diberikan kepadanya ongkos pulang disertai hadiah untuk anak istrinya.
Inilah kebiasaan beliau selama hidupnya. Juga tak ketinggalan rumah beliau selalu terbuka untuk tamu, dan tak pernah kosong daripadanya. Terlebih lagi fakir miskin yang tidak mempunyai hasil yang menentu, mereka menginap di rumah beliau.
Anak-anak yatim yang dipelihara oleh beliau, mereka menilai bahwa Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi lebih baik dari ayah-ayah mereka, karena beliau menyamakan anak-anak yatim itu dengan anak-anaknya sendiri, di dalam memberikan pakaian, makanan, minuman dan tempat tidur. Apabila anak-anak yatim itu telah besar, beliau mengurus perkawinan mereka dan memberikan apa-apa yang mereka butuhkan. Tidak mengherankan beliau adalah ayah dari anak-anak yatim dan miskin.
Beliau sangat dicintai oleh masyarakat umum maupun khusus, diantara amal beliau yaitu mendamaikan dua belah pihak yang bertengkar dan salah paham, sampai kemudian terjadi ishlah (berbaikan). Walaupun masalahnya besar dan sulit, dapat pula beliau selesaikan dengan baik.
Dari sebagian amal jariyah beliau, yaitu pembangunan masjid di Purwakarta, masjid Raudhoh di Jombang, dan lainnya. Beliau juga sebagai perintis pertama pengadaan haul-haul para Wali Allah dan Sholihin dari hamba-hamba Allah. Untuk pertama kalinya beliau mengadakan haul Al-Imam Al-Habib Muhammad bin Thohir Alhaddad yang terkenal di kota Tegal. Berziarah ke tempat bersejarah para Auliya dan Sholihin banyak dilakukan oleh beliau, yang diikuti pula oleh khalayak ramai.
Pada setiap hari kamis bulan Rabi’ul Awwal, beliau mengadakan pembacaan maulid Nabi seperti yang dilakukan oleh gurunya Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi di Sewun. Beliau melaksakannya di daerah jatiwangi dekat Cirebon. Lalu memindahkannya ke Bogor sampai timbul rintangan-rintangan dan fitnah dari orang-orang yang dengki. Kemudian beliau memindahkannya lagi ke Surabaya dengan bantuan kapten Arab dari keluarga Boubseith. Demikianlah hal itu berlangsung terus sampai beliau wafat. Sepeninggalnya yang meneruskan adalah Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi di Jakarta di sekolah jamiat kheir, setelah meminta izin kepada para pengurusnya. Maulid ini berlangsung terus sejak tahun 1338 H/1920 M sampai tahun 1355 H/1936 M (17 tahun). Ketika Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi membangun masjidnya di Kwitang ia pun memindahkan gelaran maulid ke masjid itu pada tahun 1356 H/1937 M.
Wasiat Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi
Setiap apa-apa yang menimpa dirimu ataupun orang lain dari hal-hal yang menyimpang atau kesulitan-kesulitan, gangguan-gangguan dan cobaan-cobaan, semua ini penyebabnya adalah mereka meremehkan perintah Allah, tidak menganggap dan tidak perduli atas hak-hak Allah yang seharusnya dipenuhi oleh hamba-Nya.
Sebagaimana yang telah engkau saksikan, seseorang itu apabila istrinya tidak melaksanakan shalat maka dia diam saja tanpa memberi tindakan padanya, Tetapi apabila sang istri merubah rasa masakan yang biasa dimakannya atau tidak mencucikan pakaiannya, maka seketika itu juga timbul amarahnya kepada istrinya.
Inilah masalah yang sering terjadi didepan mata kita, maka seharusnyalah manusia itu supaya secepatnya bertaubat setiap pagi, siang, sore dan malam hari bahkan kalau perlu bertobat setiap saat selama hidupnya, karena manusia itu setiap saat tidaklah selamat dari dosa yang diperbuatnya, kecuali orang-orang yang telah diselamatkan oleh Allah ta'ala dan itupun sedikit sekali.
Semoga Allah selalu menjadikan kita dan kaum muslimin sebagai orang-orang yang selalu berjalan diatas jalan yang sesuai dengan orang-orang yang mendapat petunjuk. Amiiin................
Tanda-tanda dari lemahnya iman adalah berpalingnya manusia dari qodho dan qodar. Oleh karena itu engkau akan melihat seseorang apabila ia tidak berhasil memperoleh apa-apa yang diinginkannya, maka ia akan merasa sangat bersedih dan sangatlah susah dirinya. Sehingga keadaan ini menjadikan tabiatnya berubah menjadi keras terhadap keluarga dan anak-istrinya.
Seandainya ia mengerti bahwa semua itu adalah merupakan irodah (kehendak) dan qodho (ketentuan) dari Allah semata, maka hatinya akan menjadi teduh dan akan menyerahkan semua urusan yang dialaminya kepada Allah Ta’ala.
Keadaan seperti ini tidaklah diperoleh kecuali dengan memberi kabar gembira pada hati kita dengan adanya iman yang telah melekat di dalamnya, sehingga akan membangkitkan rasa selalu ingat kepada Allah Ta’ala dan akan tercegah dari masuknya setan ke dalam hati, serta juga akan menyelamatkan hati dari berpaling kepada hal yang buruk.
Menerima apa yang telah terjadi itu adalah merupakan suatu lautan yang sangatlah dalam.
Beginilah keadaan beliau semasa hidupnya selalu taat dan taqwa kepada Allah, memberi manfaat kepada hamba-hamba Allah, memanfaatkan waktu dan umurnya serta membelanjakan hartanya di jalan Allah. Sampai akhir hayatnya memenuhi panggilan Allah untuk kembali ke alam baqa pada pertengahan malam Rabu, 12 Rabi'uts Tsani 1337 H/1917 M di kota Surabaya dan dimakamkan pada waktu ashar hari Rabu setelah disholatkan Yang mengimami shalat jenazah tokoh besar ini adalah tokoh besar juga yang sekaligus juga menantunya Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar, jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Ampel Gubah, Surabaya.
Demikianlah ringkasan dari riwayat hidup beliau, semoga kita semua mendapatkan manfaatnya.
Radhiyallahu anhu wa ardhah...
( Al-Kisah No.11 / Tahun IV / 22 Mei - 4 Juni 2006 )