بسم الله الرّحمن الرّحيم
Mendung menyelimuti langit Tarim hari ini, kurasa ia menyelimuti buminya juga, entahlah.. namun yang pasti mendung menyelimuti wajah-wajah orang yang kujumpai. Para guru, para pelajar, bahkan para tamu. Kabar meninggalnya Hubabah Khadijah terdengar seperti sengatan listrik di hati semua orang yang mendengarnya.
Siapa yang tidak mengenal beliau ?
Inat, kota kecil sekitar 30 km dari kota Tarim menjadi dikenal karena Syekh Abu Bakar bin Salim salah satu tokoh ulama dan waliyullah paling terkemuka beliau dulu tinggal dan dimakamkan disana. Maka berziarah ke Inat artinya mengunjungi makam beliau beserta putera-puteranya.
Merupakan satu Peraturan tak tertulis bagi kami bahwa ziaroh kesana tidak lengkap rasanya tanpa mengunjungi Hubabah Khadijah, salah satu keturunan beliau seorang wanita sholehah yang tinggal sendiri di sebuah rumah tak jauh dari makam Syekh Abu Bakar bin Salim berada.
Baru beberapa hari yang lalu kami mengunjungi beliau. Sebuah kunjungan rutin yang biasa kami lakukan di akhir Sya’ban menjelang Ramadhan tiba. Beliau masih segar bugar, sungguh tak pernah kami sangka bahwa itu adalah kunjungan terakhir kami.
Beliau menyambut kami dengan suka cita, mendoakan dan juga meminta salah seorang diantara kami membaca nasyid (bait-bait kasidah) dari perkataan para ulama salaf. Maka kabar kematian beliau mengejutkan semua orang. Dan kisah tentang kematian beliau kami dengar dari salah satu ustadzah yang berangkat takziah kesana
“Tetangga Hubabah Khadijah bercerita…” katanya mengawali kisah
“Hubabah Khadijah tinggal seorang sendiri. Dan beliau memang sungguh-sungguh mandiri. Tidak mau bergantung dengan siapapun. Ketergantunggannya pada orang lain hanya untuk menunaikan sholat. Beliau Istiqomah (kontinyu dan berkesinambungan dalam mengerjakan sesuatu) menjalankan sholat berjamaah. Saya datang kerumahnya disetiap waktu sholat untuk bersama beliau mengerjakan sholat fardu.
Dan tadi malam tepat malam jumat pertama di bulan Ramadhan setelah sholat maghrib berjamaah beliau berkata padaku:
“Kembalilah segera kemari setelah engkau menyiapkan makan malam keluargamu, kita akan melaksanakan sholat Isya’ dan Tarawih lebih awal karena aku akan pergi ke satu tempat”
Aku hanya mengangguk meski benakku di penuhi dengan pertanyaan;
Kemana beliau akan pergi setelah puluhan tahun tak pernah kulihat keluar rumah apalagi di malam ramadhan seperti ini ?
●●●
Beliau terlihat segar sewaktu keluar dari kamar mandi,memakai baju hijau kesukaannya, wanginya tercium semerbak.
Hubabah mau kemana sebenarnya? Pikirku semakin penasaran
Beliau mengimami sholat isya, dilanjutkan sholat sunnah ba’diyah seperti biasanya, kemudian mengimamiku sholat tarawih lantas sholat witir yang diselesaikan 11 rakaat. Aneh sekali karena biasanya beliau lanjutkan sholat witirnya pada akhir malam menjelang subuh.
Selepas semua doa malam Ramadhan kami baca, aku tak bisa lagi menahan diri lalu bertanya:
“Maaf Hubabah.. kalu boleh tahu, kemana sebenarnya Hubabah hendak pergi sampai bersiap-siap sedemikian rupa?”
Bukannya menjawab, beliau malah mengisyaratkanku untuk diam. Diambilnya mushaf Al-Qur’an dan dibacanya juz terakhir sampai khatam. Kemudian beliau memintaku untuk mendekat padanya, setelah beliau membaringkan dirinya menghadap kiblat
“Aku mau menghadiri undangan” katanya sembari membenahi letak kerudungnya
“Kemana? Undangan apa?”
“Undangan sebuah pesta, Yang Maha Besar telah mengundangku” jawabnya dengan begitu tenang
Aku gemetar mendengarnya dan baru memahami kemana kiranya beliau akan pergi. Benakku mulai kacau. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku lalu berkata:
“Jangan tinggalkan aku, Hubabah… atau ajak aku ikut serta denganmu…”
“semua ada waktunya, dan waktumu belum lagi tiba… sampaikan pesanku kepada semua orang yang mengenalku; aku telah memaafkan mereka yang pernah berbuat salah padaku apapun bentuknya, dan sampaikan salam dan permohonan maafku kepada mereka semua..” beliau terdiam sejenak kemudian berkata:
“Sekarang aku segera berangkat menghadiri undanganNya”
Beliau kembali merapikan pakaian dan penutup kepalanya kemudian berujar dengan mantap
“Laa ilaaha illallah, Muhammad Rosululullah”
Matanya menatap lurus ke atas … lalu perlahan menghembuskan nafasnya yang terakhir diiringi senyuman indah. Senyum keberhasilan senyum kemenangan atas perjuangan hidup di akhir zaman yang semakin sulit menghindar dari fitnahnya..”
“’Demikian cerita tetangga dan orang terdekat Hubabah Khadijah” ujar Ustadzah mengakhiri kisahnya .
Sungguh sebuah kematian yang indah luar biasa. Andai bisa memesan, kematian seperti inilah yang akan aku pesan. Kalau saja bisa membuat perjanjian dengan malaikat pencabut nyawa, maka jenis kematian inilah yang aku inginkan.
Andai…
Tapi… seperti engkau menjalani kehidupan, seperti itu pula engkau akan dimatikan. Ungkapan ini memang tepat untuk menggambarkan tentang beliau. Kematian bagi Hubabah Khadijah laksana sebuah pesta, sebuah undangan dari yang di cinta. Cinta beliau kepada Allah tak diragukan lagi. Beliau adalah satu dari sedikit orang zaman sekarang yang memiliki cinta kepada Allah melebihi cintanya kepada apapun di dunia ini.
Salah satu ustadzah pernah bercerita suatu ketika mengunjungi Hubabah Khadijah, dia saat itu sedang sakit tenggorokan cukup parah, merasa pedih ketika menelan makanan bahkan sulit sekedar untuk bicara. Ia pegang tangan Hubabah dan ia letakkan di tenggorokannya sembari minta kepadanya agar mendoakan kesembuhannya. Hubabah mengusap-usapkan tangannya di tenggorokan sambil berdoa, namun kemudian berkata:
“Nak.. bukankah sakit adalah dariNya juga? Dan Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa Allah SWT sering kali tatkala mencintai seorang hamba Dia memberinya rasa sakit sebagai tanda cinta. Kamu tahu nak.. ketika dalam waktu lama aku tidak diberinya rasa sakit atau ujian apapun, aku berkata padaNya:
“Ya Allah murkakah Engkau kepada hambaMu Khadijah? Hingga tak kau karuniakan padanya sesuatu untuk meninggikan derajatnya?
Anakku…
Yang Allah inginkan padamu adalah kebaikan, maka terimalah apapun dariNya dengan lapang dada sembari meyakini bahwa yang Dia berikan adalah yang terbaik untukmu…” Demikian bijak kata-katanya dalam memberi nasihat.
Duuuh indahnya…
Andai aku dikaruniai hati seperti hatinya, hati yang mengenal Allah SWT, hati yang mengerti tujuan hidup yang sesungguhnya.
Hati yang pandai…
Pandai menjalin hubungan dengan Allah
Penciptanya…
0 komentar:
Posting Komentar