Jumat, 02 November 2018 0 komentar

Dokter Hati

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Jika rasa benci atau cinta yang berlebihan tanpa sebab yang jelas adalah salah satu penyakit yang harus diobati, itu sudah ku tahu dari dulu. Tapi kalau di obatinya adalah dengan cara dadamu di usap, kepalamu di pegang sembari di doakan agar kebencian di hatimu terhadap seseorang bisa hilang, seumur hidup baru kali ini ku rasakan.

Aneh memang...

Bagaimana rasa benci terhadap salah satu pelajar yang aku mengajar di kelasnya bisa datang begitu tiba-tiba, tanpa ada sebab bahkan tanpa aba-aba. Aku tiba-tiba tidak ingin memandang wajahya, pusing mendengar suaranya. Bahkan sungguh baru ku tahu bahwa aku bisa benar-benar muntah tatkala secara tidak sengaja melihat wajahnya.

Lebih anehnya lagi dia termasuk pelajar terbaik di kelasnya, cerdas, aktif, penurut dan yang jelas dia tidak pernah bermasalah apapun denganku. Dia pasti bertanya-tanya dan bingung ketika kemudian aku memintanya untuk duduk di barisan belakang dan tidak tepat dihadapanku. Karena aku bahkan tidak bisa berkonsentrasi sama sekali dalam kondisi seperti ini. Dia dan juga teman-teman sekelasnya pasti bingung ketika aku memintanya untuk menuliskan saja pertanyaan yang akan dia lontarkan agar tidak mendengar suaranya yang bisa membuat isi perutku naik ke dada dan mernyebabkan mual secara mendadak begitu saja.

Jangan kau kira aku tak ada usaha apa-apa ntuk menghilangkannya. Berulang kali aku merenung, berperang dengan diri sendiri dan mencoba menenangkan hati saat kebencian itu memanas-manasi. Usahaku tidak membuahkan hasil.

Doa dan dzikir selalu kubaca setiap kali terpikir bahwa ini merupakan salah satu ujian untukku. Namun semuanya belum cukup untuk emenghilangkan rasa itu.

Setengah mati kucoba sembunyikan kebencian ini darinya, namun sepertinya dia mulai merasakannya juga. Dia lebih banyak diam disepanjang mata pelajaranku. Duduk paling belakang dan tak lagi terlihat tersenyum seperti biasanya.

Ya Allah...aku telah melukai hatinya, aku telah menyakiti perasaannya.

Teman sekamarku yang juga seorang ustadzah mulai merasakan ketidaknyamanan ini, ku ceritakan padanya keanehan yang terjadi lengkap dengan pembelaan bahwa rasa itu muncul tiba-tiba dan tanpa sebab apa-apa.

Dan entah apa yang ada di dalam benaknya, hingga suatu siang sepulang dari masjid selepa sholat Dhuhur ia memintaku berkemas dan kemudian kami berdua bergegas pergi menemui seorang wanita berusia 60-an tahun, temanku ini memanggilnya dengan panggilan Hubabah Umairoh.

Kami menunggu cukup lama di ruang tamu karena beliau masih menemui tamu yang lain sebelum kami kemudian di persilahkan menemui beliau di ruang tengah rumahnya.

“Therapis?Dokter jiwa?psikolog?atau bahkan dukun?”aku menerka-nerka.

Namun bayangan itu hilang seketika saat aku melihat sosoknya. Beliau adalah seoarang wanita dengan wajah keibuan, bicaranya lembut, dan penuh senyuman. Di hadapannya aku merasa seolah bertemu dengan seseorang yang telah lama aku kenal.

Siang itu masih dengan memakai mukena selepas sholat Dhuhur, beliau menyambut kami dengan hangat lalu menanyakan kabar Alhabib Umar bin Hafidz guru kami. Kemudian dengan penuh perhatian beliau, mendengarkan apa yang di tuturkan temanku mengenai diriku tentang rasa benci yang tiba-tiba kurasakan sebagai sesuatu yang tidak wajar, mengingat aku sebelumnya tidak pernah membenci seseorang tanpa sebab yang jelas.

Beliau lalu berdiri menghampiriku, memegang kepalaku sembari menggumamkan doa-doa dan dzikir, tak lama kemudian beliau duduk di hadapanku, mengusap dadaku sambil tidak berhenti berdoa. Dan beliau mengakhiri bacaan-bacaannya dengan meminta kami semua membaca surat Al Fatihah bersama.

“Ada 2 orang yang paling banyak di dengki oleh orang lain di atas muka bumi ini “ kata beliau sembari menuangkan teh di cangkir kecil dan menghidangkannya di hadapan kami.

“Orang yang berharta dan orang yang berilmu” lanjut beliau.

“Jika kamu jadi salah seorang dari mereka, pandai-pandailah menjaga sikap saat bergaul dan berurusan dengan orang lain. Pandai-pandai pulalah menyimpan rasa. Karena bahkan orang yang terlihat di cintai oleh kedua orang inipun akan menimbulkan iri dengki dari yang lainnya. Sepertinya itulah yang terjadi padamu” katanya bijak.

Kami pulang setelah memperoleh anjuran beliau untuk membaca beberapa dzikir saat suasana hati sedang tidak menentu.

Dan Subhanallah...

Apa yang kemudian terjadi sesampainya di asrama sungguh luar biasa. Di pintu masuk aku berjumpa dengan pelajar yang pagi tadi perasaanku padanya masih di penuhi dengan kebencian. Aku pandang wajahnya dan dia menunduk takut, ku cari kebencian yang seminggu ini menyiksaku dan menyiksanya tentu saja, namun rasa itu sungguh-sungguh tak lagi bersisa, sudah hilang entah ke mana.

Aku langsung menyalami dan memeluknya, sementara dia kebingungan, tak mengerti apa yang terjadi

“Maafkan aku...” kataku

“ada apa Ustadzah?” tanyanya kebingungan

“Aku tidak bisa menjelaskannya, tapi yang pasti aku minta maaf padamu atas semua kesalahanku yang kamu tahu atuapun tidak” jawabku lirih sambil melepaskan pelukanku darinya.

7 tahun berlalu sejak kejadian itu...

Salah satu agenda kegiatan kunjungan kami ke Hadhromaut adalah berziarah kepada para sesepuh yang masih ada. Selain meminta nasihat, kami gunakan kesempatan yang berharga ini untu memohon agar mereka berkenan mendoakan kami. Dan nama Hubabah Umairoh aku masukkan dalm daftar kunjungan tersebut.

Alhamdulilah, sekembalinya aku ke tanah air, aku mendapat kepercayaan setahun sekali dari sebuah biro perjalanan haji dan umrah untuk membimbing jamaah mereka yang hendak menunaikan ibadah umrah. Rombongan yang terdiri dari kurang lebih 30-an orang itu aku pimpin menunaikan ibadah umrah sekaligus berziarah ke negeri Hadhramaut tempat aku dulu pernah menuntut ilmu.

Kami duduk di hadapan Hubabah Umairoh dan meminta beliau mendoakan kami. Belia terlihat jauh lebih tua dari saat ku temui beberapa tahun silam. Keriput di wajahnya semakin dalam, hanya semangat dan kepercayaan dirinya terhadap Allah yang ku lihat tetap sama.

Aku berusaha menterjemahkan percakapan rombonganku kepada beliau dan percakapan beliau kepada mereka. Dan ketika semuanya usai, aku berkata berkata beliau:

“Sekarang giliranku, Hubabah” kataku sambil mendekat

“Doakan agar Allah berkenan mengaruniakan aku keturunan. Hampir 4 tahun aku menikah belum juga di karuniai anak.”

Beliau mendengarkan dengan seksama lalu berujar dengan santai;

“Halimah...

Tidaklah kamu merasa hidup ini sudah begitu sibuk?ada banyak hal di dunia ini menyibukkan kita dari ibadah kepada Allah. Dari 24 jam sehari semalam yang Allah berikan hanya beberapa jam yang tersisa kita gunakan untuk-Nya. Apakah engkau masih ingin menambah kesibukanmu pula dengan urusan anak?”

Aku tercenung mendengar ucapannya yang tidak ku sangka...

Beliau lalu melanjutkan;

“Aku menikah, dan dari sejak awal pernikahanku, aku selalu berharap jika dengan kehadiran anak-anak akan menyibukkanku dari-Nya, maka tanpa karunia anakpun, aku tak apa-apa...aku tak ingin di tersibukkan dengan selain-Nya.”

“Tapi bukankah mereka akan jadi penerus amal kebaikan kita tatkala kita mati nantinya?”kataku membela diri

‘Tak adakah hal lain yang bisa menggantikannya? Ilmu yang kita ajarkan dan di amalkan bahkan oleh generasi mendatrang setelah kita, doa oang banyak yang kita pernah berbuat baik padanya, amal jariyah yang kita lakukan dan kemanfaatannya terus di rasakan?”

Aku terdiam dan berpikir panjang...

Hubabah Umairoh tak menyisakan argumen untukku menjawab ucapannya.

“Tapi...tapi aku masih menginginkannya...walau mungkin hanya untuk sekedar kesempurnaan menjadi seorang wanita”kataku setengah terbata-bata

“Benar Anakku, aku memahamimu...karenanya aku akan tetap mendoakanmu..,namun yakin dan selalu percayalah, bahwa apapun yang Dia pilihkan untukmu itu merupakan hal terbaik yang Dia karuniakan. Dia mengetahui segalanya...dan kita tidak mengetahui apapun sesungguhnya...”

Kata-kata bijaknya selalu ku kenang sampai saat ini, dan sampai saat ini pula aku selalu berdoa kiranya allah berkenan memanjangkan umurnya agar masih banyak orang-orang sepertiku yang bisa memetik pelejaran darinya. Tentang tujuan hidup sesungguhnya..tentang tawakkal, tentang keikhlasan...tentang segala hal...meski entah, apakah orang seperti beliau berharap masih ingin lebih lama hidup di muka bumi ini atau justru sudah merindukan kematian sebagai jembatan pertemuannya dengan Sang Pencipta.

Pentingkah...?
Bila hidup adalah sebuah danau yang tenang
Atau suatu bak air yang keruh ?
Ia tak abadi
Jutaan bintang hidup tanpa cemas
Merpati tak tahu,
Apakah ia makan nati malam?
Tetapi ia tetap bersenandung
Dari gajah sampai unggas
Semua adalah hasil ciptaan tuhan
Dan bergantung kepadaNya
Pemberi rizki yang Maha Agung
(Jalaluddin Ar Rumi)

Anakku...
Bahagiamu letaknya di sini...
Di hatimu sendiri
Bukan pada indah pemandangan
Di tatap mata
Bukan pada sanjungan merdu
Di dengar telinga
Bukan pada kelembutan
Yang dapat kau raba
Ia tak bisa di deteksi panca indra

Sebaliknya, anakku...
Kala hatimu bahagia
Gurun-gurun pasir tak ubah taman bunga
Cacian dan makian serasa senandung belaka
Semua yang kau sentuh terasa bak sutra

Bahagiamu dekat saja, Nak...
Di hatimu sendiri
Tak perlu kau cari ia
Jauh-jauh di sana...
0 komentar

Pesta Agung

بسم الله الرّحمن الرّحيم


 Mendung menyelimuti langit Tarim hari ini, kurasa ia menyelimuti buminya juga, entahlah.. namun yang pasti mendung menyelimuti wajah-wajah orang yang kujumpai. Para guru, para pelajar, bahkan para tamu. Kabar meninggalnya Hubabah Khadijah terdengar seperti sengatan listrik di hati semua orang yang mendengarnya.

Siapa yang tidak mengenal beliau ?
Inat, kota kecil sekitar 30 km dari kota Tarim menjadi dikenal karena Syekh Abu Bakar bin Salim salah satu tokoh ulama dan waliyullah paling terkemuka beliau dulu tinggal dan dimakamkan disana. Maka berziarah ke Inat artinya mengunjungi makam beliau beserta putera-puteranya.

Merupakan satu Peraturan tak tertulis bagi kami bahwa ziaroh kesana tidak lengkap rasanya tanpa mengunjungi Hubabah Khadijah, salah satu keturunan beliau seorang wanita sholehah yang tinggal sendiri di sebuah rumah tak jauh dari makam Syekh Abu Bakar bin Salim berada.

Baru beberapa hari yang lalu kami mengunjungi beliau. Sebuah kunjungan rutin yang biasa kami lakukan di akhir Sya’ban menjelang Ramadhan tiba. Beliau masih segar bugar, sungguh tak pernah kami sangka bahwa itu adalah kunjungan terakhir kami.

Beliau menyambut kami dengan suka cita, mendoakan dan juga meminta salah seorang diantara kami membaca nasyid (bait-bait kasidah) dari perkataan para ulama salaf. Maka kabar kematian beliau mengejutkan semua orang. Dan kisah tentang kematian beliau kami dengar dari salah satu ustadzah yang berangkat takziah kesana
“Tetangga Hubabah Khadijah bercerita…” katanya mengawali kisah
“Hubabah Khadijah tinggal seorang sendiri. Dan beliau memang sungguh-sungguh mandiri. Tidak mau bergantung dengan siapapun. Ketergantunggannya pada orang lain hanya untuk menunaikan sholat. Beliau Istiqomah (kontinyu dan berkesinambungan dalam mengerjakan sesuatu) menjalankan sholat berjamaah.  Saya datang kerumahnya disetiap waktu sholat untuk bersama beliau mengerjakan sholat fardu.

Dan tadi malam tepat malam jumat pertama di bulan Ramadhan setelah sholat maghrib berjamaah beliau berkata padaku:
“Kembalilah segera kemari setelah engkau menyiapkan makan malam keluargamu, kita akan melaksanakan sholat Isya’ dan Tarawih lebih awal karena aku akan pergi ke satu tempat”
Aku hanya mengangguk meski benakku di penuhi dengan pertanyaan;
Kemana beliau akan pergi setelah puluhan tahun tak pernah kulihat keluar rumah apalagi di malam ramadhan seperti ini ?

●●●

Beliau terlihat segar sewaktu keluar dari kamar mandi,memakai baju hijau kesukaannya, wanginya tercium semerbak.

Hubabah mau kemana sebenarnya? Pikirku semakin penasaran
Beliau mengimami sholat isya, dilanjutkan sholat sunnah ba’diyah seperti biasanya, kemudian mengimamiku sholat tarawih lantas sholat witir yang diselesaikan 11 rakaat. Aneh sekali karena biasanya beliau lanjutkan sholat witirnya pada akhir malam menjelang subuh.
Selepas semua doa malam Ramadhan kami baca, aku tak bisa lagi menahan diri lalu bertanya:
“Maaf Hubabah.. kalu boleh tahu, kemana sebenarnya Hubabah hendak pergi sampai bersiap-siap sedemikian rupa?”

Bukannya menjawab, beliau malah mengisyaratkanku untuk diam. Diambilnya mushaf Al-Qur’an dan dibacanya juz terakhir sampai khatam. Kemudian beliau memintaku untuk mendekat padanya, setelah beliau membaringkan dirinya menghadap kiblat

“Aku mau menghadiri undangan” katanya sembari membenahi letak kerudungnya

“Kemana? Undangan apa?”

“Undangan sebuah pesta, Yang Maha Besar telah mengundangku” jawabnya dengan begitu tenang
Aku gemetar mendengarnya dan baru memahami kemana kiranya beliau akan pergi. Benakku mulai kacau. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku lalu berkata:
“Jangan tinggalkan aku, Hubabah… atau ajak aku ikut serta denganmu…”

“semua ada waktunya, dan waktumu belum lagi tiba… sampaikan pesanku kepada semua orang yang mengenalku; aku telah memaafkan mereka yang pernah berbuat salah padaku apapun bentuknya, dan sampaikan salam  dan permohonan maafku kepada mereka semua..” beliau terdiam sejenak kemudian berkata:
“Sekarang aku segera berangkat menghadiri undanganNya”
Beliau kembali merapikan pakaian dan penutup kepalanya kemudian berujar dengan mantap

“Laa ilaaha illallah, Muhammad Rosululullah”
Matanya menatap lurus ke atas … lalu perlahan menghembuskan nafasnya yang terakhir diiringi senyuman indah. Senyum keberhasilan senyum kemenangan atas perjuangan hidup di akhir zaman yang semakin sulit menghindar dari fitnahnya..”

“’Demikian cerita tetangga dan orang terdekat Hubabah Khadijah” ujar Ustadzah mengakhiri kisahnya .

Sungguh sebuah kematian yang indah luar biasa. Andai bisa memesan, kematian seperti inilah yang akan aku pesan. Kalau saja bisa membuat perjanjian dengan malaikat pencabut nyawa, maka jenis kematian inilah yang aku inginkan.
Andai…

Tapi… seperti engkau menjalani kehidupan, seperti itu pula engkau akan dimatikan. Ungkapan ini memang tepat untuk menggambarkan tentang beliau. Kematian bagi Hubabah Khadijah laksana sebuah pesta, sebuah undangan dari yang di cinta. Cinta beliau kepada Allah tak diragukan lagi. Beliau adalah satu dari sedikit orang zaman sekarang yang memiliki cinta kepada Allah melebihi cintanya kepada apapun di dunia ini.

Salah satu ustadzah pernah bercerita suatu ketika mengunjungi Hubabah Khadijah, dia saat itu sedang sakit tenggorokan cukup parah, merasa pedih ketika menelan makanan bahkan sulit sekedar untuk bicara. Ia pegang tangan Hubabah dan ia letakkan di tenggorokannya sembari minta kepadanya agar mendoakan kesembuhannya. Hubabah mengusap-usapkan tangannya di tenggorokan sambil berdoa, namun kemudian berkata:
“Nak.. bukankah sakit adalah dariNya juga? Dan Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa Allah SWT sering kali tatkala mencintai seorang hamba Dia memberinya rasa sakit sebagai tanda cinta. Kamu tahu nak.. ketika dalam waktu lama aku tidak diberinya rasa sakit atau ujian apapun, aku berkata padaNya:
“Ya Allah murkakah Engkau kepada hambaMu Khadijah? Hingga tak kau karuniakan padanya sesuatu untuk meninggikan derajatnya?

Anakku…
Yang Allah inginkan padamu adalah kebaikan, maka terimalah apapun dariNya dengan lapang dada sembari meyakini bahwa yang Dia berikan adalah yang terbaik untukmu…” Demikian bijak kata-katanya dalam memberi nasihat.

Duuuh indahnya…
Andai aku dikaruniai hati seperti hatinya, hati yang mengenal Allah SWT, hati yang mengerti tujuan hidup yang sesungguhnya.
Hati yang pandai…
Pandai menjalin hubungan dengan Allah
Penciptanya…
0 komentar

Erika

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Masih dengan memakai mukena selepas sholat dzuhur di salah satu ruang kelas asrama, ketika dia membuka buku catatan sembari membaca sebuah kitab kecil di hadapanku. Lalu berkata:
“Saya sudah ulangi kembali semua pelajaran yang ustadzah sampaikan seminggu yang lalu. Ada beberapa pertanyaan yang ingin saya ajukan” katanya sambil menatapku.

Terus terang aku merasa risih dengan panggilan “ustadzah” nya. Karena meski sejak beberapa bulan yang lalu, kegiatan belajarku di Daruz Zahro bertambah dengan ikut serta mengajar, aku merasa belum layak dipanggil begitu apalagi olehnya yang berusia 2 tahun di atasku.

“Baik…” ujarku menjawab perkataaanya.

“Namun ada baiknya kita lanjutkan dulu kajian materi yang lalu sebelum kita bahas pertanyaan-pertanyaanmu, karena aku juga ingin bertanya beberapa hal kepadamu”

Dia mengangguk dan kemudian berkonsentrasi dengan materi yang aku berikan sampai akhir pembahasan.

Aku amati wajah lembut di hadapanku, kulitnya putih bersih khas wanita bule, meskipun rambutnya berwarna hitam seperti kebanyakan wanita Asia. Dia berasal dari Amerika namanya Erika. Dan di hari pertama ia tiba di Kota Tarim, saat mengunjungi Hubabah Zahro, Ibunda Al Habib Umar Bin Hafidz guru kami, namanya di ganti oleh beliau Maryam. Dan selanjutnya aku ditugaskan memberi pelajaran tambahan untuknya, mengingat dia baru masuk islam sekitar 5 tahun yang lalu.

Wanita dengan pribadi yang mengagumkan, Dua minggu bersamanya nyaris tak kutemukan kekurangan. Sungguh aku yang seringkali berburuk sangka terhadap orang Amerika, benar-benar tak menyangka jika negri yang kuanggap musuh islam ini bisa melahirkan wanita sebaik dia. Aku tak pernah mendapatinya membicarakan kekurangan orang lain, berkata kasar atau sinis. Senyuman manis selalu menghiasi wajahnya.

Dan yang paling kukagumi adalah kemampuannya untuk berpikir positif dalam segala hal. Belum lagi ibadahnya yang membuat aku berdecak kagum sekaligus malu. Sebagai seseorang yang dilahirkan dari Rahim wanita muslimah, aku merasa menjadi orang yang jauh tertinggal di hadapannya. Tahajjudnya selalu ia kerjakan, dan disaat sedang tak berbuat apa-apa, lisannya selalu disibukkan bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW.

Maka siang itu setelah aku menyampaikan materi pelajaran dan menjawab beberapa pertanyaannya, kami berdua terdiam tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hingga lalu aku berkata:
“Maryam, selajutnya giliranku bertanya padamu” kataku memecah keheningan
Dia terlihat tegang, sebelum kemudian kulanjutkan
“Apa yang membuatmu beralih ke agama Islam?”
“Hidayah Allah” jawabnya singkat.
 “Ya, itu pasti. Maksudku bagaimana hidayah itu datang padamu?”
Sejenak di tutupnya kitab dan buku catatan di hadapannya. Lalu berkata;
“Aku di lahirkan dari keluarga Katolik yang taat. Ibuku aktifis gereja yang rajin membawa anak-anaknya termasuk aku mengikuti berbagai macamkegiatan keagamaan disana. Hingga akhirnya saat duduk di bangku kuliah, aku bertemu dengan seorang mahasiswa muslim yang sampai saat itu aku tidak pernah mendengar tentang islam kecuali gambaran bahwa ia adalah agama yang disebarkan dengan pedang dan peperangan.

Sebuah agama yang mengedepankan ritual pengorbanan untuk Tuhan dengan darah, bom bunuh diri dan kekejian-kekejian lainnya. Namun Hasan Sidqi, pemuda muslim yang aku temui di kampus itu merubah sudut pandangku tentang Islam. Dia pandai bergaul, berbaur dengan siapapun tanpa melihat perbedaan agama yang dianut.

Aku seperti halnya teman-temanku yang lain, suka memperhatikan hal-hal baru dalam kehidupan dan kami jadi diam-diam selalu memperhatikan caranya berdoa, berbicara, hingga pada akhirnya ku tahu sesibuk apapun kami beraktifitas, dia selalu menyempatkan diri melakukan ritual 5 waktunya yang kemudian kutahu belakangan bernama sholat.

Aku kagum dengan kesungguhannya menjalani keyakinan yang dia pegang, dan itulah yang kemudian menyebabkan aku mendekatinya. Kami sering terlibat diskusi agama kami masing-masing sebagai bahan perbandingan. Jujur saja, banyak berdiskusi dengannya membuatku mulai ragu dengan keyakinan yang selama ini kuyakini. Bagaimana mungkin dalam injil yang merupakan kitab suci yang Tuhan turunkan kepada kami, ternyata banyak ayat-ayat yang saling bertentangan satu sama lain bahkan dalam hal paling prinsip dalam keyakinan. Misalnya saja tentang ketuhanan Yesus. Banyak ayat menyatakan dia adalah Tuhan, ayat yang lain menyatakan dia anak Tuhan, dan ada pula yang menyatakan bahwa dia adalah utusan Tuhan.

Sementara Al-Qur’an selalu menyatakan hal yang sama; Tuhannya adalah Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Dan dalam Al-Quran pun di ceritakan bahwa nabi Isa atau Yesus adalah salah satu dari utusan-Nya juga.

Keragu-raguan itu semakin mejadi-jadi dari hari kehari. Dan puncaknya terjadi malam itu. Kegelisahan benar-benar menyelimutiku. Aku buka injilku, lembar demi lembarnya berharap mendapat sesuatu petunjuk yang mungkin dapat menenangkan hatiku atau menghalau kegelisahanku, namun aku tidak mendapatkannya. Kemudian kuambil terjemahan Al-Quran, kubuka ayat-ayatnya secara acak, siapa tahu aku bisa mendapatkan sesuatu, entah apapun itu…..
Aku tetap tidak mendapatkan jawaban.

Aku memutuskan untuk menenangkan pikiran dan bersembahyang kepada Tuhan. Namun lagi-lagi aku bingung, menghadap siapa aku dalam sembahyangku?...

Akupun mulai berdoa namun kemudian kusadari kepada siapa aku harus memohon?...
Siapa yang harus aku panggil nama-Nya dalam doaku?...
Aku sungguh-sungguh gelisah..
Serasa ada sesak di dada hingga disaat rasa itu tak mampu lagi kubendung, meluaplah rasa amarah, seiring airmataku yang tumpah ruah..
“Wahai Tuhan…
Aku tidak tahu siapakah Engkau sesungguhnya? Aku tidak tahu hidupku ini pemberian dari siapa?
Siapa yang telah menciptakanku dan mengaruniai kehidupan ini untukku?”
“Wahai Tuhan..
Beri tahu aku siapa diriMu?... Hingga kutahu kepada siapa aku harus menyembah dan mensyukuri setiap anugerah.”
Lelah menangis sekian lama aku tertidur akhirnya.
Ternyata lewat tidur itulah Tuhan memberiku jawaban.

Aku bermimpi membawa kitab Injil yang tak asing lagi bagiku. Dia berjalan melewatiku, aku lantas mengikutinya dari belakang, kami menuju sebuah altar agung yang megah. Sesampainya disana dia duduk, membuka kitab Injil dalam dekapannya. Dia lalu memberi isyarat padaku agar mendekat sehingga dapat melihat dengan jelas lembaran Injil yang dibukanya.
Aku terhenyak dan terbelalak saat melihat apa yang tertulis didalamnya.
Kudapati halaman Injil itu hanya bertuliskan satu kalimat yang sangat kukenal:
LAA ILAAHA ILLALLAH
MUHAMMAD RASULULLAH
TIADA TUHAN SELAIN ALLAH
MUHAMMAD UTUSAN ALLAH
Seketika aku terbangun dengan beragam perasaan yang sulit kulukiskan dengan kata-kata. Penuh rasa Syukur tak terkira. Kupejamkan mataku sekali lagi. Merasakan nikmatnya hidayah menghampiriku, damai menerpaku, menyelusuri seluruh relung jiwaku.
Tekadku telah bulat. Aku harus memeluk agama Islam.

Siang itu di fakultas aku mencari Hasan, dan ketika aku menemukannya, aku langsung menarik tangannya dan bergegas menuju masjid terdekat. Dan disanalah dengan disaksikan imam masjid, aku mengikrarkan dua kalimat syahadat untuk pertama kalinya.

Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari tersulit dalam hidupku. Karena untuk mengerjakan sholat aku harus sembunyi-sembunyi di rumahku sendiri. Sampai suatu ketika ibuku memergokiku melakukan ritual itu, spontan dia naik pitam, penuh kemarahan dan menganggap aku keluar dari kebenaran. Ketika aku berusaha meyakinkannya bahwa agama Islam tidaklah seperti yang selalu dilihatnya di telivisi dengan aksi terror dan kekejian dan perang, ibuku malah membawaku ke gereja dan mempertemukanku dengan seorang pendeta. Aku dicecar dengan berbagai nasihat hingga doktrin-doktrin agama. Namun tetap saja aku tak bergeming dan tak rela meninggalkan hidayah yang telah dikaruniakan padaku dengan cara yang begitu indah.

Tak sekali ibuku berbuat seperti itu, hingga tatkala dirasakan usahanya sia-sia demi melihat kegigihanku mempertahankan ajaran yang baru, diapun akhirnya kelelahan sendirir dan berhenti mempengaruhiku.

Situasi ini semakin memacu semangatku untuk terus mempelajari Islam dari sahabat muslimku itu. Hingga tatkala kemudian Hasan, sang perantara hidayah datang bersama ibunya melamarku, aku tak punya satupun alasan untuk menolaknya. Kamipun menikah” katanya sambil tersenyum mengakhiri pernikahannya

“Sungguh sebuah cerita yang luar biasa indah” komentarku perlahan, nyaris tak terdengar.
Semakin dekat dengan Maryam, aku semakin kagum atas kegigihannya mempelajari Islam dengan bahasa arab yang tentu sangat sulit baginya, juga kesungguhannya mengamalkan apa yang telah dia tahu dalam Islam.

Lewat aku, dia banyak mempelajari ilmu dalam Islam. Namun sesungguhnya lewat dia, akulah yang banyak belajar praktek pengalamannya dalam kehidupan nyata.

Masih segar dalam ingatanku kala di malam jumat dia datang ke Daruz Zahro, dia mendapatiku tengah membaca surat Al-Kahfi, lalu menanyakan padaku mengapa aku membacanya?
Aku menerangkan beberapa Fadilah surat tersebut dan hukum membacanya yang disunnahkan di malam atau hari jum’at.

Dan keesokan harinya yang merupakan jadwal belajarnya denganku, dia tidak datang sampai malam menjelang. Dia memohon maaf atas ketidak hadirannya di siang hari lalu bercerita bahwa dia seharian ini berusaha membaca surat Al-Kahfi. Namun karena masih mengeja dia harus menghabiskan waktu sampai sehari penuh untuk membacanya sampai tuntas. Dia tidak berhenti kecuali untuk sholat Fardhu dan sholat sunnah yang biasa dia lakukan.

“Bahkan Hasan suamiku terpaksa harus membeli makan siang kami diluar karena aku tidak sempat memasak untuknya. Begitu juga pakaian kamipun tidak sempat kami cuci hari ini” katanya diiringi senyuman.

Dia sungguh-sungguh berusaha mengamalkan tiap ilmu yang telah dia tahu..
Mungkin karenanya Allah selalu mengajarkan padanya yang belum dia tahu..

●●●

 Erika atau yang kemudian akrab aku panggil Maryam, juga teman diskusi yang menyenangkan. Suatu ketika saat aku berdiskusi beberapa masalah dengannya. Aku bertanya padanya:
“Menurutmu apa yang paling indah dalam Islam?” tanyaku di sela-sela diskusi kami.
Tanpa berfikir panjang, dia segera menjawab:
“Cinta Rasul” katanya dengan jawaban yang tak kuduga
“Mengingat Rasulullah dan cinta beliau kepada ummatnya selalu saja membuat hatiku berbunga-bunga”
Duuuh indahnya…
Andai semua orang di negeriku tahu bahwa nabi Muhammad SAW mencintai umatnya sebegitu besar mereka pasti akan tertarik kepada Islam”.
“Ya.. meskipun hidayah tetap Allah jualah yang memilikinya..” katanya mengakhiri perbincangan.

●●●

Jika kehidupan ini laksana menyusun puzzle, bagiku Maryam adalah salah satu puzzle yang menjadikan hidupku sempurna.
Semoga Allah selalu melindunginya dimanapun dia berada… (ketika aku menulis buku ini Maryam telah kembali ke negerinya dan berdakwah disana.)
0 komentar

Wanita Di Bis

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Sabtu pagi…

Berarti awal aktivitas belajar mengajar kembali dimulai. Dan sabtu pagi ini aku sudah berdiri di halaman Daruz Zahro diantara ibu-ibu yang juga berdiri sepertiku menanti bis mengantar kami ke Darul Faqih. mulai hari ini aku dipercaya untuk ikut serta mengajar Dauroh Linnisa (semacam pesantren kilat tanpa menginap untuk kaum ibu), yang rutin diadakan setahun sekali oleh pengurus ma’had kami.

Darul Faqih letaknya sekitar 5 kilometer dari Daruz Zahro. Panitia menyiapkan bis antar jemput bagi peserta yang rumahnya jauh. Dan ibu-ibu ini sudah berkumpul di halaman dari sebelum jam 06.30 pagi. Aku kagum dengan semangat belajar mereka sekaligus bangga berada diantara mereka.

●●●

Tiba-tiba kulihat angina besar bertiup menerbangkan debu-debu di jalanan. Aku jadi ingat jemuran bajuku di atas suth (loteng) sana, jika tidak segera kuselamatkan bukan tak mungkin bisa berterbangan dan mendarat di atas atap rumah tetangga atau tersangkut di pelapah pohon-pohon kurma. Aku segera berlari masuk ke asrama, menaiki tangga demi tangga dengan tergesa, mengangkat baju-bajuku yang sebagian sudah tidak lagi berada di tempatnya, kemudian memasukkan begitu saja dalam sebuah bak cucian yang ada.

Setelah selesai, akupun bergeggas turun, namun kemudian kecewa karena tak lagi kudapati seorang pun di halaman yang tersisa. Semua sudah berangkat berarti bisnya tadi sudah tiba dan lalu pergi tanpa aku tebawa diantara mereka.

Lemas seketika aku rasanya satu-satunya yang bisa aku lakukan hanya menghubungi panitia, meminta dikirimkan mobil atau apa saja yang bisa mengantarku kesana. Lalu aku menunggu di halaman ini sampai transportasinya tiba.

●●●

Bis besar itu kosong saat kumasuk, isinya hanya sopir, kondektur dan aku yang duduk di tengah cukup jauh dari mereka. Aku betul-betul sendirian tanpa ada teman yang kuajak bicara, maka ketika seorang wanita tua memberhentikan bis kami di jalan untuk ikut entah sampai dimana, akupun mensyukurinya.

“Assalamu’alaik ya Hubabah…” kataku menyapanya.
Dia sejenak menjawab salamku, kemudian memilih tempat duduk di seberang pintu tanpa merasa mengajakku berbicara lebih panjang lagi. Maka, akupun memilih menikmati pemandangan kota Tarim dari jendela.

Menatap Zambal dan Furait dari balik kaca bis selalu jadi hiburan yang tak pernah kulewatkan, letaknya tepat ditengah kota. Bukan taman, bukan pula kantor-kantor pemerintahan. Dua tempat tersebut adalah pemakaman. Ribuan Waliyullah diyakini di makamkan disini.

Diantara mereka AlFaqihil Muqoddam (Muhammad bin Ali Ba’alawi), Imam Al-Hadad (Abdullah bin Alwi AlHaddad) penyusun Ratib Hadad yang terkenal itu, Syekh Umar Muhdor (Umar Al Muhdhor bin Abdurrahman Asseqaf), Abdullah Al Aydrus Al Akbar (Abdullah Al Aydrus bin Abu Bakar AsSakran) dan para wali lainnya, yang bahkan sekedar nama-nama merekapun sulit bagiku menghafalnya. Pemakaman para wali bisa jadi sering aku jumpai, namun lokasinya yang terletak di pusat kota, berdekatan dengan pusat keramaian dan pasar adalah hal yang menarik. Melihatnya seperti melihat sebuah papan pengumuman bertuliskan:
“Hiduplah di duniamu namun ingatlah tempat kembalimu adalah kuburan.”
Kemudian bis kami melewati pasar, aku lihat sayur-sayur segar dijajakan, roti-roti besar khas arab, para pedagang buah yang menawarkan dagangannya juga kerajinan tangan dari para pengrajin berupa tembikar dari tanah liat yang dibakar.

Pasar tradisional dimana-mana kulihat mirip-mirip saja, taka da perbedaan yang mencolok disbanding pasar yang selama ini kulihat kecuali bahwa aku tak menemukan seorang perempuan disana. Kota ini memiliki tradisi perempuan memasak di rumah, dan suami atau saudara laki-laki berbelanja. Bagus juga kurasa, menjadikan laki-laki lebih bertanggung jawab atas ekonomi keluarga. Dan pasar disini cenderung lebih tenang disbanding pasar manapun. Mungkin karena tidak ada perempuan yang memang sering kali lebih rewel daripada laki-laki.

Aku masih termenung ketika bis kemudian tanpa kuduga mengerem mendadak karena ada seorang anak yang tiba-tuba menyeberang jalan.

Bis itu mengerem begitu mendadak hingga tubuhku condong ke depan dan membuat kepalaku terantuk sandaran kursi di hadapanku. Hanya itu yang terjadi padaku yang masih muda dan berat badanku ringan saja. Aku bisa menjaga keseimbangan. Namun wanita tua yang duduk tepat dua baris dihadapanku keadaannya benar-benar memprihatinkan. Aku terkejut melihatnya. Dia terpelenting dan jatuh di tangga pintu masuk, untung saja pintunya tertutup rapat . rupanya dia berusaha memegang besi pintu bis yang licin hingga membuatnya terjerembab dan tangannya tergores besi di bagian bawah pintu sampai darahnya bercucuran.

Aku terkejut dan terperangah…
Benar-benar tak menyangka keadaannya sebegitu parah.
Belum selesai keterkejutanku, aku dibuat lebih terkejut lagi  mendengar ucapan pertama yang mengalir dari lisannya saat menyadari darah bercucuran dari tangannya. Dengan terlihat tanpa menahan perih, dia berkata lirih:


“Alhamdulillah…
Terima kasih Ya Allah… atas karunia dan pemberian-Mu yang taka da habis-habisnya”

SubhanAllah… aku terkesima beberapa saat lamanya. Hingga akhirnya ketika dia mulai bisa bangun, aku segera berusaha memapahnya dan menanyakan keadaannya.
Alhamdulillah, tidak apa-apa kok nak… Allah Tuhan kita begitu baik, dan selalu memberi kita yang terbaik.”

Aku semakin terkesima mendengar jawabannya. Betapa mulia hati wanita tua ini, yang bahkan kala ditimpa kemalangan dia tidak hanya bersabar lagi mampu menerima dan mensyukurinya.
Semenjak kejadian pagi itu sampai malam hari aku terus memikirkan kata-katanya sampai membuatku tidak bisa memejamkan mata. Aku begitu malu, sungguh malu kepada Allah yang telah menganugerahkan padaku kehidupan, sementara aku jarang sekali berterima kasih dan mensyukuri atas segenap nikmat yang tak pernah putus-putusnya. Dan ironisnya, disaat tertimpa hal yang tidak menyenangkan, aku seringkali berkeluh kesah. Padahal di atas muka bumi ini ada hamba-hamba-Nya yang bahkan kala mereka di timpa musibah, mereka berterima kasih dan mampu mensyukuri segalanya, sembari meyakini bahwa yang terjadi adalah yang terbaik untuk mereka. Dan wanita ini adalah salah satunya.

Entah kapan aku menjadi golongan mereka ?
Akankah seumur hidup hanya menjadi hamba kebanyakan yang sulit dan tidak mengerti cara berterima kasih pada Tuhannya ?
Entahlah…….

0 komentar

Malam Panjang Di Mina

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Tahun kedua di Tarim, Alhamdulillah… Allah mengizinkan aku melaksanakan rukun Islam yang ke lima. Setelah kepulangan kakakku ke tanah air dan aku kemudian menetap di asrama Daruz Zahro bersama pelajar-pelajar yang lain, keluargaku menyarankan aku berangkat haji dari Yaman.
“Pasti lebih murah … udah dekat kan?” kata mereka
Dan ini adalah sepenggal kisah indah yang tersisa….

Tanggal 8 dzulhijjah kala itu, ketika kami beberapa orang pelajar putri Daruz Zahro berangkat naik bis bersama rombongan dari tempat kami tinggal selama di Mekkah menuju Mina untuk mengerjakan sunnah haji, menginap di Mina pada malam Arofah.

Tenda yang kami tempati selama di Mina ternyata sangat besar dan mewah hingga 200 orang-an bisa tertampung di dalamnya. Tak ada orang Indonesia selain dari kami. Mereka yang di tenda itu adalah warga Mekkah, Madinah, Yaman, Mesir, Oman, Kuwait dan Negara arab-arab lainnya. Beruntung bahasa arab ku kala itu sudah cukup baik hingga aku bisa berkomunikasi dengan tetangga-tetangga baruku di kemah tersebut.

Dan beliau adalah tetangga yang bersebelahan tempat tidurnya denganku. Seorang wanita berusia enam puluhan tahun. Khadijah namanya, jujur sebenarnya aku tidak tahu apa-apa tentangnya dan tidak terlalu peduli padanya. Namun ketika nyaris semua orang Mekkah, Madinah dan sekitarnya selalu mengelilingi beliau, mulai dari sekedar curhat, hingga mereka meminta tangan Hubabah Khadijah begitu mereka memanggil beliau- untuk diletakkan di dada mereka sambil berdoa, tahulah aku bahwa beliau tentu bukan sembarang orang, dan akupun merasa bangga menjadi tetangganya meski hanya untuk beberapa malam saja, bukankah tetangga punyak hak lebih dari yang lainnya? Jika mereka mendapat jatah doa dari beliau, aku seharusnya mendapat lebih dari mereka semua. Maka aku mempersiapkan diri untuk mendapatkannya..

●●●

Keesokan harinya, rangkaian ibadah haji yang yang dimulai dengan Wuquf di Arofah, Thowaf, Sa’I hingga melempar jumrah yang berturut-turut membuatku berada di titik terendah kekuatn fisikku.
Maka, ketika kembali pulang ke Mina untuk Mabit (bermalam) di tiga hari Tasyrik (Tanggal 11,12,13 dzulhijjah), aku tak peduli apa-apa lagi. Selepas Tahallul dan mandi, kelelahan membuatku tidur lelap sekali.

Pendekatanku pada beliau di mulai pada hari Tasyrik pertama, usai melempar jumroh di sore hari aku menghampiri beliau dan kukatakan padanya tentang adanya hak tetangga untuk mendapatkan jatah doa dan nasihat darinya, beliau tersenyum dan bukan mendoakan malah mengajakku mengunjungi seseorang yang sakit di tenda itu , kepalanya terkena lemparan batu saat melempar jumroh pagi tadi.
“Sebagai tetangga yang baik, mari kita kunjungi tetangga kita yang sedang tertimpa musibah” katanya menggodaku sembari menarik tanganku.

Aku menemani beliau sampai adzan maghrib terdengar berkumandang dari tenda lelaki samping tenda kami. Usahaku ternyata belum membuahkan hasil.

●●●

Selepas sholat, makan malam dan mendengarkan ceramah dari guru kami Alhabib Umar bin Hafidz yang suaranya diperdengarkan lewat pengeras suara ke tenda wanita, aku kembali mendekati beliau. Kali ini lengkap dengan berbekal sebotol air mineral untuk beliau bacakan doa. Aku memang dibesarkan dalam keluarga yang percaya hal-hal semacam ini. Jika seseorang dalam keluarga kami sakit, ayahku biasa membacakan doa, dzikir, ayat qur’an dan sholawat pada air yang kemudian diminumkan kepada yang sakit. Aku yakini hal-hal semacam ini, meski penemuan tentang hidupnya air dan reaksinya yang menjadi energi positif ketika diucapkan kata-kata yang baik baru kutahu 7 tahun kemudian dari sebuah buku karya seorang professor besar di Jepang.

Aku ajukan air itu pada beliau namun beliau berkata;
“Wudhuku batal, bagaimana jika saya wudhu terlebih dahulu, tetangga kecilku…?” katanya.
Aku mengangguk tanda setuju
Selepas wudhu beliau langsung mengerjakan sholat yang kutahu pastilah sholat sunnah wudhu. Begitu ia salam dari sholatnya aku menyodorkan kembali air itu. Beliau mengambilnya lalu meletakkannya di  sampinng tempat tidur seraya bekata
“Bagaimana kalau saya sholat sunnah witir dulu barang dua rakaat?”
Aku tentu tak mungkin mencegahnya. Aku cuma bisa mengangguk pasrah. Dan memilih untuk menunggu beliau selesai sholat sambil duduk di atas tempat tidurku sendiri.
Sholatnya ternyata lama sekali, aku mulai tak sabar menunggu. Dan mungkin karena kelelahan setelah mengerjakan ibadah haji kemarin, mataku  mulai nanar tak jelas memandang, pertanda kantuk mulai menyerang.

Aku beringsut membaringkan tubuhku, dan sampai menjelang aku tertidur aku masih melihat beliau belum selesai dari 2 rakaat Witirnya yang entah surat apa yang di baca
Aku terbangun dan melihat kemah sudah lewat pukul dua belas malam dan ternyata aku dapati Hubabah Khadijah masih mengerjakan sholatnya. Aku memandangnya takjub tanpa beranjak dari tempat tidurku, sekilas dari cahaya remang-remang kusaksikan matanya yang sembab dan airmata mengalir membasahi pipinya yang mulai keriput. Aku terus memandanginya sampai mataku tak bisa lagi berkompromi. Aku kembali tak sadarkan diri, tertidur pulas sekali.

Aku terbangun lagi dan segera kulihat jam yang kutaruh dibawah bantalku, jam dua dini hari. Tenda masih gelap, taka ada suara, begitu sunyi senyap, semua orang sepertinya sudah tertidur lelap.
Namun, Subhanaallah…

Hubabah Khadijah kulihat masih berdiri dalam sholatnya entah di rakaatnya yang ke berapa?
Aku memandanginya dengan iri kali ini, dan bukan air mata di pipinya yang kusaksikan dalam keremangan cahaya tapi justru seulas senyum terpancar dari wajahnya dan kulihat tak ada tanda kelelahan disana.

Aku hanya bisa memandanginya, dan sungguh baru mampu sekedar  memandanginya karena untuk bangun dan melaksanakan sholat bersamanya, rasanya badan ini begitu malas dan penat luar biasa. Kubiarkan diriku tertidur lagi.

Aku terjaga kembali dan kali ini lampu tenda sudah menyala, terlihat beberapa orang tengah mengerjakan sholat Tahajjud di sela-sela tempat tidur, terdengar pula suara dzikir dibacakan dari kemah sebelah. Aku memaksakan diri untuk bangun sendiri dan mengambil wudhu. Namun sebelum aku benar-benar berdiri, baru kusadari Hubabah Khadijah masih tengah sujud dalam sholatnya. Aku terkesimadan takjub luar biasa. Sungguh seumur hidup, baru kali ini aku menyaksikan seseorang sholat di sepanjang waktu malam, dan andai tak menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri barangkali aku tak pernah percaya bahwa di zaman sekarang ini masih ada seseorang melakukannya…

Aku ambil botol air mineralku yang semalam beliau letakkan di samping sajadahnya, menutupnya dan tak lagi merengek padanya untuk membacakan doa pada air tersebut. Pemberian Allah kepada beliau  semalam dalam sholat pastilah membuat air ini benilai luar biasa

●●●

Terngiang ucapan AlHabib Umar di suatu sore saat memberi pelajaran di majelis rauhahnya;
“Akan selalu ada di muka bumi ini hamba-hamba yang hidup mereka telah diwakafkan untuk-Nya, siang mereka adalah berbuat baik kepada sesama dan malam mereka bersimpu di mihrab, mendekatkan diri kepada Tuhan dengan ruku, sujud dan berdiri menghadap-Nya tanpa kenal lelah.. mereka adalah hamba-hamba Allah terbaik , yang karena rintihan doa-doa mereka. Allah memberi rahmat kepada kita semua, hamba-hamba-Nya.”
0 komentar

Zuhud

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Sebagai upaya menambah materi pelajaran dari apa yang kudapat di Daruzzahro, aku mengambil les privat dari Ustadzah Maryam, Puteri Habib Ali Masyhur, mufti (orang yang berwenang memberi jawaban terhadap permasalahan umat) Tarim saat ini. Beliau adalah seorang ustadzah yang aktif bergerak dalam bidang dakwah dan juga mengajar di Darul faqih, sebuah madrasah khusus puteri yang ada di Tarim ini juga. Aku belajar memahami tentang hadits-hadits Rosulullah SAW dari beliau seminggu sekali.

Sore ini beliau mengupas hadits :
“Zuhudlah (hilangkan dari hatimu kecintaan) terhadap harta dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah (hilangkan dar hatimu keinginan) terhadap apa yang dimiliki orang lain niscaya engkau akan dicintai mereka.”

Ustadzah Maryam kemudian menjelaskan padaku arti zuhud dan gambarannya dalam praktek kehidupan manusia. Seperti keteladanan Nabi Muhammad SAW yang lebih memilih untuk mengganjal perutnya dengan batu karena menahan lapar dan rela tidur di atas tikar usang darpada selalu kenyang dan hidup dalam kenyamanan. Atau seperti Nabi Isa AS yang sampai hari beliau diangkat ke langit tak pernah memiliki rumah sebagai tempat tinggal. Begitu juga para hamba-hamba pilihan Allah yang lebih memilih untuk meninggalkan kesenangan dunia demi meraih kebahagiaan akhirat.

Aku jadi tertarik dan bertanya:
“Ustadzah, masih tersisakah di zaman sekarang ini orang yang bersifat zuhud, sementara godaan untuk mementingkan dunia sedemikian beratnya?”

“Tentu masih ada” jawab beliau.

“Di dunia ini masih akan selalu asa hamba-hamba pilihan Allah yang memahami untuk apa mereka di ciptakan, mereka menyadari hakikat dunia yang esok atau lusa akan mereka tinggalkan. Mereka berhasil meyakinkan diri bahwa taka da yang akan mereka bawa ketika masuk kubur nanti kecuali kain kafan, dan bahwa dunia yang tampak menyenangkan ini hanya akan menyisakan hisab (perhitungan dan pertanggung jawaban di hari kiamat) yang panjang. Mereka sungguh orang-orang yang pandai, tak mau senang sesaat namun kemudian membawa petaka yang maha berat. Tak menginginkan kebahagian sebentar tetapi membawa penyesalan berkepanjangan”
Sejenak beliau diam dan minum segelas air putih di hadapannya lalu beliau melanjutkan penjelasannya:
“Pertanyaanmu tadi mengingatkanku akan kejadian kemarin, ketika aku sedang berada di Madrasah Darul Faqih pada jam istirahat. Kala itu aku sedang berada di kantor dengan beberapa orang guru, tiba-tiba seorang anak remaja memanggilku dan memintaku mendekat, aku lalu mengajaknya menepi di sudut ruangan untuk berbicara dengannya.

“Ustadzah, aku harap ustadzah berkenan menjadi saksi untuk ibuku.”
Aku mendengarkannya, dengan lebih serius.

“Saksi atas apa, nak?”

“Ibuku sepanjang hidupnya tak memiliki apapun kecuali 2 buah baju. Satu ia kenakan sementara yang lain ia cuci. Ia juga hanya memiliki 2 buah kerudung, mukena, sepasang sandal, sebuah sisir, cermin, piring, Al-Qur’an, tasbih dan sajadah. Dia tak memegan satu sen pun uang, tak memiliki perhiasan, rumah, barang, atau perabot apapun. Di masa tuanya beliau tinggal dengan kakak tertuaku. Apabila salah satu dari anaknya memberinya uang, dia akan menerimanya dengan senang hati dan mendoakannya namun keesokan harinya uang tersebut sudah tidak lahi di tangannya.
Dan ketika beberapa hari yang lalu seseorang memberinya hadiah selembar kain, beliau berkata:
“Jika umurku sampai Ramadhan nanti, jahitkan kain ini untuk baju sholatku sebagai pengganti mukena yang lama. Namun jika tidak, tolong berikan kepada ‘si fulanah’ yang rumahnya disana, kulihat mukena yang di pakainya terlihat usang dan tak lagi layak di pakai.

Anak remaja di hadapanku menunduk, dia menyembunyikan air matanya yang perlahan menetes sebelum akhirnya kemudian berkata:
“Ustadzah” panggilnya lirih
“Ibuku meninngal tiga hari yang lalu… ku harap ustadzah berkenan menjadi saksi bahwa beliau telah berhasil menjalani kehidupan seperti yang diinginkannya. Karena setiap kali aku protes dengan caranya menolak harta dunia dia selalu berkata:

“Tahukah kau nak? Cita-citaku adalah termasuk dalam kelompok orang yang di ceritakan nabi Muhammad SAW bahwa saat proses hisab masih berlangsung, dan Shirotol mustaqim (jembatan yang tebentang di atas neraka jahannam yang harus dilewati setiap manusia untuk menuju syurga) masih dibentangkan, ada sekelompok orang yang telah menanti Nabi Muhammad SAW di pintu-pintu syurga, hingga malaikat bertanya ;

“Siapakah kalian yang telah berada disini padahal proses hisab masih berlangsung dan belum selesai?”

“Kami adalah sekelompok orang dari Umat Nabi Muhammad SAW yang keluar dari dunia seperti kami masuk ke dalamnya. Tak ada yang harus di hisab dari kami..” jawab mereka
Anakku… aku ingin keluar dari dunia ini tanpa membawa apapun kecuali sekedar yang aku perlukan untuk bertahan hidup sehingga tak harus ada proses hisab yang panjang menantiku di depan.”
Begitu selalu jawab ibuku dan dia berhasil menjalani hidupnya tepat seperti yang dia mau. Aku bercerita padamu agar kelak engkau berkenan menjadi saksi kebaikannya” kata remaja itu mengakahiri ceritanya..”

Aku takjub mendengar cerita Ustadzah Maryam dan kagum luar biasa pada wanita yang beliau ceritakan itu.

Betapa sederhana hidup sesungguhnya… Ya sangat sederhana, andai kita tidak menganggap penting sesuatu yang sebenarnya memang tidaklah penting. Harta dunia yang karenanya banyak orang berlomba hingga mau berbuat apapun untuk meraihnya, pada akhirnya akan ditinggalkan begitu saja.
Hidup ini sederhana saja sebenarnya.. Kita sendirinya yang suka membuat sesuatu menjadi lebih rumit. Cinta dunia sering kali mengelabui kita dari memahami makna hidup yang sesungguhnya.

Tarim 2000
0 komentar

Sang Pembawa Pesan

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Kota ini



Di kota ini tak ada embun pagi

Tak ada gemericik air sungai

Atau kicauan burung

Di Dahan Pepohonan



Di kota ini tak ada cemara

Tak ada laut atau muara

Tak ada pegunungan hijau

atau hutan belantara



Namun di kota ini 

Ada tasbih yang bergemerincing

Lebih damai

Dari arus sungai



Ada lisan menyenandung 

Sholawat di jalanan

Ada suara penyeru kebaikan 

di tiap sudut rerumahan



Tarim....

Apa yang ada padamu

Memberiku lebih 

dari yang kumau.

Tak pernah terbayangkan dalam benakku bahwa aku akan menjalani kehidupan seperti ini. Harus berjalan kaki paling tidak 2 km setiap hari. Melewati jalalanan terjal bebatuan bahkan naik turun gunung tanpa pepohonan rindang.

Baru 2 hari yang lalu ketika genap setahun aku menempati rumah yang dulu. Yang tak jauh dari Daruz Zahro tempat aku menuntut ilmu. Masa kontrakan habis dan untuk memperpanjangnya, pemilik rumah minta uang sewa dinaikkan dan kami yang hanya pelajar tanpa penghasilan tambahan kecuali mengharap kiriman dari orang tua nun jauh disana, tak dapat berbuat apa-apa kecuali menyerah pada keadaan. Rela meninggalkan rumah kontrakkan yang telah kami tempati selama ini.
Maka siang itu selepas sholat dhuhur, sepulang aku dari belajar, kakak ku menyuruhku segera mengemasi barang.

“Mau pindah kemana kita kak?” tanyaku penasaran
“Aku juga belum tahu, tapi yang aku tahu Allah tak pernah menyia-nyiakan hamba-Nya yang dalam keadaan terjepit seperti kita” Jawabnya tanpa beban sambil menutup pintu dan keluar.
Kalau di piker-pikir ada betulnya juga, apalagi terhadap pelajar seperti kami. Bukankah ada jaminan khusus untuk para penuntut ilmu, dimana Allah akan memenuhi kebutuhan mereka dari arah yang tidak disangka-sangka?

Maka ketika kakakku tiba di rumah, beberapa jam setelah kepergiannya, dari raut wajahnya aku tahu Allah telah menepati persangkaannya.
“Kita dapat ruah indah di lereng gunung. Di bagian atas bangunan masjid yang baru selesai di bangun. Seseorang sewaktu aku sholat Ashar di masjid tadi menunjukkannya. Aku sudah melihatnya dan aku yakin kamu pasti menyukainya.” Katanya penuh semangat.

●●●

Dan rumah itu memang indah. Memang berada di lereng gunung batu. Dari halaman rumahku bahkan bisa terlihat nyaris seluruh kota Tarim lengkap dengan kebun-kebun kurmanya yang tampak indah di musim berbuah kali ini. Dan rumah itupun benar-benar di atas sebuah masjid , tapi bukan di atas bangunan masjid yang besar itu, tepatnya ia berada di atas tempat wudhu dan kamar mandi masjid yang aku hitung berjumlah dua belas.

Merupakan adat istiadat dan tradisi di negri ini setiap membangun masjid selalu membangun sarana yang mendatangkan penghasilan untuk masjid. Ada yang membangun ruko-ruko yang di kontrakkan, kebun kurma di halaman belakang atau rumah kontrakkandi samping atas masjid seperti rumah yang aku tempati ini.

Sebuah tradisi yang baik dan bijaksana kukira. Hingga tak kudapati masjid-masjid meletakkan kotak amal di pintu-pintu masuknya. Bahkan selalu kulihat Masjid di tiap pelosok di negeri in lebih mewah dari rumah-rumah warganya.

Rumah itupun tak hanya indah tapi murah. Karena terletak di daerah yang masih sepi. Sangat sepi bahkan nyaris tak kudapati rumah di sekitar rumah ini yang sedang di huni. Pantas saja pengurus masjid begitu senang ketika kami sampaikan keinginan kami tinggal di sini. Hitung-hitung sekalian memakmurkan masjid pikirnya. Karena di butuhkan orang untuk menyalakan dan mematikan lampu tiap pagi dan sore hari. Dan itu bisa kami lakukan, apalagi kakakku tidak keberatan untuk mengumandangkan adzan di tiap waktu sholat yang dia sedang berada di rumah. Pengurus masjid hanya meminta kami membayar 1500 reyal (mata uang Negara Yaman) sekitar 150 ribu rupiah perbulannya. Nilai uang yang sangat kecil di bandingkan biaya kontrakan rumah pada umumnya.
Maka lengkaplah rumah ini sebagai sebuah pertolongan dari Allah. Bangunannya indah, pemandangannya bagus, dekat masjid, murah lagi.

Satu-satunya masalah yang kemudian muncul hanyalah kenyataan bahwa rumah ini jauh dari tempat kami belajar. Jarak tempuhnya dari Daruzzahro lebih dari 500 meter. Yang jika aku berangkat sekolah pagi di pagi hari, kembali di siang hari untuk kemudian berangkat lagi di sore hari menghadiri rauhah (semacam pengajian umum yang di lakukan di sore hari) dan pulang pada malam harinya berarti aku berjalan kaki sekurang-kurangnya 2 km setiap hari. Selanjutnya silahkan hitung sendiri berapa kilo meter yang aku tempuh dalam tiap bulannya. Sungguh betul-betul sebuah perjlanan berat lagi melelahkan apalagi perjalanan itu berupa naik turun gunung batu nan terjal tanpa aspal. Terlebih jika dilakukan seperti saat ini, di musim panas yang suhunya mencapai 40 sampai 50 derajat celcius. Sungguh lengkap perjuangan hidup ini, membuat aku merasa seolah-olah menjadi seorang pendekar yang naik turun gunung untuk mengalahkan musuh besarnya.

Dan katakanlah:



"Berbuatlah engkau.........

Niscaya Allah, Rasul-Nya

dan orang-orang mukmin

akan melihat perbuatanmu



Dan engkau akan

dikembalikan kepada Allah

Dzat Yang Maha Mengetahui 

segala yang ghaib

dan yang nyata



lalu dia memperlihatkan

kembali semua yang telah engkau perbuat.



(At-Taubah 105)

Maka kala pagi ini aku menyandang tas besar berisi kitab-kitab yang akan ku pelajari, buku tulis, beberapa bolpen dan sebuah alat rekam menelusuri jalanan terjal bebatuan, aku jadi berfikir seolah sedang membawa persenjataan menumpas musuh besar. Ya, betul juga kurasa, bukankah musuh dalam hidup kita yang terbesar adalah setan? Aku pernah mendengar bahwa yang paling disukai setan pada diri manusia adalah kebodohan, dan yang paling di takutinya adalah ilmu pengetahuan yang bisa mendekatkan seorang hamba pada Tuhan. Berarti tatkala aku berangkat belajar bukankah aku sedang berperan melawan musuh besar? Jika memang begitu, bagiku sungguh terkalahkannya setan sebagai musuh pengganggu perjalanan hidupku adalah harga yang pantas dibayar untuk kelelahan yang sedang aku lakukan.

Kakiku masih tetap melangkah bersama tetesan-tetesan keringat yang mengalir deras dan kakiku mulai terasa lemas. Akupun lalu berfikir tentang segala hal yang menjadikan semua kelelahan ini tidak sia-sia. Ya, agar perjalanan ini menjadi lebih bermakna, agar tiap langkah yang kutempuh tak membawa penyesalan. Bersama tiap langkah kakiku, aku mulai menghitung-hitung niat yang terfikir di benakku.

“Aku tinggal jauh di rumah masjid itu dengan niat agar langkah-langkahku menempuh kebaikan menjadi lebih banyak, berarti lebih banyak pula nilai pahalaku, dan tinggal yang bersatu dengan masjid memudahkanku beri’tikaf setiap waktu terutama karena masjid itu belum ramai di kunjungi orang. Pemandangan indah di sekitar masjid, pegunungan dengan bebatuan aneka warna bisa memudahkanku bertafakkur dan mensyukuri keindahan alam ciptaan Tuhan.”

Saat aku berjalan keluar menuju sekolah, kuniatkan setiap langkahku sebagai bentuk khidmah (pelayanan terhadap agama) kepada Allah dan Rosul-Nya juga berharap berkah dari para wali (orang yang dicintai Allah karena ketakwaan kepada-Nya) di negri ini. Dan aku niatkan bersama tiap degup jantungku, seiring langkah-langkahku sebagai sarana men-syiarkan agama islam karena aku melangkah untuk menuntut ilmu yang akan aku sampaikan pada saudara-saudara seiman ketika aku pulang ke negeriku nanti. Dan aku niatkan pula tiap desah nafasku untuk menyenangkan hati Rosulullah Saw di alam Beliau sana karena dari sekian umatnya banyak lupa syariatnya, aku adalah satu dari sedikit mereka yang mau lelah mempelajari ajarannya untuk ku sebarluaskan kepada umatnya.

Aku masih menghitung-hitung niat yang bisa kuhadirkan dalam hatiku sampai langkahku kemudian terhenti ketika dikejutkan suara wanita yang sedang menyapu, memanggilku.

“Ya Bunayyah..(panggilan sayang untuk anak-anak)” panggilnya sambil sejenak berhenti menyapu dan pandangannya lurus menghadapku.
Aku menghampirinya.
Diletakkakannya sapu di tangannya di bawah pohon kurma kemudian tersenyum penuh sayang. Dia menepuk-nepuk pundakku seraya berkata perlahan. Sangat perlahan seolah dia tak ingin aku kehilangan satu katapun dari apa yang dia ucapkan. Dia berkata:
“Wahai anakku.. Allah akan memberi sesuai dengan apa yang kau niatkan”
Aku berdiri kebingungan nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Aku memintanya kembali mengulangi ucapannya dan dia berkata lagi:
“Allah akan mengkaruniakanmu sesuai dengan niat-niatmu” katanya kemudian.

Aku masih berdiri keheranan, ketika dia kembali mengambil sapu dan meneruskan pekerjaannya. Sejenak kemudian aku tersadar dan mengucapkan terimakasih padanya lalu melanjutkan perjalanan sambil tak habis mengerti bagaimana sesuatu yang aku pikirkan bisa dibaca oleh seorang wanita yang bahkan tak pernah kukenal ini.
Kebetulan?....
Kurasa itu terlalu jauh dari kemungkinan.

Melihat senyum dan caranya bertutur, aku begitu yakin bahwa ucapannya tak hanya sekedar kebetulan semata. Dia penyampai kabar gembira dari Tuhannya.

Menyadari hal itu aku kembali menoleh ke belakang dan mendapati wanita itu masih menyapu halaman rumahnya. Namun pandangankucpadanya berubah menjadi sebuah kekaguman. Kagum bahwa dia adalah hamba yang Allah pilih jadi penyampai kabar gembira pada hamba-hambaNya. Perantara antara Allah dan makhlukNya. Pemberi pelajaran-pelajaran kehidupan.

Hari ini ia telah memberi pelajaran berharga yang takkan pernah kulupa:
"Allah, Tuhanku akan selalu memberiku sesuai dengan niatku"

Hingga tatkala kudapati kesalahan dalam sesuatu, kutahu ada yang salah pula dalam niatku.

"Hati-hatilah dengan firasat seorang mukmin, ia bisa melihat dengan cahaya Allah.
(H.R Tirmidzi dan Thabrani)
0 komentar

Hubabah Tiflah (Ajarkan Aku Berdoa Sepertimu)

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Allah SWT berfirman:
Seruanmu memanggil nama-Ku
adalah jawaban-Ku.

Kerinduan pada-Ku
adalah pesan-Ku untukmu.

Segala upayamu
untuk menggapai-Ku
pada hakikatnya adalah
upaya-Ku menggapaimu.

Ketakutan dan cintamu
adalah simpul untuk
mendapati Aku.

Dalam keheningan yang mengelilingi setiap seruan:
'Allah'

menanti seribu jawaban
'Di sinilah Aku'

Lebaran pertamaku di perantauan. Tanpa ketupat, tanpa opor, tanpa sambal goreng kesukaan, tanpa kue-kue kering makanan khas lebaran. Tanpa orang tua, tanpa saudara tanpa teman-teman sepermainan. Tanpa siapapun yang sebelumnya kukenal kecuali kakak laki-lakiku yang memang bersamanya aku merantau ke negri orang.

                Dengan baju baru yang dibelikan kakak semalam, aku berjalan keluar rumah sendirian. Kakakku sudah lebih dulu keluar, ada acara uwadh semacam open house, silaturrahmi antar ulama dan masyarakat. “Khusus Laki-laki” jawabnya ketika kuutarakan niatku ikut bersamanya.

Maka aku pun berjalan sendirian. Takbir Idul Fitri sudah tidak lagi terdengar. Karena selepas sholat ied pagi tadi masjid-masjid sudah berhenti mengumandangkan takbir. Dari kejauhan tampak deretan pohon kurma yang tidak sedang berbuah. Sekarang musim dingin dan pohon-pohon kurma baru akan berbuah pada musim panas. Kabarnya angin panas padang pasir yang biasa disebut Samum (Nama angin yang mengeluarkan hawa panas) itulah yang membuat masak buah kurma. Pantas saja pohon kurma tak berbuah di negeri Indonesia. Angin disana tidak panas malah sejuk menerpa wajah.

Jalanan telihat lengang hanya sesekali saja kulihat mobil-mobil pribadi yang mungkin membawa penumpangnya bersilaturahmi saling berkunjung pada lebaran seperti ini.

Kuketuk pintu rumah ustadzah Zainab AlKhotib. Seorang Ustadzah dari Taiz, sebuah kota pertanian di daerah Yaman Selatan yang kini menetap di Tarim (nama sebuah kota di profinsi Hadramaut Republik Yaman) dan mengajar di Daruz Zahro (nama lembaga pendidikan agama semacam pesantren putri), Ma’had (semacam pesantren di Indonesia) dimana aku bersekolah disana. Suaminya Ustadz dan pengurus Darul Musthofa (nama lembaga pendidikan agama yang didirikan oleh Da’I ila Allah Al Habib Umar Bin Hafidz), yayasan yang membawahi Daruz Zahro. Kebetulan kemarin disaat bejumpa dengannya di masjid, sewaktu sama-sama sholat tarawih terakhir , beliau mengajakku mungkin karena kasihan terhadap anak-anak yang berlebaran sendirian berkunjung ke beberapa orang tua di negeri ini.

Senyum Muhammad putera ustadzah segera menyambutku kala ia membukakan pintu.

“Kamu Halimah dari Indonesia ya?” tanyanya dengan dialek arab yang fashih. Usianya kutaksir 7 tahunan. Aku mengangguk mengiyakan dan diapun segera berlari kedalam memberitahukan ibunya setelah sebelumnya mempersilahkan aku masuk dan duduk di ruang tamu. Sebuah ruangan tanpa kursi khas arab hanya bantal-bantal tebal tersusun sebagai sandaran.

Tak lama Ustadzah Zainab menemuiku dengan sebaki nampan penuh makanan. Ada berbagai jenis halawa (kue manis biasanya terbuat dari wijen), kacang-kacangan, gela (sejenis kwaci) dan secangkir teh dengan ni’na (daun mint) minuman khas daerah ini.

Setelah berbasabasi sebentar menanyakan keadaan dan aku menjawabnya dengan bahasa arab ala kadarnya karena baru kurang lebih sebulan aku tinggal di negeri ini, Ustadzah Zainab menerangkan padaku siapa yang akan kami kunjungi hari ini. “Kita biasa memanggilnya Hubabah Tiflah” katanya.

“Seorang perempuan tua, ahli ibadah yang lisannya tak pernah berhenti berdzikir. Orang-orang biasa memanggilanya dengan nama itu (dalam bahasa arab artinya bayi) mungkin karena beliau sampai dimasa tuanya masih tetap seperti bayi, tak pernah menyakiti siapapun.”

Rumah itu sangat sederhana kalau tidak malah bisa dibilang miskin. Tak ada permadani tebal atau sandaran-sandaran empuk layaknya rumah-rumah yang lain pada umumnya. Hanya karpet tipis yang mulai lapuk menutupi tanah tak bersemen di bawahnya. Dindingnya hanya separuh yang di cat. Selebihnya berwarna coklat asli tanah yang dilaburkan begitu saja. Ada tumpukan bantal dan selimut usang di sudut ruang. Kurasa diruangan itu pula mereka biasa tidur di malam hari. Sungguh keadaan yang memprihatinkan. Sangat tidak sesuai dengan raut wajah mereka yang menyambut kami kala masuk rumah tadi. Senyum mereka begitu lepas tanpa beban, tawa ceria anak-anak kecilpun tetap terdengar, sambutan berupa pelukan dan di barengi ucapan ahlan wa sahlan (ungkapan selamat datang dalam bahasa arab) terdengar berulang-ulang seolah kami adalah kerabat dekat yang selalu dinanti bertandang. Sungguh… aku jadi betul menyadari memang benar bahwa kebahagiaan tak selalu diukur dengan materi.

Sekilas kudengar Ustadzah Zainab memperkenalkan aku kepada keluarga itu sebelum akhirnya menarik tanganku menemui seorang wanita tua yang duduk bersandar di sudut ruangan.

Wanita itu segera tersenyum demi menyadari keberadaan kami. Aku berpikir ini pasti Hubabah Tiflah yang diceritakan Ustadzah Zainab di rumahnya tadi. Usianya kutaksir di atas tujuh puluhan. Kulitnya sawo matang berkeriput.

Dan Ya Allah…
ternyata beliau buta…
pantas saja beliau tidak ikut berdiri bersama yang lain kala menyambut kami. Aku perhatikan raut wajahnya. Dia tidak cantik namun dari wajahnya terlihat seolah tak pernah ada beban atau masalah apapun dalam hidupnya. Beliau betul-betul seperti bayi. Aku diam di hadapannya, tak tahu harus berbuat apa. Hingga tatkala kulihat Ustadzah Zainab duduk dan mencium tangan wanita itu, akupun cuma mengikuti saja di belakangnya. Dan sambil kupegangi tangannya, aku memperkenalkan diri

“Halimah dari Indonesia” Kataku kataku dengan lahjah (dialek) yang ketara bukan orang arab tentunya.

Dia balas memegang erat tanganku lama sekali hingga kurasa hangat tangannya menjalari tanganku. Lalu dia meraba-raba wajahku dengan kedua tangannnya. Mungkin untuk mempermudah dia membayangkan rupaku.

Kemudian diletakkannya tangan kanannya di dadaku, dan lalu ia mendoakanku. Dia terus berdoa dan tak henti-hentinya berdoa untukku. Seolah saat itu tak ada yang lebih penting darinya kecuali aku. Perempuan asing yang bahkan baru ia kenal beberapa menit yang lalu. Ia masih saja berdoa dengan satu kalimat sederhana. Ya, ia berdoa dengan satu kalimat saja. Satu kalimat doa yang tak akan pernah kulupa. Apalagi tatkala kemudian diiringinya doa tersebut dengan linangan air mata. Sungguh membuat aku terpana, lemas tak mampu bahkan untuk mengangkat tanganku mengaminkan doanya…

“Semoga Allah takkan tega menyengsarakanmu anakku..” doa it uterus di ulangnya berkali-kali dengan cucuran air mata…

Ya Allah, sampai kapanpun, dimanapun, jangan pernah tega untuk menyengsarakan hidupnya”..
katanya lagi dan lagi dengan air mata yang membanjiri wajah tuanya. Membuatku tak kuasa membendung luapan airmata dan akupun ikut menangis terguguk di lantai itu juga.

“Ya Allah… kabulkan doanya.” Teriakku dalam hati. Jangan pernah tega menyengsarakan aku sekarang, nanti dan selamanya, di sini dan di sana. Di dunia ini ataupun hari setelahnya.

Tangisku tumpah ruah. Kukutuki diri dan dosa-dosa yang cukup membuat Allah murka dan berkemungkinan membuatku sengsara. Aku malu atas gunung-gunung dosa yang kutimbun tak habis-habisnya.

“Ya Allah, dan maafkan aku yang tak mengerti bagaimana berdoa pada-Mu. Maafkan aku yang jika untuk keselamatan diriku sendiri harus ada orang lain yang memohonkan dengan linangan air matanya. Sesuatu yang bahkan tak kuingat pernah kulakukan”

“Dan terimakasih Ya Allah… Kau perkenalkan aku pada wanita ini yang berdoa untukku ribuan kali lebih baik dariku.”

“Terima kasih untuk air mata kesungguhannya yang mungkin tak kudapat dari orang-orang yang mengaku mencintaiku sekalipun.”

“Terima kasih pula telah Kau bawa aku ke rumah ini. Rumah yang aku yakini di mata malaikat-Mu lebih indah dari rumah bermarmer mewah namun penghuninya tak pandai mensyukuri nikmat-Mu.”

“Terima kasih Ya Allah untuk sebuah pelajaran berharga”

"Doamu untuk sesama adalah hadiah terindah yang dapat kau berikan padanya

- Tarim Idul Fitri 1999

0 komentar

Tentang Bidadari Bumi

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Tentang bidadari bumi
Oleh Syarifah Halimah Alaydrus

Jika dalam hidup ini ada kebahagiaan yang harus saya bagi pada sesama, maka mungkin inilah saat yang tepat bagi saya untuk mencoba.

Perjumpaan dengan wanita-wanita mulia disela-sela masa belajar saya di Tarim, sebuah kota kecil di propinsi Hadhramaut, merupakan satu anugrah Allah yang tak terkira dari sekian banyak anugrah-Nya yang membahagiakan hati saya. Rasanya seperti mimpi indah yang menjadi nyata. Sebab ternyata wanita-wanita mulia itu ada, mereka hidup di masa saya dan saya berjumpa dengan mereka, menerima banyak mutiara-mutiara berharga dai pelajaran dan perjalanan hidup mereka…
Ya, mereka bukan wanita-wanita dari negeri dongeng, bukan bidadari yang ada di surga sana, mereka ada di sini. Di bumi ini…

Mereka adalah para bidadari bumi.

Memang sejak kecil hingga remaja, saya saya selalu kesulitan untuk mencari sosok wanita idola untuk saya teladani dalam mengarungi kehidupan ini. Benar, bahwa saya-seperti juga yang lain tentunya-sudah di kenalkan dengan semisal Sayyidah Khodijah istri Nabi atau Sayyyidah Fatimah puteri Nabi yang bukan hanya sekedar wanita mulia bahkan mereka adalah pemimpin para wanita surga. Tapi bukankah zaman mereka berbeda…? Sementara saya membutuhkan contoh yang lebih dekat dan nyata dengan kehidupan zaman sekarang ini. Saya membutuhkan Khodijah dan Fatimah abad 20 begitulah kira-kiranya…

Maka ketika pada akhirnya saya berjumpa satu demi satu dengan wanita-wanita yang saya ceritakan nanti, ada keinginan dalam hati saya untuk berbagi cerita tentang pengalaman saya ini agar tatkala ada anak yang kesulitan mencari idola seperti halnya saya di masa lalu, maupun remaja atau perempuan di usia berapapun yang saat ini sibuk mengekor kepada wanita yang kurang tepat karena tak punya pilihan idola yang seharusnya, maka cerita-cerita tentang mereka ini semoga bisa memberi inspirasi dan penyemangat bahwa di zaman sekarang ini saat maksiat dan dosa menjadi sesuatu yang lumrah dan merajalela di mana-mana ternyata masih banyak wanita-wanita bak mutiara berkilau yang begitu indah menjalani kehidupannya. Dan tentu saja jika mereka bisa melakukanya kitapun tentu bisa belajar menteladani mereka.

Saya tidak sedang mencoba menyajikan suatu hal yang muluk tentang wanita sempurna yang bisa kita jadikan teladan dalam semua aspek kehidupannya, karena bahkan diantara mereka ada yang tidak benar-benar saya ketahui seluruh hidupnya. Namun sekelumit dari kisah yang saya ceritakan ini paling tidak memberi gambaran tentang satu potret kehidupan nyata yang akan bisa kita praktekkan dalam satu sisi kehidupan kita.

Bagi saya, pribadi mereka adalah orang-orang yang mengerti tentang makna dan tujuan hidup yang Allah anugrahkan bagi mereka. Mereka berupaya menjadikan dunia ini sebagai ladang amal untuk menuai hasilnya di masa yang akan datang, di masa setelah kematian. Setidaknya, itu menurut saya, namun seperti apapun penilaian anda tentang mereka, mari kita sama-sama membaca dan kemudian berkaca agar hidup kita menjadi lebih bermakna dan tidak lagi menyia-nyiakan karunia hidup yang telah Allah anugrahkan kepada kita.


Mari menjadi hamba Allah yang mulia.
0 komentar

Bidadari Bumi: 9 Kisah Wanita Soleha

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Bidadari Bumi: 9 Kisah Wanita Soleha

Buku ini berkisah tentang wanita-wanita mulia yang patut dijadikan teladan dalam kehidupan. Terutama bagi wanita muslimah yang di abad ini mengalamai krisis keteladanan wanita-wanita salehah. Kisah-kisah kehidupan yang menyentuh hati, dramatik, mengalir, apa adanya disajikan secara indah dalam buku ini. 

Penulis menghadirkan kisah pengalaman suka dukanya selama belajar di kota Tarim – Hadramaut – Yaman, saat ia berjumpa satu persatu dengan tokoh-tokoh yang diceritakannya. Membacanya seolah berhadapan langsung dengan mereka, dan kita serasa ikut serta memetik pelajaran yang sangat berharga.

Daftar Isi:
  1. Hubabah Tiflah (Ajarkan Aku Berdoa Sepertimu)
  2. Sang Pembawa Pesan
  3. Zuhud
  4. Malam Panjang Di Mina
  5. Wanita Di Bis
  6. Erika
  7. Pesta Agung
  8. Doktor Hati
  9. Hari-hari bersama Hubabah Bahiyyah
 
;