بسم الله الرّحمن الرّحيم
Kami awali pembahasan ini dengan berdoa, "Semoga Allah Ta'ala memberikan taufiq kepadamu, wahai para pencari keselamatan dan ibadah."
Hendaknya yang pertama harus engkau miliki dalam tahapan perjalanan ini adalah ilmu, yang dilanjutkan dengan mengamalkannya melalui rangkaian ibadah. Sebab, itu merupakan pokok dan poros dari segala sesuatu.
Ilmu dan ibadah itu sangat pokok, karena dengan sebab keduanya terjadilah apa yang engkau baca dan engkau dengar, baik berupa tulisan, pengajaran oleh para Guru, nasihat-nasihat oleh para juru nasihat, maupun penelitian oleh para peneliti. Bahkan, lantaran keduanya pula, kitab-kitab suci telah diturunkan kepada para Rasul, dan diciptakan langit serta bumi berikut segala apa yang ada di antara keduanya.
Coba kita renungkan ayat Al-Qur'an berikut ini. Allah SWT berfirman:
اَللّٰهُ
الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ
الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوْآ
اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَاَنَّ اللّٰهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ
شَيْءٍ عِلْمًا
"Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku kepada keduanya, agar kalian mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan sesungguhnya ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu." (Qs. At-Talaq: 12)
Ayat ini cukup sebagai dalil atas kemuliaan ilmu, lebih-lebih tentang ilmu tauhid. Allah Ta'ala juga berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ
وَٱلْإِنسَ
إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku" (Qs. Adz-Dzaariyaat: 56)
Ayat ini merupakan dalil atas kemuliaan ibadah serta keharusan menghadapkan diri hanya kepada-Nya, sebagai tujuan hidup manusia di bumi ini.
Jadi, diagungkannya kedua perkara tersebut (ilmu dan ibadah) adalah karena keduanya merupakan tujuan diciptakannya dunia dan akhirat. Maka, seorang hamba sepatutnya tidak lagi menyibukkan diri kecuali dengan kedua hal tersebut, dan tidak bercapai-capai kecuali untuk kedua hal itu, serta tidak berkonsentrasi kecuali kepada keduanya. Dan ketahuilah, bahwa perkara-perkara selain keduanya adalah menipu dan tidak ada kebaikan di dalamnya; hanya senda gurau yang tak ada hasilnya.
Ilmu sendiri lebih utama kedudukannya dari ibadah. Sebagaiman pernah Nabi SAW bersabda:
إِنْ فَضْلَ
الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِىْ عَلَى أَدْنَى رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِيْ
"Sesungguhnya keutamaan seorang 'alim terhadap seorang ahli ibadah adalah seperti keutamaan diriku (Nabi) terhadap orang yang paling rendah kedudukannya dari ummatku."
Beliau juga pernah bersabda:
"Satu pandangan kepada seorang yang alim lebih aku sukai daripada beribadah satu tahun, termasuk berpuasa dan shalat malam di dalamnya."
Sabda beliau pula:
أَلاَ أَدُلَّكُكْ عَلَى أَشْرَفِ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ قَلُوْ بَلَى يَا
رَسُوْاَ الله. قَالَ، هُمْ عُلَمَآءُ أُمَّتِيْ.
"Maukah aku tunjukkan kepada kalian penghuni surga yang paling mulia? Mereka (para sahabat) menjawab, 'Ya, wahai Rasulullah.' Beliau bersabda, 'Mereka itu adalah para ulama dan umatku.'"
Dari hadits-hadits di atas diketahui bahwa ilmu itu pada intinya lebih mulia dari sekedar ibadah tanpa ilmu. Akan tetapi, di samping mempelajari dan mengetahui ilmu, seorang hamba harus pula melakukan ibadah. Bahkan ilmunya itu tidak akan ada artinya bila tidak diikuti dengan pelaksanaan ibadah. Sebab, ilmu itu bagaikan batang sebuah pohon, sedangkan ibadah bagai buahnya. Sebuah pohon tanpa buah tak bermanfaat. Kemuliaan itu memang milik pohonnya, karena ia yang menjadi asal dari buah. Akan tetapi, kita mendapat manfaat dari pohon itu dengan merasakan buahnya. Maka, seorang hamba haruslah memiliki keduanya, yaitu ilmu dan ibadah.
Imam Hasan Al-Bashri pernah mengatakan:
"Tuntutlah ilmu tanpa melalaikan ibadah. Dan taatlah beribadah tanpa lupat menuntut ilmu."
Jadi, jelaslah kini bahwa seorang hamba harus memiliki ilmu dan taat beribadah sekaligus. Namun, ilmu lebih uttama, karena ilmu itu merupakan asal dari sebuah perbuatan dan menjadi petunjuk bagi bagi sang ahli ibadah.
Rasulullah SAW bersabda:
أَلْعِاْمُ إِمَامُ الْعَمَلِ وَالْعَمَلُ تَابِعُهُ
"Ilmu itu pemimpin bagi amal, dan amal adalah pengikutnya"
Ada dua alasan mengapa ilmu harus engkau dahulukan daripada ibadah. Yang pertama ialah, agar ibadah itu dapat dipraktekkan secara benar. Untuk itu seorang ahli ibadah wajib memiliki pengetahuan yang cukup tentang Zat yang harus mereka sembah, baru kemudian menyembah-Nya. Apa jadinya bila engkau menyembah sesuatu yang tidak engkau ketahui nama dan sifat-sifat Zat-Nya? Juga apa-apa yang wajib bagi-Nya dan yang mustahil atas-Nya pada sifat-Nya itu? Ini sangat penting, sebab bisa saja seseorang mengitikadkan sesuatu yang tidak layak pada-Nya. Jika itu terjadi, maka ibadahmu menjadi sia-sia. Kami telah menjelaskan bahaya besar ini pada penjelasan tentang "Su'ul Khatimah" dalam kitab Al-Khauf, bagian dari kitab Ihya' Ulumuddin.
Seorang ahli ibadah harus menguasai pengetahuan tentang perintah-perintah dan larangan-larangan yang ditetapkan oleh syariat. Perintah-perintah itu wajib dipatuhi, dan larangan-larangan-Nya wajib dijauhi secara total. Jika tidak memiliki pengetahuan tentang itu, bagaimana engkau bisa melaksanakan ibadahmu? Maka wajiblah bagimu untuk memiliki ilmu tentang ibadah-ibadah yang disyariatkan, seperti bersuic, shalat, puasa, zakat dan lainnya, berikut hukum serta syarat-syaratnya, agar engkau dapat melaksanakan ibadah dengan benar. Sebab, mungkin saja engkau melakukan sesuatu dalam ibadahmu selama bertahun-tahun, yang merusak wudhumu dan akibatnya juga merusak shalatmu, atau mungkin melakukan wudhu dan shalat yang tidak sesuai dengan sunnah. Dan semua itu terjadi tanpa engkau sadari.
Selain ibadah-ibadah lahiriah di atas, wajib pula mengetahui ibadah-ibadah batin, yang terkait dengan apa saja yang dilakukan oleh hati manusia. Misalnya tentang tawakal, yaitu penyerahan semua urusan hanya kepada-Nya, tentang rela (ridha), sabar, tobat, ikhlas dan lainnya, yang akan di uraikan kemudian. Dan wajib pula engkau mengetahui larangan-larangan-Nya, yang merupakan musuh dari perkara ibadah hati tersebut, seperti memperturutkan amarah, panjang angan, bersikap riya' dan sombong. Ini agar engkau dapat menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan tersebut. Sebab, ibadah hati juga merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap hamba, dimana Allah telah memerintahkannya dengan tegas dalam banyak firman-Nya.
Allah SWT berfirman:
وَعَلَى اللّٰهِ فَتَوَكَّلُوٓا اِن كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
"Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang yang beriman." (Qs. Al-Maa-idah: 23)
وَاشْكُرُوْ الِلّٰهِ إِنْ كُنتُمْ
اِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
"Dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kalian menyembah"
(Qs. Al-Baqarah: 172)
وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِ اللّٰهِ
"Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah." (Qs. An-Nahl:127)
وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلاً
"Sebutlah nama Rabbmu dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan."
(Qs. Al-Muzzammil:8)
Perhatikanlah ayat-ayat tersebut, dimana Allah SWT begitu tegas memerintahkan para hamba-Nya untuk melaksanakan 'ibadah hati' dengan baik dan benar, sama tegasnya seperti saat Dia mengeluarkan perintah shalat dan puasa. Maka, bagaimana mungkin engkau hanya melaksanakan perintah shalat dan puasa, sedangkan kewajiban-kewajiban yang lain ditinggalkan? Padahal perintah itu sama-sama datang dari Rabb yang Esa, dan memiliki derajat kewajiban yang sama.
Bagaimana nasib seseorang yang tenggelam dalam kehidupan dunia, hingga tak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk? Sehingga yang ma'ruf dikatakan munkar, dan yang munkar menjadi ma'ruf? Siapa saja yang mengabaikan ilmu-ilmu yang disebutkan oleh Allah di dalam kitab-Nya sebagai nur (Cahaya), hikmah serta petunjuk, juga melalaikan pengamalannya, maka ia telah melakukan perbuatan yang diharamkan dan terancam binasa.
Wahai orang yang memerlukan bimbingan! Tidakkah ada rasa takut pada Allah di hatimu, yang mengabaikan banyak kewajiban pokok? Engkau justru menyibukkan diri dengan shalat-shalat sunnah, puasa sunnah, namun engkau tidak mendapatkan apa-apa darinya. Dan barang-kali pula engkau lebih memilih melakukan suatu ke-maksiatan yang pasti membuat seorang hamba masuk ke dalam neraka? Atau meninggalkan sesuatu yang mubah (boleh) seperti makanan, minuman atau tidur, demi mencari keridhaan Allah 'Azza wa Jalla, tapi engkau tidak mendapatkan apa-apa atasnya? Dan yang lebih berat dan berisiko adalah, engkau telah menjadi tawanan angan-anganmu. Padahal panjang angan itu amat sia-sia. Engkau menyangka perbuatan itu baik karena dilakukan dengan niat yang baik, padahal sungguh berbeda antara niat baik dengan kesia-siaan yang tidak engkau sadari itu.
Demikian pula ketika engkau mengadukan kesedihan, derita, ketakutan, ketidak sabaran dan ketidak senangan yang engkau alami kepada Allah Yang Maha Agung, dimana engkau mengira hal itu sebagai bagian dari usaha untuk merendahkan diri dan memohon belas kasihan kepada Allah 'Azza wa Jalla. Padahal engkau melakukannya dengan riya', dan itu terlarang. Engkau mungkin menyeru manusia pada kebaikan dan agar berbuat benar, tapi engkau tetap melakukan dosa dan yakin dosanya itu akan dihapuskan oleh Allah karena engkau telah menyeru orang-orang untuk berbuat baik. Sampai-sampai engkau mengira akan lebih mendapat pahala dibanding hukuman karena perbuatanmu itu. Ini adalah tipu muslihat setan, dan engkau telah salah memahami dan bersikap sembrono. Konsekwensi buruk itu harus diterima oleh orang-orang yang beramal tanpa didasari ilmu tentang amalnya.
Amalan-amalan lahiriah dan amalan batiniah saling terkait. Bila salah satu rusak akan berpengaruh pada lainnya. Misalnya, sifat riya', ujub (membanggakan diri), menyebut-nyebut kelebihan diri sendiri dan lainnya, adalah perbuatan batin yang bisa merusakan ibadah lahiriah, dan menjadikan ibadah itu tak ada nilainya di mata Allah. Sama halnya dengan sifat ikhlas, merupakan sifat batin yang sangat mempengaruhi ibadah lahir kita. Diterima atau tidaknya ibadah kita oleh Allah sangat bergantung pada ada atau tiadanya rasa ikhlas saat melaksanakan ibadah tersbeut.
Oleh karenanya, Rasulullah SAW pernah bersabda mengenai sifat ilmu:
إِنَّ نَوْمًا عَلَى عِلْمٍ خَيْرٌ مِّنْ صَلَاةٍ عَلَى جَهْلٍ
"Sesungguhnya tidur dalam keadaan berilmu itu lebih baik daripada shalat dalam kebodohan (tanpa ilmu)."
Sebab, orang yang beramal tanpa didasari dengan ilmu lebih banyak kecenderungan merusaknya daripada memperbaikinya.
Dan Rasulullah SAW juga bersabda mengenai pentingnya ilmu ini.
إِنَّهُ يُلْهَمُهُ السُّعَدَاءُ وَيُحْرَمُهُ الْأَشْقِيَاءُ
"Bahwa sesungguhnya ia (ilmu) diilhamkan kepada orang-orang yang berbahagia dan dihalangi dari orang-orang yang berbahagia dan dihalangi dari orang-orang yang menderita."
Makanya ialah, bahwa ilmu itu berada di sisi Allah Ta'ala. Dan bahwa seseorang yang mempelajari suatu ilmu, lalu rajin beribadah dan mengerjakan suatu amalan sesuai ilmu itu, tak mungkin hanya mendapatkan lelah atas amalan ibadah yang dilakukannya tersebut. Semoga Allah melindungi kita dari ilmu dan amal yang tidak bermanfaat.
Oleh karena itu, para ulama yang zuhud menaruh perhatian khusus dalam soal ilmu ini, dibanding manusia umumnya. Sebab, poros dari urusan peribadatan, sendi-sendi ibadah dan pengabdian kepada Allah Ta'ala, itu bertumpu kepada ilmu. Demikian pula dengan Ulil abshar (orang-orang yang memiliki ketajaman pandangan), orang-orang yang mendapatkan dukungan dan taufiq dari-Nya.
Apabila telah jelas bagimu uraian di atas, bahwa seorang hamba tak akan mampu mencapai ketaatan dan keselamatan kecuali dengan ilmu, maka sudah semestinya kita mendahulukan ilmu itu dalam hal beribadah.
Adapun perkara kedua yang menyebabkan ilmu lebih didahulukan ialah, karena ilmu yang bermanfaat itu membuahkan perasaan takut kepada Allah Ta'ala dan segan terhadap-Nya.
Allah SWT telah berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَـٰٓؤُا
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antar hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama."
(Qs. Faathir:28)
Dari ayat ini bisa dijelaskan bahwa orang yang tidak mengenal Allah secara benar, tidak akan segan, hormat, dan takut kepada-Nya. Maka dengan ilmu itu seorang hamba mengetahui dan mengenal-Nya, mengagungkan-Nya dan segan terhadap-Nya. Ilmu itu membuahkan ketaatan secara total dan membendung kemaksiatan seluruhnya, tentunya dengan taufiq dari Allah. Oleh karena itu, hendaknya engkau mencari ilmu tersebut. Dan semoga Allah Ta'ala memberimu bimbingan, wahai penempuh jalan menuju akhirat, sebelum segala sesuatu-nya menyibukkanmu. Dan Allah-lah yang memberikan taufiq, anugerah dan kasih sayang-Nya kepadamu.
Menuntut Ilmu Adalah Wajib
Rasulullah SAW telah bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
"Menuntut ilmu itu adalah fardhu (kewajiban) bagi setiap Muslim"
Lalu ilmu apakah yang difardhukan dan yang diharuskan menuntutnya itu? Juga apakah batasan yang 'tidak boleh tidak' bagi seorang hamba untuk memperolehnya dalam urusan ibadah?
Ketahuilah, bahwa ilmu-ilmu yang wajib dituntut itu ada tiga macam:
- Ilmu tauhid (keesaan Allah), seperti ilmu tentang pokok-pokok agama.
- Ilmu sirri (rahasia), ilmu tentang praktek syariah dan tasawuf yang berkaitan dengan hati dan penyakit-penyakit spiritual.
- Ilmu syariat, misalnya ilmu hukum islam (fiqih) dan pokok-pokoknya.
Batasan ilmu yang wajib dipelajari dalam ilmu tauhid adalah yang tergolong fardhu secara individual (fardhu 'ain), dimana dengannya engkau dapat mengetahui pokok-pokok agama (ushuluddin). Yaitu, bahwa engkau memiliki Rabb Yang Maha Kuasa, Maha Berkehendak, Maha Hidup, Maha Berbicara, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Esa, yang tidak ada sekutu bagi-Nya, yang memiliki sifat dengan sifat-sifat yang sempurna dan Maha Suci dari kekurangan serta kesirnaan. Juga dalam pengertian, bahwa Dia yang mengadakan segala sesuatu dan hanya Dia sendiri yang bersifta qidam (terdahulu), mendahului segala yang eksis kemudian (hawadits).
Dan, bahwasanya Nabi Muhammad SAW adalah hamba serta Rasul-Nya yang jujur. Apa yang disampaikannya dari Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Suci adalah benar seluruhnya, termasuk mengenai masalah akhirat. Kemudian, engkau juga wajib mengetahui soal-soal agama yang berasal dari Sunnah Nabi SAW dan hendaknya engkau jauhi mengadakan perkara bid'ah dalam agama Allah, serta apa-apa yang tidak terdapat dalam Kitabullah maupun atsar para sahabat Rasulullah. Ini supaya engkau tidak berada dalam bahaya besar.
Semua dalil tentang tauhid itu asalnya dari Kitabullah (Al-Qur'an). Hal iu telah disebutkan oleh guru-guru kami dalam kitab-kitab yang mereka tulis mengenai pokok-pokok agama. Intinya adalah, hukumnya fardhu untuk mengetahui ilmu pokok, yang bila kita tidak mengetahuinya maka akan menyebabkan kita binasa, salah, dan menyimpang dari jalan yang benar. Salah besar kalau kita sampai tidak mengetahui soal-soal penting tersbeut. Semoga Allah memberikan taufiq.
Adapun yang fardhu secara individual dari ilmu sirri ialah, mengetahui hal-hal yang diwajibkan dan hal-hal yang dilarang darinya. Sehingga engkau bisa mengagungkan Allah dan ikhlas kepada-Nya, yakni ikhlas dalam niat dan perbuatan. Dan semua itu akan disebutkan dalam kitab ini, Insya Allah.
Adapun yang fardhu secara individual dari ilmu hukum Islam (fiqih) ialah, bahwa setiap yang dinyatakan sebagai fardhu 'ain atas dirimu untuk melakukannya, maka wajib bagimu untuk mengetahuinya, hingga engkau dapat melaksanakannya. Misalnya, bersuci, shalat dan puasa. Adapun haji, zakat dan jihad, dimana apabila engkau telah terkena kewajibannya, maka wajib pula bagimu memiliki ilmu tentang itu, agar engkau dapat menunaikannya. Kalau belum, maka tidak diwajibkan bagimu untuk memahaminya.
Itulah batasan yang lazim terhadap seorang hamba untuk mendapatkan suatu ilmu. Suatu ilmu menjadi fardhu bagimu ketika engkau memang harus memilikinya. Jika engkau menanyakan: Apakah fardhu hukumnya bagiku untuk mempelajari cabang dari ilmu tauhid, yakni ilmu yang dapat aku gunakan untuk mematahkan argumentasi agama-agama kafir dan mengajak mereka menerima hujjah Islam serta hal-hal yang dapat mematahkan semua bid'ah dan memaksa mereka menerima hujjah Islam?
Maka ketahuilah, bahwa hal itu merupakan fardhu kifayah. Namun, yang wajib engkau pelajari adalah apa-apa yang dapat membenarkan akidahmu dalam bidang ushuluddin (pokok-pokok agama), tidak yang lain. Jadi, tidak wajib bagimu mengetahui cabang-cabang ilmu tauhid dan detail-detailnya, serta mendalami semua masalah yang ada padanya.
Jika pemahamanmu di bidang ushuluddin masih samar, dan engkau khawatir itu akan merusak keyakinanmu, maka diwajibkan bagimu mengatasi kekaburan itu sedapat mungkin, tentunya dengan argumentasi yang memuaskan. Dalam hal ini, hendaknya engkau menjauhi saling unjuk kebolehan serta perdebatan. Sebab, itu adalah penyakit yang tidak ada obatnya. Hematlah tenagamu dari melakukan itu. Sebab, para pelakunya tidak akan beruntung, kecuali mereka yang diliputi oleh Allah dengan rahmat dan kelembutan-Nya.
Kemudian ketahuilah, bahwa apabila di suatu daerah sudah ada seorang juru dakwah dari kalangan Ahlus Sunnah yang mampu memecahkan masalah kekaburan pemahaman dan mampu membantah para ahli bid'ah, serta membersihkan hati ahli kebenaran dari bisikan-bisikan para ahli bid'ah, maka kewajiban bagi yang lain untuk mempelajarinya menjadi gugur.
Demikian pula, engkau tidak diharuskan mengetahui detil-detil ilmu sirri itu dan seluruh penjelasan mengenai keajaiban-keajaiban hati. Kecuali yang dapat merusak ibadahmu, maka itu wajib engkau ketahui, agar engkau dapat menghindarkan diri darinya. Juga apa saja yang biasa engkau lakukan dan alami sehari-hari, seperti ikhlas, memuji, bersyukur, tawakal dan yang sepertinya. Itu harus engkau ketahui, agar engkau dapat melaksanakannya dengan benar. Adapun selainnya tidaklah wajib.
Demikian pula, engkau tidak diharuskan mengetahui semua bab fiqih seperti tentang jual-beli, sewa-menyewa, pernikahan, talak dan jinayat. Semua itu adalah fardhu kifayah.
Jika engkau bertanya; apakah batasan ilmu tersebut dapat diperoleh melalui penalaran yang dilakukan oleh seseorang tanpa guru?
Ketahuilah, Allah Ta'ala sangat terbuka dalam memberi kemudahan, dan mendapatkan ilmu dari-Nya adalah lebih mudah serta lebih nyaman. Dan Allah Ta'ala dengan anugerahnya memberikan kelebihan kepada siapa saja hamba-Nya yang Dia kehendaki. Maka, Dia menjadi 'guru' bagi mereka.
Kemudian ketahuilah, bahwa tahapan perjalanan ini, yakni ilmu, merupakan perjalanan yang cukup sulit untuk ditempuh. Akan tetapi, dengan ilmu itu kita bisa mencapai apa yang kita cari dan kita tuju. Manfaatnya sangat banyak, meski juga banyak perampok yang sangat garang terus mengintai di jalan ini. Bahaya yang mengitarinya cukup besar, hingga banyak orang yang berbelok dari jalan itu kemudian tersesat, dan yang menempuhnya lalu tergelincir. Juga banyak orang yang mengembara di jalan ini lalu kebingungan, dan tak sedikit para ahli yang lalu patah arang. Namun, banyak pula para penempuh jalan yang dapat melampauinya dalam waktu singkat, sedang lainnya hanya bolak-balik berjalan selama tujuh puluh tahun. Semua perkara itu berada di tangan Allah 'Azza wa Jalla.
Seperti telah kami sebutkan di muka, ilmu itu besar sekali manfaatnya. Setiap hamba pasti sangat membutuhkannya. Ini karena semua urusan ibadah ditegakkan di atas ilmu, apalagi ilmu tauhid dan ilmu sirri. Telah diriwayatkan, bahwa Allah Ta'ala mewayuhkan kepada Nabi Daud as. dalam sebuah firmany-Nya:
"Hai Daud, pelajarilah ilmu yang bermanfaat"
Nabi Daud menjawab:
"Ya Tuhanku, apakah ilmu yang bermanfaat itu?"
Allah berfirman:
"Ialah engkau mengetahui tentang kemuliaan dan keagungan-Ku, juga tentang kebesaran serta kesempurnaan kekuasaan-Ku atas segala sesuatu. Sebab, itulah yang mendekatkanmu kepada-Ku"
Dan dari Ali Karramallahu Wajhahu, bahwa ia pernah mengatakan:
"Aku tidak merasa senang jika aku meninggal saat masih bayi, lalu aku dimasukkan ke dalam surga hingga aku tidak sempat besar dan mengetahui akan Tuhanku. Sebab, manusia yang paling mengetahui tentang Allah itu adalah yang paling takut dan paling banyak ibadahnya, juga paling baik nasihatnya mengenai Allah"
Untuk menghadapi berbagai kesulitan dalam menuntut ilmu, maka ringankan hatimu agar engkau mudah dan ikhlas melakukannya. Dan hendaknya engkau mempelajari ilmu secara mendalam, bukan sekedar mempelajari riwayat-riwayat. Juga ketahuilah, bahwa sangat besar bahaya dalam menuntut ilmu, bila bertujuan untuk menarik perhatian manusia kepadanya, atau menjadikan ilmu itu sebagai alat agar bisa duduk bersama para penguasa, membanggakan diri terhadap orang-orang yang mendebatnya, dan menjadikannya sebagai alat untuk memburu dunia. Apabila demikian kondisinya, maka perniagaannya tiada beruntung, dan transaksinya cenderung merugi.
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُفَاخِرَ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ
السُّفَهَاءَ أَوْلِيَصْرِفَ بِهِ وُجُوْهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللّٰهُ
النَّارَ.
"Siapa saja yang menuntut ilmu untuk tujuan berbangga-banggaan dengan para orang-orang pandai atau untuk memamerkannya pada orang-orang yang bodoh, atau untuk memalingkan wajah-wajah manusia kepadanya, maka ia akan dimasukkan ke dalam neraka."
Dan berkata Abu Yazid Al-Busthami:
"Aku telah melakukan mujahadah selama tiga puluh tahun, dan aku tidak mendapati sesuatu yang lebih sulit aku hadapi selain dari ilmu dan bahaya yang mengitarinya. Maka jauhkan pandanganmu dari dijadikan indah oleh setan! Dimana setan itu akan mengatakan kepadamu, 'jika bahaya yang sebesar ini terjadi pada ilmu, maka meninggalkannya tentu lebih utama.' Janganlah engkau berpikir demikan."
Dan telah diriwayatkan dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda:
اَطَّلَعْتُ لَيْلَةَ الْمِعْرَاجَ عَلَى النَّارِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ
أَهْلِهَا الْفُقَرَاءَ، قَالُوْا يَارَسُوْلَ اللّٰهِ مِنَ الْمَالِ؟ قَالَ، لَابَلْ
مِنَ الْعِلْمِ.
"Aku mengarahkan pandangan pada malam Mi'rajku ke arah neraka, lalu aku melihat kebanyakan penghuninya adalah orang-orang fakir. Para sahabat bertanya, 'wahai Rasulullah, apakah mereka fakir kena harta?' Beliau menjawab, 'bukan, tapi mereka fakir dari ilmu.'"
Siapa saja yang tidak mempelajari ilmu, maka ia tidak akan dapat melakukan ibadah dengan benar, dan tidak bisa melaksanakan hak-hak hidupnya sebagaimana mestinya. Sekiranya seseorang menyembah Allah Ta'ala seperti ibadahnya para malaikat langit tanpa disertai dengan ilmu, maka tentulah ia termasuk orang-orang yang merugi. Maka teguhkan dirimu dalam menuntut ilmu dengan cara mengkaji, menyampaikan dan mengajarkannya. Dan usirlah kemalasan serta rasa bosan yang menerpa. Jika tidak, maka engkau berada dalam bahaya kesesatan, dan semoga Allah 'Azza wa Jalla melindungi kita semua darinya.
Kemudian, sebagai kesimpulan ialah, apabila engkau melihat tanda-tanda pada makhluk ciptaan Allah, dan engkau tajamkan pandanganmu ke arahnya, niscaya engkau akan mengetahui bahwa engkau dan kita semua memiliki Rabb Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Hidup, Maha Berkehendak, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Berbicara, Maha Suci dari segala cacat dan kekurangan, serta dari segala yang menunjukkan kebaruan. Dia juga terbebas dari sifat-sifat makhluk, tidak serupa dengan sesuatu pun dari makhluk-Nya dan tak ada makhluk-Nya yang serupa dengan-Nya. Dia juga bebas dari ruang dan waktu, serta mustahil mengalami bahaya dan celaka.
Kemudian engkau lihat mukjizat-mukjizat Rasulullah SAW, bukti dan tanda ke-Nabiannya, hingga menjadi pahamlah engkau bahwa beliau adalah utusan Allah dan orang kepercayaan-Nya untuk mengemban wahyu-Nya. Demikianlah keyakinan para salafus saleh. Mereka juga percaya sepenuhnya bahwa Allah Ta'ala akan bisa dilihat di akhirat kelak, dan bahwa Dia itu ada. Dan bahwa Al-Qur'an merupakan firman Allah, bukan makhluk, bukan pula kitab sastra atau nyanyian. Sebab, jika Al-Qur'an itu memiliki sifat seperti itu (sastra dan nyanyian), maka ia akan tergolong jenis makhluk.
Semua kejadian dalam alam semesta ini terjadi karena perintah, kemauan dan kekuasaan Allah (qadha' dan qadar Allah). Apa yang baik dan yang buruk, yang bermanfaat dan yang tidak, keimanan dan kekufuran, semuanya bergantung pada keinginan dan kehendak Allah. Maka, siapa saja yang diberi pahala oleh-Nya, itu karena anugerah-Nya, dan siapa yang ia siksa, maka itu semata-mata karena keadilan-Nya.
Apa saja yang disampaikan melalui lisan pengemban syariat Rasulullah SAW, berupa perkara-peraka akhirat, seperti pengumpulan di padang Masyhar serta kebangkitan kembali, tentang siksa kubur, pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir, tentang timbangan amal, itu semua adalah pokok akidah yang termasuk dalam keyakinan para salafus saleh. Mereka telah memegang teguh keyakinan itu, serta telah menjadi jima' sebelum timbulnya beraneka macam bid'ah dan menonjolnya hawa nafsu. Semoga Allah Ta'ala melindungi kita semua dari mengadakan bid'ah dalam agama dan mengikuti hawa nafsu tanpa dalil.
Setelah mempelajari keyakinan dari prinsip-prinsip ajaran di atas, seorang hamba juga wajib menuntut ilmu tentang hati, seperti sifat ikhlas, riya' dan 'ujub.
Engkau harus memahami pula secara benar pengetahuan tentang ibadah lahiriah, seperti bersuci (thaharah), puasa, shalat dan lainnya. Dengan demikian, engkau telah melaksanakan apa yang di fardhukan oleh Allah terhadapmu. Jika engkau mampu menguasai ilmu-ilmu di atas secara luas, menyempurnakan ilmu tentang kewajiban-kewajiban pokok yang dibebankan kepada setiap individu, serta menyadari semua masalah dan perintah syariat, maka berarti engkau telah menjadi seorang hamba yang alim. Dengan syarat, engkau mesti mengamalkan semua ilmu yang telah engkau pelajari dan senantiasa mencemaskan nasib diri di akhirat kelak. Amalannya itu juga karena Allah semata, dan atas dasar pencerahan, bukan kebodohan; tidak pula sebagai orang yang bertaklid maupun lalai.
Engkau akan mendapatkan kemuliaan yang besar dan ilmumu memiliki nilai yang tinggi serta pahala yang sangat banyak. Dengan itu, engkau telah berhasil menempuh tahap perjalanan ini dengan gemilang, dan meninggalkan yang lain di belakangmu.
Hanya kepada Allah Ta'ala dilayangkan segala bentuk permohonan, semoga Dia memberi taufiq kepada engkau dan kita semua serta tuntunan yang kita butuhkan. Sesungguhnya Dia Maha Pengasih dari seluruh pengasih. Tidak ada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung.