Jumat, 02 November 2018

Sang Pembawa Pesan

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Kota ini



Di kota ini tak ada embun pagi

Tak ada gemericik air sungai

Atau kicauan burung

Di Dahan Pepohonan



Di kota ini tak ada cemara

Tak ada laut atau muara

Tak ada pegunungan hijau

atau hutan belantara



Namun di kota ini 

Ada tasbih yang bergemerincing

Lebih damai

Dari arus sungai



Ada lisan menyenandung 

Sholawat di jalanan

Ada suara penyeru kebaikan 

di tiap sudut rerumahan



Tarim....

Apa yang ada padamu

Memberiku lebih 

dari yang kumau.

Tak pernah terbayangkan dalam benakku bahwa aku akan menjalani kehidupan seperti ini. Harus berjalan kaki paling tidak 2 km setiap hari. Melewati jalalanan terjal bebatuan bahkan naik turun gunung tanpa pepohonan rindang.

Baru 2 hari yang lalu ketika genap setahun aku menempati rumah yang dulu. Yang tak jauh dari Daruz Zahro tempat aku menuntut ilmu. Masa kontrakan habis dan untuk memperpanjangnya, pemilik rumah minta uang sewa dinaikkan dan kami yang hanya pelajar tanpa penghasilan tambahan kecuali mengharap kiriman dari orang tua nun jauh disana, tak dapat berbuat apa-apa kecuali menyerah pada keadaan. Rela meninggalkan rumah kontrakkan yang telah kami tempati selama ini.
Maka siang itu selepas sholat dhuhur, sepulang aku dari belajar, kakak ku menyuruhku segera mengemasi barang.

“Mau pindah kemana kita kak?” tanyaku penasaran
“Aku juga belum tahu, tapi yang aku tahu Allah tak pernah menyia-nyiakan hamba-Nya yang dalam keadaan terjepit seperti kita” Jawabnya tanpa beban sambil menutup pintu dan keluar.
Kalau di piker-pikir ada betulnya juga, apalagi terhadap pelajar seperti kami. Bukankah ada jaminan khusus untuk para penuntut ilmu, dimana Allah akan memenuhi kebutuhan mereka dari arah yang tidak disangka-sangka?

Maka ketika kakakku tiba di rumah, beberapa jam setelah kepergiannya, dari raut wajahnya aku tahu Allah telah menepati persangkaannya.
“Kita dapat ruah indah di lereng gunung. Di bagian atas bangunan masjid yang baru selesai di bangun. Seseorang sewaktu aku sholat Ashar di masjid tadi menunjukkannya. Aku sudah melihatnya dan aku yakin kamu pasti menyukainya.” Katanya penuh semangat.

●●●

Dan rumah itu memang indah. Memang berada di lereng gunung batu. Dari halaman rumahku bahkan bisa terlihat nyaris seluruh kota Tarim lengkap dengan kebun-kebun kurmanya yang tampak indah di musim berbuah kali ini. Dan rumah itupun benar-benar di atas sebuah masjid , tapi bukan di atas bangunan masjid yang besar itu, tepatnya ia berada di atas tempat wudhu dan kamar mandi masjid yang aku hitung berjumlah dua belas.

Merupakan adat istiadat dan tradisi di negri ini setiap membangun masjid selalu membangun sarana yang mendatangkan penghasilan untuk masjid. Ada yang membangun ruko-ruko yang di kontrakkan, kebun kurma di halaman belakang atau rumah kontrakkandi samping atas masjid seperti rumah yang aku tempati ini.

Sebuah tradisi yang baik dan bijaksana kukira. Hingga tak kudapati masjid-masjid meletakkan kotak amal di pintu-pintu masuknya. Bahkan selalu kulihat Masjid di tiap pelosok di negeri in lebih mewah dari rumah-rumah warganya.

Rumah itupun tak hanya indah tapi murah. Karena terletak di daerah yang masih sepi. Sangat sepi bahkan nyaris tak kudapati rumah di sekitar rumah ini yang sedang di huni. Pantas saja pengurus masjid begitu senang ketika kami sampaikan keinginan kami tinggal di sini. Hitung-hitung sekalian memakmurkan masjid pikirnya. Karena di butuhkan orang untuk menyalakan dan mematikan lampu tiap pagi dan sore hari. Dan itu bisa kami lakukan, apalagi kakakku tidak keberatan untuk mengumandangkan adzan di tiap waktu sholat yang dia sedang berada di rumah. Pengurus masjid hanya meminta kami membayar 1500 reyal (mata uang Negara Yaman) sekitar 150 ribu rupiah perbulannya. Nilai uang yang sangat kecil di bandingkan biaya kontrakan rumah pada umumnya.
Maka lengkaplah rumah ini sebagai sebuah pertolongan dari Allah. Bangunannya indah, pemandangannya bagus, dekat masjid, murah lagi.

Satu-satunya masalah yang kemudian muncul hanyalah kenyataan bahwa rumah ini jauh dari tempat kami belajar. Jarak tempuhnya dari Daruzzahro lebih dari 500 meter. Yang jika aku berangkat sekolah pagi di pagi hari, kembali di siang hari untuk kemudian berangkat lagi di sore hari menghadiri rauhah (semacam pengajian umum yang di lakukan di sore hari) dan pulang pada malam harinya berarti aku berjalan kaki sekurang-kurangnya 2 km setiap hari. Selanjutnya silahkan hitung sendiri berapa kilo meter yang aku tempuh dalam tiap bulannya. Sungguh betul-betul sebuah perjlanan berat lagi melelahkan apalagi perjalanan itu berupa naik turun gunung batu nan terjal tanpa aspal. Terlebih jika dilakukan seperti saat ini, di musim panas yang suhunya mencapai 40 sampai 50 derajat celcius. Sungguh lengkap perjuangan hidup ini, membuat aku merasa seolah-olah menjadi seorang pendekar yang naik turun gunung untuk mengalahkan musuh besarnya.

Dan katakanlah:



"Berbuatlah engkau.........

Niscaya Allah, Rasul-Nya

dan orang-orang mukmin

akan melihat perbuatanmu



Dan engkau akan

dikembalikan kepada Allah

Dzat Yang Maha Mengetahui 

segala yang ghaib

dan yang nyata



lalu dia memperlihatkan

kembali semua yang telah engkau perbuat.



(At-Taubah 105)

Maka kala pagi ini aku menyandang tas besar berisi kitab-kitab yang akan ku pelajari, buku tulis, beberapa bolpen dan sebuah alat rekam menelusuri jalanan terjal bebatuan, aku jadi berfikir seolah sedang membawa persenjataan menumpas musuh besar. Ya, betul juga kurasa, bukankah musuh dalam hidup kita yang terbesar adalah setan? Aku pernah mendengar bahwa yang paling disukai setan pada diri manusia adalah kebodohan, dan yang paling di takutinya adalah ilmu pengetahuan yang bisa mendekatkan seorang hamba pada Tuhan. Berarti tatkala aku berangkat belajar bukankah aku sedang berperan melawan musuh besar? Jika memang begitu, bagiku sungguh terkalahkannya setan sebagai musuh pengganggu perjalanan hidupku adalah harga yang pantas dibayar untuk kelelahan yang sedang aku lakukan.

Kakiku masih tetap melangkah bersama tetesan-tetesan keringat yang mengalir deras dan kakiku mulai terasa lemas. Akupun lalu berfikir tentang segala hal yang menjadikan semua kelelahan ini tidak sia-sia. Ya, agar perjalanan ini menjadi lebih bermakna, agar tiap langkah yang kutempuh tak membawa penyesalan. Bersama tiap langkah kakiku, aku mulai menghitung-hitung niat yang terfikir di benakku.

“Aku tinggal jauh di rumah masjid itu dengan niat agar langkah-langkahku menempuh kebaikan menjadi lebih banyak, berarti lebih banyak pula nilai pahalaku, dan tinggal yang bersatu dengan masjid memudahkanku beri’tikaf setiap waktu terutama karena masjid itu belum ramai di kunjungi orang. Pemandangan indah di sekitar masjid, pegunungan dengan bebatuan aneka warna bisa memudahkanku bertafakkur dan mensyukuri keindahan alam ciptaan Tuhan.”

Saat aku berjalan keluar menuju sekolah, kuniatkan setiap langkahku sebagai bentuk khidmah (pelayanan terhadap agama) kepada Allah dan Rosul-Nya juga berharap berkah dari para wali (orang yang dicintai Allah karena ketakwaan kepada-Nya) di negri ini. Dan aku niatkan bersama tiap degup jantungku, seiring langkah-langkahku sebagai sarana men-syiarkan agama islam karena aku melangkah untuk menuntut ilmu yang akan aku sampaikan pada saudara-saudara seiman ketika aku pulang ke negeriku nanti. Dan aku niatkan pula tiap desah nafasku untuk menyenangkan hati Rosulullah Saw di alam Beliau sana karena dari sekian umatnya banyak lupa syariatnya, aku adalah satu dari sedikit mereka yang mau lelah mempelajari ajarannya untuk ku sebarluaskan kepada umatnya.

Aku masih menghitung-hitung niat yang bisa kuhadirkan dalam hatiku sampai langkahku kemudian terhenti ketika dikejutkan suara wanita yang sedang menyapu, memanggilku.

“Ya Bunayyah..(panggilan sayang untuk anak-anak)” panggilnya sambil sejenak berhenti menyapu dan pandangannya lurus menghadapku.
Aku menghampirinya.
Diletakkakannya sapu di tangannya di bawah pohon kurma kemudian tersenyum penuh sayang. Dia menepuk-nepuk pundakku seraya berkata perlahan. Sangat perlahan seolah dia tak ingin aku kehilangan satu katapun dari apa yang dia ucapkan. Dia berkata:
“Wahai anakku.. Allah akan memberi sesuai dengan apa yang kau niatkan”
Aku berdiri kebingungan nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Aku memintanya kembali mengulangi ucapannya dan dia berkata lagi:
“Allah akan mengkaruniakanmu sesuai dengan niat-niatmu” katanya kemudian.

Aku masih berdiri keheranan, ketika dia kembali mengambil sapu dan meneruskan pekerjaannya. Sejenak kemudian aku tersadar dan mengucapkan terimakasih padanya lalu melanjutkan perjalanan sambil tak habis mengerti bagaimana sesuatu yang aku pikirkan bisa dibaca oleh seorang wanita yang bahkan tak pernah kukenal ini.
Kebetulan?....
Kurasa itu terlalu jauh dari kemungkinan.

Melihat senyum dan caranya bertutur, aku begitu yakin bahwa ucapannya tak hanya sekedar kebetulan semata. Dia penyampai kabar gembira dari Tuhannya.

Menyadari hal itu aku kembali menoleh ke belakang dan mendapati wanita itu masih menyapu halaman rumahnya. Namun pandangankucpadanya berubah menjadi sebuah kekaguman. Kagum bahwa dia adalah hamba yang Allah pilih jadi penyampai kabar gembira pada hamba-hambaNya. Perantara antara Allah dan makhlukNya. Pemberi pelajaran-pelajaran kehidupan.

Hari ini ia telah memberi pelajaran berharga yang takkan pernah kulupa:
"Allah, Tuhanku akan selalu memberiku sesuai dengan niatku"

Hingga tatkala kudapati kesalahan dalam sesuatu, kutahu ada yang salah pula dalam niatku.

"Hati-hatilah dengan firasat seorang mukmin, ia bisa melihat dengan cahaya Allah.
(H.R Tirmidzi dan Thabrani)

0 komentar:

Posting Komentar

 
;