Kamis, 18 Mei 2023 0 komentar

Tasauf Falsafi Al-Hallaj (Biografi, Karya, Tasauf, dan Pemikiran)

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Latar Belakang

Pada abad ke 9 Masehi, berkembang kehidupan kerohanian Islam dengan jalan melakukan Zuhud (mengabaikan dunia) untuk mencapai kesempurnaan ma’rifat dan tauhid kepada Allah.

Gagasan-gagasan para ahli sufi dan syiah pada abad tersebut telah ditemukan, baik yang berupa berupa syair ataupun pemikiran yang menunjukkan keanekaragaman kemungkinan dalam kehidupan mistik, seperti halnya Al Ghazali, Dzun Nun (859 M), Bayezid Bistami (874 M), dan Al Harith al Muhasibi (857 M) dan Husein Ibn Mansur Al hallaj (858 M).

Pemikiran dan peranan para tokoh inilah yang perlu kita ketahui sebagai wacana keilmuan dan sejarah, sekaligus menganalisa konflik pemikiran yang tidak pernah habis dibahaskan, kerana pihak-pihak yang berbeda pendapat tidak pernah saling bertemu untuk memberikan klarifikasi dalam satu majlis, kecuali hanya saling mengecam dan mengkafirkan dengan musabab bibit konflik politik kekuasaan yang serakah dan licik sejak dahulu.

Menarik untuk dikaji kembali penyataan yang popular yang di lontarkan oleh Husein Ibnu Al Hallaj "Ana al-Haq" dan juga tak kalah populernya yaitu paham hulul.

Peristiwa ini merubah pandangan masyarakat umum terhadap kaum Sufi atau para Zahid yang menjalankan praktis kerohaniannya dengan melakukan dzikir secara rutin, shalat malam dan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat.

Sehingga pada ujungnya berpengaruh terhadap perkembangan ilmu tafsir yang menjadi nadi.

A. Biografi Al-Hallaj

Memiliki nama lengkap Abu al-Mughits al-Husein bin Mansur bin Muhammad al-Baidawi . Beliau dilahirkan pada tahun 244 H (858 M) di Thur bagian distrik Baida Persia, tempat orang-orang Iran selatan yang telah terArabisasi yang merupakan sub camp dari jund Basrah, dan kemudian menjadi pusat militer (dengan sebuah pabrik pembuat koin uang untuk pasukan yang keluar dari Shiraz ke Khurasan untuk memerangi Turki), sekarang berada di wilayah Barat Daya Iran.

Beliau dibesarkan di Wasit dan Tustar yang dikenal sebagai tempat perkebunan kapas dan tempat tinggal para penyortir kapas

. Ayahnya adalah seorang penyortir wool (hallaj), oleh karena itu beliau diberi gelar al-Hallaj . Bersama ayahnya, al-Hallaj berimigrasi ke sebuah pusat tekstil di Ahwaz dan Tustar.

Kakeknya, Muhammad adalah seorang penyembah api, pemeluk agama Majusi sebelum ia masuk Islam. Ada yang mengatakan bahwa al Hallaj berasal dari keturunan Abu Ayyub, sahabat Rasulullah.

Sejak kecil al-Hallaj sudah banyak bergaul dengan orang-orang sufi terkenal. Pada saat ia berumur 16 tahun, ia menetap di Tustar dan berguru pada Sahl ibn Abdullah at-Tustury (wafat 896 M/ 282 H), seorang sufi terkenal yang pernah belajar pada Sufyan at-Tsaury (Wafat 778 M/ 161 H) . Dua tahun kemudian ia meninggalkan gurunya at-Tustury dan pindah ke Bashrah untuk belajar kepada Sufi ‘Amr al-Makki. Kemudian dia masuk ke kota Baghdad dan belajar kepada al-Junaid al-Baghdadi. Al-Hallaj pernah hidup dalam pertapaan dari tahun 873-879 M bersama-sama dengan guru sufi al-Tustury, ‘Amr al-Makki, dan Junaid al-Baghdadi.

Setelah itu al-Hallaj pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain, menambah pengetahuan dalam ilmu tasawuf, sehingga tidak ada seorang syekh ternama yang tidak pernah dimintainya nasehat. Al-Hallaj telah menunaikan ibadah haji tiga kali selama hidupnya.

Dalam perjalanan dan pengembaraan serta pertemuannya dengan ahli- ahli sufi itulah yang membentuk pribadi dan pandangan hidup al-Hallaj sehingga dalam usia 53 tahun ia telah menjadi pembicara ulama pada waktu itu karena paham tasawufnya yang berbeda dengan yang lain.

Sampai-sampai seorang ulama fiqh terkemuka yang bernama Ibn Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa paham dan ajaran al-Hallaj sesat. Atas dasar fatwa ini Al Hallaj dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun dalam penjara, dia dapat melarikan diri dengan pertolongan dari seorang penjaga yang menaruh simpati padanya.

Dari Baghdad ia melarikan diri ke Sus di wilayah Ahwas. Disana ia bersembunyi selama empat tahun. Namun pada tahun 301H/903M ia ditangkap kembali dan dimasukkan lagi ke dalam penjara sampai delapan tahun lamanya. Akhirnya pada tahun 309/921M diadakanlah persidangaan ulama di bawah kerajaan Bani Abbas di masa khalifah al-Muktadirbillah.

Pada tanggal 18 Dzulkaidah 309H jatuhlah hukuman kepadanya. Dia dihukum mati dengan mula-mula dipukul dan dicambuk dengan cemeti, lalu disalib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, dipenggal lehernya dan ditinggalakan tergantung pecahan-pecahan tubuhnya itu di pintu gerbang kota Baghdad. Kemudian dibakar tubuhnya dan abunya dihanyutkan di sungai Dajlah.

Dalam riwayat lain diceritakan secara lebih mendetail mengenai jalannya eksekusi “ekstra tragis” yang diterima al-Hallaj. Al-Hallaj tengah dipecut (disebat) seribu kali tanpa mengaduh kesakitan. Sesudah dipecut, kepalanya dipenggal, tapi sebelum dipancung dia sempat shalat 2 rakaat. Kemudian kaki dan tangannya dipotong. Badannya digulung ke dalam tikar bambu, direndamkan ke naftah dan kemudian dibakar. Abu mayatnya dihanyutkan ke sungai sedangkan kepalnya di bawa ke Khurasan untuk dipersaksikan oleh umat Islam dan sejarahnya.

Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa ketika proses hukuman mati al-Hallaj, algojo-algojo menaikkan al-Hallaj ke atas menara yang tinggi, kemudian dikerumuni orang banyak yang datang dari berbagai penjuru yang diperintahkan untuk melempari batu kepadanya.

Ketika itu dia selalu mengulang-ulang kalimat yang menyebabkan ia dijebloskan ke dalam penjara dan hukuman mati, yaitu Ana Al Haqq (aku adalah Yang Maha benar). Dan ketika disuruh untuk membaca syahadat, dia berteriak seraya berseru kepada Allah: “Sesungguhnya wujud Allah itu telah jelas, tidak membutuhkan penguat semacam syahadat”.

Ketika dipukul oleh para algojo, al-Hallaj tersenyum. Setelah selesai memukulnya, mereka memotong tangan dan kakinya, diapun menerimanya dengan tersenyum, bahkan dia sempat mengoleskan darah potongan tangannya ke mukanya seakan-akan dia berwudhu dengan darah sucinya itu. Setelah itu para algojo memotong lidah dan mencukil matanya. Pada saat itu dia berisyarat, seakan-akan memintakan ampun bagi para algojo kepada Allah “Mereka semua adalah hambaMu, mereka berkumpul untuk membunuhku karena fanatik terhadap agamaMu dan untuk mendekatkan diri kepadaMu. Maka ampunilah mereka. Andaikata Kau singkapkan kepada mereka apa yang Kau singkapkan kepadaku, tentu mereka tidak akan melakukan apa yang mereka lakukan sekarang ini.


Al-Hallaj adalah seorang ‘alim dalam ilmu agama Islam. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Suraij, ia adalah seorang yang hafal al-Quran beserta pemahamannya, menguasai ilmu fiqh dan hadist serta tidak diragukan lagi keahliannya dalam ilmu tasawuf. Beliau merupakan seorang zahid yang terkenal pada masanya, dan masih banyak lagi sifat kesalehannya.

B. Karya –  Karya Al-Hallaj

Ibnu nadim seorang ahli riwayat ternama, yang banyak sekali membicarakan al-Hallaj dan menentang pendiriannya, mencatat bahwa karya-karya al-Hallaj tidak kurang dari 47 buah banyaknya. Diantaranya adalah: 
  1. Al Ahruful muhaddasah, wal azaliyah, wal asmaul kulliyah.
  2. Kitab Al Ushul wal Furu’.
  3. Kitab Sirrul ‘Alam wal mab’uts.
  4. Kitab Al ‘Adlu wat Tauhid.
  5. Kitab ‘Ilmul Baqa dan Fana.
  6. Kitab Madhun Nabi wal Masaul A’laa.
  7. Kitab “Hua, Hua”.
8. Kitab At Thawwasin.

Kedelapan kitab ini adalah yang terpenting di antara 47 kitab itu. Menurut at-Taftazani, kitab At-Thawasin merupakan kitab al-Hallaj yang paling lengkap dalam menggambarkan paham tasawufnya. Susunan bahasanya sangat sulit dipahami, sehingga mungkin banyak pembaca tidak mengerti apa yang dimaksudkan penulisnya. Disamping itu, kitab tersebut berisi rumus-rumus dan istilah-istilah yang tidak gampang dimengerti.

C. Filsafat Al-Hallaj

Inti ajaran al-Hallaj telah dinyatakan dalam bentuk syair (Tawasin) dan juga kadang dalam prosa (Natsar), dalam susunan kata-kata yang mendalam di sekililing tiga hal, yaitu :
  1. Hulul ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insan (nasut).
    Secara etimologi Hulul memiliki sinonim dengan infusion yang bermakna “penyerapan” yakni menyerap keseluruh obyek yang dapat menerimanya (the infusion spreads to all part of the receptive object). Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana’.

    Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagaimana dikutip Harun Nasution, hulul adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Paham hulul dapat dikatakan sebagai lanjutan atau bentuk lain dari faham al-ittihad yang dipopulerkan oleh Abu Yazid al-Bustami (874 M/ 261 H).

    Tetapi dua konsep ajaran ini berbeda. Dalam ajaran al-ittihad, diri manusia lebur dan yang ada hanya diri Alloh Subhanahu Wa Ta'ala. Sedangkan dalam konsep hulul, diri manusia tidak hancur.

    Dalam konsep al-ittihad yang dilihat satu wujud, sedangkan dalam konsep ajaran hulul disana ada dua wujud tetapi bersatu dalam satu tubuh . Sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia hanya melihat diri-Nya sendiri.

    Dalam kesendirian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, yaitu dialog yang di dalamnya tidak terdapat kata ataupun huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian zat-Nya.

    Allah melihat kepada dzat-Nya dan Ia pun cinta pada zat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini.

    Ia pun mengeluarkan dari yang tiada bentuk copy dari diri-Nya yang mempunyai sifat dan nama-Nya. Bentuk copy ini adalah Adam. Setelah menjadikan Adam dengan cara itu, Ia memuliakan dan mengagungkan Adam. Ia cinta pada Adam, dan pada diri Adam Allah muncul dalam bentuk-Nya. Teori ini nampak dalam syairnya:


    Maha suci dzat yang sifat kemanusiaannya membuka rahasia
    Ketuhanan-Nya yang gemilang Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata
    Dalam bentuk manusia yang makan dan minum

    Melalui syair diatas, tampaknya al-Hallaj memperlihatkan bahwa Allah memiliki dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Demikian pula pada diri manusia juga terdapat dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut).

    Dengan demikian maka manusia mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya. Yang demikian ini merupakan bentuk pemahaman al-Hallaj dalam menafsirkan Q.S. Al-Baqarah ayat 34 yang berbunyi : dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah[36] kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir.

    [36] Sujud di sini berarti menghormati dan memuliakan Adam, bukanlah berarti sujud memperhambakan diri, karena sujud memperhambakan diri itu hanyalah semata-mata kepada Allah.

    Allah memberi perintah kepada malaikat agar bersujud kepada Adam.

    Karena yang berhak untuk diberi sujud hanya Allah, maka al-Hallaj memahami bahwa dalam diri Adam (manusia) sebenarnya terdapat unsur ketuhanan. Disisi lain, hal ini (sujud) dikarenakan pada diri Adam, Allah menjelma sebagaimana Dia menjelma dalam diri Isa as. Kalau sifat-sifat kemanusian itu telah hilang dan yang tinggal hanya sifat-sifat ketuhanan dalam dirinya, disitu baru Tuhan dapat mengambil tempat dalam dirinya. dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia, sebagaimana diungkapkannya dalam syair berikut :

    Telah bercampur rohMu dalam rohku
    Laksana bercampurnya khamar dengan air yang jernih
    Bila menyentuh akan-Mu sesuatu, tersentuhlah Aku Sebab itu,
    Engkau adalah Aku, dalam segala hal
    Aku adalah ia yang kucintai dan ia yang ku cintai adalah aku
    Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh
    Jika engkau lihat aku, engkau lihat ia
    Dan jika engkau lihat ia, engkau lihat kami.

    Berdasarkan syair diatas, dapat diketahui bahwa persatuan antara Tuhan dengan manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk hulul. Yakni dengan terlebih dahulu menghilangkan sifat kemanusiaannya (nasut). Setelah sifat-sifat kemanusiaannya hilang dan hanya tinggal sifat ketuhanan (lahut) yang ada pada dirinya, disitulah Tuhan mengambil tempat dalam dirinya, dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia.

    Menurut al-Hallaj, pada hulul terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak ilahi, sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan, demikian juga tindakannya.

    Namun disisi lain al-Hallaj mengatakan:

    Keinsananku tenggelam kedalam ketuhanan-Mu, tetapi tidaklah mungkin percampuran. Sebab ketuhanan-Mu itu senantiasa menguasai akan keinsananku. Barangsiapa yang menyangka bahwa ketuhanan bercampur keinsanan jadi satu, atau keinsanan masuk kedalam ketuhanan, maka kafirlah dia. Sebab Tuhan itu bersendiri dalam zat-Nya dan sifat-Nya daripada makhluk dan sifat-Nya pula. Tidaklah Tuhan serupa dengan manusia dalam rupa bentuk yang mana jua pun”.

    Dengan demikian, al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui bahwa dirinya adalah Tuhan dan juga tidak sama dengan Tuhan. Seperti yang terlihat dalam syairnya:

    Aku adalah yang Maha Benar
    Dan bukanlah yang Maha benar itu aku Aku hanya satu dari yang Maha Benar Maka bedakanlah aku dari yang Maha Benar

    Dari penjelasan-penjelasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa hulul yang terjadi pada al-Hallaj tidaklah nyata karena membari pengertian secara jelas bahwa adanya perbedaan antara hamba dengan Tuhan.

    Dengan demikian, hulul yang terjadi hanya sekedar kesadaran psikis yang berlangsung pada kondisi fana’, atau sekedar terlebarnya nasut kedalam lahut, dan diantara keduanya tetap ada perbedaan.

    Untuk lebih memahami doktrin hulul ini, lebih jelasnya dapat merujuk kepada rangkaian penjelasan al-Hallaj berikut ini :

    Siapa yang membiasakan dirinya dalam ketaatan, sabar atas kenikmatan dan keinginan, maka ia akan naik ketingkat muqarrabin. Kemudian ia senantiasa suci dan meningkat terus hingga terbebas dari sifat-sifat kemanusiaan ini. Apabila sifat-sifat kemanusiaan dalam dirinya lenyap, maka roh Tuhan akan mengambil tempat dalam tubuhnya sebagaimana ia mengambil tempat pada diri Isa bin Maryam. Dan ketika itu seorang sufi tidak lagi punya kehendak kecuali apa yang dikehendak oleh ruh Tuhan sehingga seluruh perbuatannya merupakan perbuatan Tuhan . Air tidak dapat menjadi anggur meskipun keduanya telah bercampur aduk ”.

  2. Al-Haqiqah al-Muhammadiyah (Nur Muhammad)
    Menurut al Hallaj Nur Muhammad merupakan asal atau sumber dari segala sesuatu , segala kejadian, amal perbuatan dan ilmu pengetahuan . Dan dengan perantaraan Nur Muhammad itulah alam ini dijadikan. Nur Muhammad bisa diartika juga sebagai pusat kesatuan alam dan pusat kesatuan nubuwwat segala Nabi. Dan nabi-nabi itu, nubuwwat-nya ataupun dirinya hanyalah sebagian dari Nur Muhammad itu. Segala macam ilmu, hikmat dan nubuwwat adalah pancaran dari Nur Muhammad.

    Menurut Al Hallaj, kejadian Nabi Muhammad terbentuk dari dua rupa. Pertama, rupanya yang qadim dan azali, yaitu dia telah terjadi sebelum terjadinya segala yang ada ini. Kedua, ialah rupanya sebagai manusia, sebagai seorang Rasul dan Nabi yang diutus Tuhan. Rupanya sebagai manusia akan mengalami maut, tetapi rupanya yang qadim akan tetap ada meliputi alam.

    Paham tentang Nur Muhammad ini berdasar pada hadis yang sangat populer di kalangan ahli sufi, yaitu :
    “Aku berasal dari cahaya Tuhan dan seluruh dunia berasal dari cahayaku”.

    Dan paham ini kemudian dikembangkan dan disebarluaskan oleh Muhyiddin Ibnu Arabi (w638H) dan Abd.al Karim bin Ibrahim al Jili (w.811H) dalam kerangka ide Insan Kamil. Dalam teori kejadian alam dari Nur Muhammad ini nampak adanya pengaruh ajaran filsafat. Kalau dalam filsafat Islam, teori terjadinya alam semesta diperkenalkan oleh al Farabi dengan mentransfer teori emanasi Neo Platonisme Plotinus, maka dalam tasawuf teori ini mula-mula diperkenalkan oleh al Hallaj dengan konsep barunya yang disebut Nur Muhammad atau Haqiqah Muhammadiyah sebagai sumber dari segala yang maujud.

  3. Wahdah al adyan (Kesatuan agama-agama)
    Inti ajaran dari Wahdah al adyan adalah sebenranya nama agama yang berbagai macam, seperti Islam, Nasrani, Yahudi dan yang lain-lain hanyalah perbedaan nama dari hakikat yang satu saja. Nama berbeda, satu tujuan. Segala agama adalah agama Allah maksudnya ialah menuju Allah.

    Orang memilih suatu agama, atau lahir dalam satu agama, bukanlah atas kehendaknya, tetapi dikehendaki untuknya. Cara ibadah bisa berbeda warnanya, namun isinya hanya satu. Paham Wahdah al-Adyan ini muncul sebagai konsekuensi logis dari pahamnya tentang Nur Muhammad. Yakni pahamnya al-Hallaj tentang qadimnya Nur Muhammad telah mendorongnya untuk berkesimpulan tentang kesatuan agama. Mengenai hal ini, ‘Abdullah bin Tahir al-Azdi mengatakan, sebagaimana dicatatkan oleh al-Taftazani sebagai berikut:

    Suatu hari aku bertengkar dengan orang yahudi di pasar baghdad. Diapun ku maki: hai anjing. Ketika itu al-Hallaj lewat dan memandangku dengan geram. Dan tegurnya: jangan kau maki anjingmu. Dan diapun langsung pergi. Setelah pertengkaran itu, aku mencari al-Hallaj. Namun ketika ku temui, dia memalingkan wajahnya. Akupun meminta maaf kepadanya. Lalu dia berkata: wahai sahabatku, semua agama adalah milik Alloh. Setiap golongan menganut suatu agama tanpa adanya pilihan, bahkan dipilihkan bagi mereka. Kerena itu, barangsiapa menyalahkan apa yang dianut golongan itu sama saja halnya dia telah menghukumi golongan tersebut menganut agama atas upayanya sendiri. Ketahuilah ! agama-agama yahudi, islam dan yang lain-lainya adalah sebutan serta nama yang beraneka ragam dan berbeda. Akan tetapi tujuan tujuan semuanya tidak berbeda” .

    Tidak ada faedahnya seseorang mencela orang yang berlainan agama dengan dia, karena itu adalah takdir (ketentuan) Tuhan buat orang itu. Tidak ada perlunya berselisih dan bertingkah. Tetapi lebih baik perdalamlah agama masing-masing.

  4. Pendapat Ulama Mengenai Pemikiran Al Hallaj
    Berbagai macamlah perkataan ulama tentang al-Hallaj. Sebagian mengkafirkan dan sebagian yang lain membela atau membenarkan. Beberapa perkataan, terutama dari pihak masa kekuasaan pada masa itu tersiar bahwa ajaran al-Hallaj sangat merusak ketentraman umum. Murid-muridnya sampai ada yang menyangka bahwa al-Hallaj adalah Tuhan, sebagaimana prasangkaan orang nasrani terhadap diri isa al-masih. Dia dianggap pandai menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang sakit kusta. Muridnya kian lama kian banyak. Dan setelah diselidiki oleh penyelidik kerajaan, katanya dia mengadakan hubungan yang rapat dengan kaum karamithah, yaitu segolongan umat di abad ketiga dan keempat yang menyerupai faham komunis di indonesia. Sebab itu dia tidak mau mengakui kekuasaan pemerintahan yang sah. Dia mengakui sebagian kepercayaan kaum ismailiyyah bahwa imam yang sejati ialah imam yang ghaib.

    Dan lagi menurut berita yang tersiar itu pula beliau menfatwakan bahwasannya naik haji yang lahir pergi ke mekkah itu tidaklah perlu dikerjakan. Sebab itu hanya memayah-mayahkan diri saja. Itu boleh diganti dengan haji yang lain, yaitu dengan haji rohani, dengan membersihkan diri dan jiwa dan tafakur mengingat Tuhan dalam khalwat, sehingga ka’bah itu sendirilah yang datang kedalam khalwatnya menemuinya. Disanapun dia boleh berthawaf. Memang, banyak di antara ulama yang tidak bisa menerima ajaran tasawuf yang diajarkan oleh Al Hallaj ini, tetapi tidak sedikit pula para ulama yang sependapat dan membelanya.

    Kebanyakan Ulama fiqih mengkafirkannya. Dengan alasan bahwasanya mengatakan bahwa diri manusia bersatu dengan Tuhan adalah syirik yang amat besar. Oleh karena itu Ibn at Taymiyah, Ibn al Qayyim, Ibn an Nadim dan lain-lain berpendapat bahwa hukuman mati yang ditimpakan kepada Al Halaj memang patut diterimanya.

    Tetapi ulama-ulama fiqih yang lain seperti Ibnu Syuraih seorang ulama yang sangat terkemuka dari mazhab Malik, memberikan komentar: "Ilmuku tidak mendalam tentang dirinya, karena itu saya tidak bisa berkata apa-apa". Pembela-pembela Al Hallaj menjernihkan ajarannya dari apa yang dituduhkan orang kepadanya.

    Syaikh Abdurrahman As Saqqaf salah seorang Syaikh tarikat Alawiyah, mengatakan bahwa dia sebelumnya menyangka pada diri Al Hallaj ada keretakan karena sikapnya, seperti keretakan pada kaca, tetapi setelah sampai pada maqam al qutbiyyah dia melihat bahwa Al Hallaj telah mencapai tingkat bila diandaikan buah dia telah matang.

    Imam Al Ghazali ketika ditanyai bagaimana pendapatnya tentang perkataan "ana al haq?". Beliau menjawab, "Perkataan demikian yang keluar dari mulutnya adalah karena sangat cintanya kepada Alloh. Apabila cinta sudah demikian mendalamnya, tidak ada lagi rasa berpisah antara diri seseorang dengan seseorang yang dicintainya".

    Sehingga beliau, Jalaludin Rumi, dan Fariduddin al Attar memberinya julukan "Syahidul Haq" (seorang syahid yang benar). Beliau syekh Maftuh Basthul Birri salah satu masyayikh di ponpes Hidayatul Mubtadi’in (lirboyo) dalam bukunya yang berjudul Manaqib 50 Wali Agung mengatakan “Syekh al-Hallaj ini tinggi sekali ma’rifat dan ilmu haqiqatnya, jadzab dan cintanya dengan Alloh seperti imam Abu Yazid al-Bustomi, sehingga beliau pernah berkata ANAL HAQ. Maka banyak orang yang ingkar karena tidak sampai kefahamannya”.

Kesimpulan.

  1. Al-Hallaj merupakan seorang ahli sufi, filsuf, dan sekaligus wali Allah yang hidup pada masa khalifah al-muktadir billah dan beliau wafat karena dihukum mati untuk mempertanggung jawabkan ajarannya yang dianggap sesat oleh beberapa ulama’ khususnya fuqoha pada masa itu.
  2. Al-Hallaj tidak melakukan dosa terhadap kebenaran, tetapi beliau dihukum karena tindakannya yang dipandang bertentangan dengan hukum. Beliau membuka rahasia tentang Tuhan dengan mengemukakan segala yang dianggap misteri tertinggi yang selayaknya hanya boleh diketahui oleh orang-orang terpilih saja.
  3. Ajaran al-Hallaj yang mashur adalah hulul (ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri insan (nasut)), al-haqiiqah al-muhammadiyyah (nur Muhammad), dan wahdatul adyan (kesatuan semua agama).
  4. Al-Hallaj mengatakan bahwa tidak ada pemisahan antara Tuhan dengan makhluk-Nya sebagaimana dengan kesatuan ilahi yang melingkupi makhluk-Nya. Yang berbicara Ana Al-Haq bukanlah al-Hallaj pribadi, melainkan Tuhan sendiri melalui mulut al-Hallaj.
0 komentar

Thosin Titik Azali (Sebuah Fragmen dalam Thowasin Al-Hallaj)

بسم الله الرّحمن الرّحيم

... aku 'melihat' Tuhanku dengan mata hatiku, ...
aku menyapa: "Siapakah Engkau?"

Dia menjawab: "Kau!"

namun, bagiku, 'di mana' tak memiliki tempat, dan tak ada 'di mana' ketika perhatian menyangkut-Mu,
akal pun tak punya bayangan

tentang keberadaan-Mu dalam (dimensi) waktu, yang mengizinkan akal mengetahui

'di mana' Engkau adanya...
Engkau adalah 'Sesuatu'
yang meliputi setiap 'di mana',
mengatasi 'Titik' yang 'tak-di mana-mana'.

jadi, 'di mana'-kah Engkau adanya...?

ANA AL HAQ
SYAIR AL-HALLAJ

Aku adalah Dia yang kucinta dan
Dia yang kucinta adalah aku
Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh.
Jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia,
dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat aku

Maha suci zat yang sifat kemanusiaan-Nya, membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang. Kemudian kelihatan baginya mahluk-Nya, dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum

Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku,
sebagaimana anggur disatukan dengan air murni. Jika sesuatu menyentuh Engkau, ia meyentuhku pula, dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku.

Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku Aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami.
Sebelumnya tidak mendahului-Nya,
setelahtidak menyela-Nya,
daripada tidak bersaing dengan Dia dalam hal keterdahuluan, dari tidak sesuai dengan Dia, ketidak menyatu dengan dia,

Dia tidak mendiami Dia,
kala tidak menghentikan Dia, jika tidak berunding dengan Dia, atas tidak membayangi Dia, dibawah tidak menyangga Dia, sebaliknya tidak menghadapi-Nya, dengan tidak menekan Dia, dibalik tidak mengikat Dia, didepan tidak membatasi Dia, terdahulu tidak memameri Dia, dibelakang tidak membuat Dia luruh, semua tidak menyatukan Dia, ada tidak memunculkan Dia,
tidak ada tidak membuat Dia lenyap, penyembunyian tidak menyelubungi Dia, pra-eksistensi-Nya mendahului waktu, adanya Diamendahului yang belum ada, kekalahan-Nya mendahului adanya batas.

Di dalam kemuliaan tiada aku,
atau Engkau atau kita, Aku, Kita, Engkau dan Dia seluruhnya menyatu.
0 komentar

Thosin: Pencapaian Sang Laron

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Sang laron terbang di sekeliling nyala api hingga terbit fajar.
Lalu ia kembali ke rekan-rekannya, dan menceritakan
keadaan (hal) spiritualnya dengan ungkapan yang penuh kesan.

Ia berpadu (hulul) dengan geliatnya nyala api
dalam hasratnya untuk mencapai
Penyatuan (Tauhid) yang sempurna.

Cahayanya nyala api itu adalah Pengetahuan hakikat, panasnya adalah Kenyataan hakikat,
dan Penyatuan dengannya adalah Kebenaran hakikat.
Ia merasa tidak puas dengan cahayanya ataupun dengan panasnya, sehingga ia melompat ke dalam nyala api langsung. 

Sementara itu rekan-rekannya menantikan kedatangannya, supaya ia menceritakan kepada mereka tentang 'penglihatan' aktualnya, karena ia merasa tidak puas dengan kabar angin saja. Tetapi, ketika itu ia tengah tuntas sirna (fana'), musnah dan buyar ke dalam kepingan-kepingan, yang tersisa tanpa wujud, tanpa jasad ataupun tanda pengenal!

Jadi, dalam peringkat (maqam) apa ia dapat
kembali ke rekan-rekannya?

Dan keadaan (hal) spiritual apa yang tengah dicapainya sekarang?

Ia yang sampai pada pandangan (bashirah) batin, niscaya sanggup terlepas dari perkabaran saja. Juga ia yang sampai pada inti pandangan batin, tidak lebih prihatin tentang pandangan batinnya...

0 komentar

Thosin Al Tanzih (Kesucian, Keterbebasan)

بسم الله الرّحمن الرّحيم

  1. Inilah lingkaran qiyas (alegori) Tauhid, dan inilah sosok perlambangnya:
  2. Inilah kesemestaan yang dapat memperlihatkan kepada kita mengenai fatwa dan hukum (Tauhid), juga buat para pakar, ahli ‘ibadah dan ahli madzhab, ahli fiqih dan ahli kalam.
  3. Lingkaran pertama adalah ‘perasaan’ harfiah, yang kedua adalah ‘rasa’ batin, dan yang ketiga adalah kias ‘ruh’ (yang tidak terkiaskan).
  4. Itulah keseluruhan segala sesuatu, yang dicipta ataupun digubah, yang dipakai, ditapis, disaring, disangkal, yang dibuai ataupun dibius.
  5. Ia beredar dalam kata-ganti ‘kami’ subyek-subyek pribadi. Seperti sebatang panah, ia menembusi sekujur mereka, melengkapinya, mengejutkannya, dan membalikkannya. Ia juga menakjubkan mereka, meneranginya, dan ia mempesonakannya saat ‘menemui’ mereka.
  6. Itulah keseluruhan substansi dan kualitas makhluk. Adapun Allah tidak berhubungan dengan perumpamaan ini.
  7. Kalau kukatakan: “Ia adalah Dia,” pernyataan itu bukanlah (refleksi) Tauhid.
  8. Bila kukatakan bahwa Tauhid Alloh itu shahih, orang akan menjawabku – “Tidak sangsi lagi!’
  9. Andai kukatakan “tanpa waktu,” orang akan bertanya: “Adakah maknanya Tauhid itu tamsil?” Padahal, tidak ada perbandingan saat menggambarkan Allah. Tauhidmu itu tidak ada hubungannya dengan Allah ataupun makhluk, sebab faktanya mengungkapkan bahwa sejumlah waktu itu mengintrodusir kondisi terbatas. Dalam hal ini, kau telah menambahkan pengertian pada Tauhid, seolah (Tauhid) itu bergantung. Bagaimanapun, kebergantungan bukanlah sifat Allah. Zat-Nya itu Unik. Dan, sekaligus, baik Kebenaran maupun apa yang gaib, tidak mungkin terpancar (keluar) dari Zat-Nya Zat.
  10. Jika kukatakan: “Tauhid adalah Firman itu sendiri,” ‘Firman’ adalah sifatnya Zat, bukan Zat itu sendiri.
  11. Jika kukatakan: “Tauhid maknanya Allah berhasrat sebagai yang Satu,’ ‘Kehendak’ Ilahi adalah sifatnya Zat, sedangkan hasrat adalah makhluk.
  12. Jika kukatakan: “Allah adalah Tauhidnya Zat yang dinyatakan pada dirinya sendiri,” maka aku membuat Zat bertauhid, yang bisa menjadi pergunjingan kita.
  13. Jika kukatakan: “Tidak, ’ia’ (Tauhid) bukan Zat,” lalu dapatkah aku menyatakan bahwa Tauhid adalah makhluk? 
  14. Jika kukatakan: “Nama dan obyek yang dinamai itu Satu,” maka apakah pengertian (nama) yang dikandung Tauhid?
  15. Jika kukatakan:” Allah adalah Allah, maka adakah aku mengatakan bahwa Allah adalah zatnya-Zat, dan ‘ia’ (Tauhid) adalah Dia?
  16. Inilah “Tha-Sin” yang membicarakan tentang penyangkalan atas alasan-alasan sekunder, dan inilah lingkaran-lingkarannya, dengan ‘La’ () yang tertulis di sini sebagai sosoknya:
  17. Lingkaran pertama adalah pra-Kelanggengan, yang kedua Keterang jelasannya, yang ketiga Dimensinya, dan yang keempat Berpengetahuannya.
  18. Adapun Zat bukannya tanpa sifat.
  19. Sang penempuh (lingkaran) pertama membuka Gerbang Pengetahuan, dan tidak bertemu. Yang kedua membuka Gerbang Penyucian, dan tidak bertemu. Yang ketiga membuka Gerbang Pemahaman, dan tidak bertemu. Yang keempat membuka Gerbang Pemaknaan, dan tidak bertemu. Tidak seorang pun ‘ketemu’ Alloh dalam Zat-nya atau dalam Kehendak-Nya, tidak dalam pembicaraan, apalagi dalam Dia-nya ‘Dia’ Sejati.
  20. Maha Besar Allah, yang Maha Suci, yang dengan kesucian-Nya tidaklah Dia terjangkau oleh segenap cara (thariqah) sang arif, apalagi oleh segenap intuisi orang kebatinan.
  21. Inilah  “Tho-Sin”  tentang  Nafi’-Itsbat  (Penyangkalan  dan Penegasan) dan inilah penjabarannya:
  22. Rumus pertama membicarakan pikiran orang kebanyakan (‘amm), yang kedua pemikiran orang terpilih (khasysy). Dan, lingkaran yang menggambarkan ‘Ilmu Allah ada di antara keduanya. Adapun ‘La’ () yang tertutup lingkaran adalah penyangkalan atas segenap dimensi. Dua ‘ha’-nya () adalah perangkatnya, seperti pilar dua sisinya Tauhid, yang menopangnya ke atas. Di luar itu berawal ketergantungan (makhluk).
  23. Pikiran orang kebanyakan tercebur ke samudera khayal, dan pemikiran orang terpilih (tercebur) ke samudera kearifan. Tetapi, dua samudera itu akan mengering, dan jalan yang mereka tandai akan terhapus. Pikiran dan pemikiran itu akan lenyap, dua pilarnya akan runtuh, dua alam maujudnya akan hancur, juga pembuktiannya serta pengetahuannya akan musnah.
  24. Sedangkan di hadirat Keilahian Allah, Dia tetap ‘Ada’, mengatasi sekalian makhluk yang bergantung. Segenap puji bagi Allah, yang tidak terjangkau oleh alasan sekunder. Bukti-nya sangat kuat, dan kuasa-Nya sangat agung. Dia, Tuhan Sang Kemegahan dan Keagungan serta Kemuliaan. Maha Satu yang ‘Tiada-Terbilang’ dengan kesatuan aritmetis. Tiada patokan, hitungan, awalan atau akhiran yang menjangkau-Nya. Wujud-Nya ‘Tiada-Terbayang’ karena Dia bebas dari maujud. Dia Sendiri saja yang mengetahui Diri-Nya, Penguasa Keluasan dan Keluhuran (QS. 55: 27), Pencipta (Al-Khaliq) ruh dan jasad.
0 komentar

Thosin Al Asrar fi al Tauhid (Kesadaran Diri Dalam Tauhid)

بسم الله الرّحمن الرّحيم

  1. Adapun perlambang “Thasin Al Asrar fi al Tauhid : Kesadaran-Diri dalam Tauhid” adalah demikian ini: [‘Alif’ () panjang – Penyatuan; Tauhid. ‘Hamzah’ (ء) – kesadaran-diri, beberapa di satu sisi dan beberapa lagi di sisi lainnya. ‘Ain’ () di awal dan akhir – Zat.]Kesadaran-diri itu berproses dari-Nya, kembali pada-Nya, dan beredar di dalam-Nya. Kendati demikian, secara nalar semuanya tidak penting (bagi-Nya).
  2. Subyek sejatinya Tauhid berbolak-balik melintasi keragaman subyek, sebab Dia tidak tercakup dalam subyek atau dalam obyek ataupun dalam kata-ganti lainnya. Akhiran kata-bendanya juga tidak terliput pada Obyeknya. Kata-kepunyaan ‘ha’-nya () adalah milik ‘Ah’-nya (ﺎﺣ), dan bukan ‘Ha’ () lain, yang tidak membuat kita bertauhid.
  3. Bila kukatakan tentang ‘Ha’ () ini ‘Wa-Ha’ (ﻩﻭ), yang lainnya akan berseru padaku, “Malangnya!”
  4. Itulah julukan, sebutan dan kiasan demonstrative yang menembus (Tauhid) ini, sehingga kita dapat ‘melihat’ Allah melalui keadaan (hal) senyatanya.
  5. Segenap peribadi insan seperti “sebuah bangunan yang tersusun rapi”. Inilah ketentuannya, dan Penyatuan Alloh (Tauhid) tidak terkecuali bagi ketentuan ini. Kendati demikian, setiap ketentuan adalah batasan, dan sifat batasan hanya berlaku bagi obyek-terbatas. Sebaliknya, obyek Tauhid tidak mengakui pembatasan tersebut.
  6. Kebenaran [al-Haqq] itu sendiri tidak lain dari singgasana Allah, bukannya Zat Allah.
  7. Dikatakan, Tauhid tidak mencapai (Kebenaran) itu, karena peran kebahasaan dari suatu istilah dan pengertiannya yang pas, tidak berpadu satu sama lain, ketika menyangkut sebuah imbuhan. Kalau begitu, bagaimana dapat semua berpadu, ketika menyangkut Allah?
  8. Kalau kukatakan: “Tauhid terpancar dari-Nya,” maka aku menggandakan Zat Ilahi, dan membuat pancaran dari Dirinya sendiri, ada bersama dengan-Nya, ‘ada’ ataupun ‘tiada’ Zatnya secara bersamaan.
  9. Andai kukatakan bahwa ‘ada’-nya tersembunyi ‘di dalam’ Allah, dan Dia mengejawantahkannya. Bagaimana itu tersembunyinya, sedangkan di (Allah) sana tidak ada ‘bagaimana’ atau ‘apa’ ataupun ‘ini-itu’, dan di sana juga tidak ada tempat [‘dimana’] yang memuat Dia.
  10. Sebab, ‘di dalam ini-itu’ adalah ciptaan Allah, sebagaimana adanya ‘di mana’.
  11. Adapun yang mendukung suatu aksi (aksiden) bukannya tanpa substansi. Dan, yang tidak terpisahkan dari jasad bukannya tanpa unsur jasad. Juga yang tidak terpisahkan dari ruh bukannya tanpa unsur ruh. Karena itu, Tauhid merupakan sebuah perpaduan (spiritual).
  12. Kita kembali dulu, di luar semua itu, ke pokok masalah [Obyek kita] dan memisahkannya dari kalimat tambahan, pemaduan, penghitungan, peleburan dan penyifatan.
  13. Lingkaran pertama [pada diagram berikutnya] terdiri atas tindakan Allah, yang kedua terdiri atas tiruannya (tindakan). Dan, inilah dua lingkaran (makhluk) ciptaan.
  14. Sedangkan (lingkaran) titik-pusat melambangkan Tauhid, tetapi bukan (sebenarnya) Tauhid. Kalau tidak, bagaimana mungkin itu terpisahkan dari lingkaran?
0 komentar

Thosin Al Tauhid (Keesaan)

بسم الله الرّحمن الرّحيم

  1. Dia – Allah, Sang Maha Hidup (Al-Hayy).
  2. Allah adalah Sang Esa, Unik, Sendiri, dan ‘saksi’ sebagai yang Satu.
  3. Sekaligus, Sang Esa dan kesaksian atas Penyatuan (Tawhid) yang Satu, Adalah ‘di Dia’ dan ‘dari Dia’.
  4. Dari-Nya datang jarak pemisah (makhluk) yang lain dari Penyatuan-Nya, dan itu dapat dilambangkan demikian ini:

    [Tauhid terpisah dari Allah, dan simbol ‘wahdaniyah’ ini dilambangkan oleh ‘Alif’ () panjang, dengan sejumlah ‘dal’ () di dalamnya. Adapun ‘Alif’-nya () merupakan Zat, dan ‘dal’-nya ( ) sebagai Sifat.]
  5. Pengetahuan Tauhid adalah sebuah ikhtisar kesadaran yang mandiri, dan perlambangnya demikian ini: [Inilah ‘Alif’ () purba-Nya Zat (’Alif’ panjang) dengan ‘alif-alif’ (ﺍ ﺍ) lainnya, yang merupakan wujud-wujud makhluk, dan yang hidup di atas ‘Alif’ () utama.]
  6. Tauhid adalah sifat subyek makhluk yang melafalkan ketauhidannya, dan bukan sifat sang Obyek yang tersaksikan Satu.
  7. Apabila aku yang makhluk mengatakan “aku”, dapatkah aku membuat-Nya juga mengatakan “Aku”? Tauhidku datang dariku, dan bukan dari-Nya. Dia suci [munazzah] dariku dan Tauhidku.
  8. Bila aku mengatakan: “Tauhid kembali ke ‘ia’ yang mengatakannya,” maka aku membuatnya (Tauhid) sebagai suatu makhluk.
  9. Jika aku mengatakan: “Tidak, Tauhid itu datang dari sang Obyek yang tersaksikan,” maka adakah hubungan yang mengaitkan seorang peng-Esa (Tauhid) ke pernyataannya tentang Penyatuan itu?
  10. Andai kukatakan: “Memang, Tauhid adalah hubungan yang mengaitkan sang Obyek ke subyeknya,” maka aku telah mengarahkan hal ini ke sebuah ketentuan nalar!
0 komentar

Thosin Al Masyi-ah (Kehendak)

بسم الله الرّحمن الرّحيم

  1. Inilah penggambaran tentang Taqdir Ilahi. Lingkaran ( o ) pertama adalah Kehendak [masyi’ah] Allah, dan ( o ) kedua adalah Hikmah-Nya, serta ( o ) ketiga adalah Kuasa-Nya, sedangkan ( o ) keempat adalah Ilmu-Nya yang ‘Azaliy.
  2. Iblis berkata: “Bila aku memasuki lingkaran pertama, aku akan menempuh ujian dari (lingkaran) yang kedua. Dan, bila aku melintas ke yang kedua, aku harus menempuh ujian dari (lingkaran) yang ketiga. Bahkan, bila aku menyeberang ke yang ketiga, aku mesti menempuh ujian dari (lingkaran) yang keempat.”
  3. Maka – tidak (la), tidak (la), tidak (la), tidak (la), dan tidak (la)! Bahkan, bila aku istirah di ‘tidak’ pertamaku, aku pasti dikutuk sampai aku mengucapkan (‘tidak’) yang kedua, dan dibuang sampai aku mengucapkan (‘tidak’) yang ketiga. Jadi, apakah yang keempat berarti bagiku?
  4. Kalaulah aku tahu bahwa bersujud (kepada Adam as) pasti menyelamatkan aku, aku niscaya bersujud. Kendati demikian, aku tahu bahwa setelah lingkaran (pertama) itu ada lingkaran-lingkaran (kedua, ketiga, dan keempat) lainnya. Dengan pemikiran begitu, maka kukatakan kepada diriku: Kalaupun aku selamat dari lingkaran (pertama) ini, bagaimana dapat aku keluar dari (lingkaran) yang kedua, yang ketiga, dan yang keempat?
  5. Adapun ‘Alif’ () dari ‘La’ ( ) yang kelima adalah “Dia – Tuhan, Sang Hidup.” (QS. 2: 255)
0 komentar

Thosin Al Azal wa al Iltibas (Kebahagian dan Derita Eterniti/Keabadian dan Kekeliruan Pemahaman)

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Untuk ia yang 'arif, dalam ke'arifannya-ke'arif saat berhubungan dengan wacana publik tentang apa yang logis dalam memperhatikan tujuan...
  1. Sang Faqir, Abu Mughits (Al-Hallaj), semoga Allah merahmatinya, berkata: "Tidak ada misi yang tangguh kecuali yang diemban Iblis dan Muhammad, shalawat dan salam atasnya. Hanya, Iblis terjatuh dari Zat, dan Muhammad merasakan Zatnya-Zat."
  2. Telah dikatakan kepada Iblis: "Sujudlah!" (QS. 2: 34) dan kepada Muhammad: "Tengoklah!" (QS. 53: 13) Namun, Iblis tidak bersujud, dan Muhammad pun tidak menengok. Ia tidak berpaling ke kanan atau ke kiri, "Matanya tidak celingukan, tidak juga jelalatan." (QS. 53: 17)
  3. Sementara Iblis, setelah menyatakan misinya, ia tidak kembali ke kemampuan awalnya.
  4. Sedangkan Muhammad, ketika menyatakan misinya, ia kembali ke kemampuannya.
  5. Dengan pernyataan ini: "Bersama Engkau semata aku merasa bahagia, dan kepada Engkau semata aku mengabdikan diriku." Dan: "Wahai Engkau yang membolak-balik hati." Serta: "Aku tidak tahu bagaimana memuji-Mu sebagaimana mestinya Engkau dipuji."
  6. Di antara penghuni surga tidak ada pemuja sekaligus peng-Esa (Tauhid) yang seperti Iblis.
  7. Karena Iblis 'di situ' telah 'melihat' penampakan Zat Ilahi. Ia pun tercegah bahkan dari mengedipkan mata kesadarannya, dan mulailah ia memuja Sang Esa Pujaan dalam pengasingan khusyuknya.
  8. Ia dikutuk ketika menjangkau pengasingan ganda, dan ia didakwa ketika menuntut kesendirian (Allah) mutlak.
  9. Allah berfirman kepadanya: "Sujudlah (kepada Adam as)!" Ia menjawab:  "Tidak,  kepada  yang  selain  Engkau."  Dia berfirman lagi kepadanya: "Bahkan, apabila kutuk-Ku jatuh menimpamu?" Ia menjawab lagi: "Itu tidak akan mengazabku!"
  10. "Pengingkaranku adalah untuk menegaskan Kesucian-Mu, dan alasanku (ingkar) niscaya melanggar bagi-Mu. Tetapi, apalah Adam dibandingkan dengan-Mu, dan siapalah aku Iblis, hingga dibedakan dari-Mu!"
  11. Ia jatuh ke Samudera Keluasan, ia menjadi 'buta', dan berkata: "Tidak ada jalan bagiku kepada yang lain selain dari-Mu. Aku pecinta yang 'buta'!" Dia berfirman kepadanya: "Kau telah takabur!" Ia menjawab: "Apabila ada satu saja kilasan pandang di antara kita, itu cukup membuatku sombong dan takabur. Kendati begitu, aku adalah 'ia' yang mengenal-Mu sejak ke-baqa'-an masa Terdahulu, dan "aku lebih baik daripadanya" (QS. 7: 12), sebab aku lebih lama mengabdi kepada-Mu. Tidak ada satu pun, di antara dua jenis makhluk (Adam dan Iblis) ini, yang mengenal-Mu secara lebih baik daripadaku!" "Ada Kehendak-Mu bersamaku, dan ada kehendakku bersama-Mu, sedangkan keduanya mendahului Adam. Apabila aku bersujud kepada yang selain Engkau, ataupun tidak bersujud, niscaya harus bagiku untuk kembali ke asalku. Karena Engkau menciptakan aku dari api, dan api kembali ke 'api', menuruti keseimbangan (sunnah) dan pilihan yang adanya milik-Mu."
  12. "Tidak ada jarak dari-Mu padaku, karena aku yakin bahwa jarak dan kedekatan itu 'satu'!" "Bagiku, apabila aku dibiarkan, pengabaian-Mu justru menjadi mitraku. Jadi, seberapa pun jauhnya lagi, pengabaian dan cinta tetap 'menyatu'!" "Terpujilah Engkau, dalam taufiq-Mu dan Zat-Mu yang tiada terjangkau, bagi sang pemuja setia ini, yang tiada bersujud ke yang selain Engkau!"
  13. Musa (as) bertemu Iblis di lereng Bukit Sinai, dan bertanya kepadanya: "Hai Iblis, apa yang mencegahmu dari bersujud?" Ia (Iblis) menjawab: "Yang mencegahku adalah pernyataan ikrarku mengenai Sang Pujaan yang Unik. Dan, jika aku bersujud, aku akan menjadi sepertimu. Karena kau hanya perlu dipanggil sekali, "Tengoklah ke gunung," kau langsung menengok. Sementara aku, aku telah dipanggil ribuan kali untuk menyujudkan diriku kepada Adam, aku tidak bersujud, karena aku bersiteguh dengan 'Tujuan' Ikrarku."
  14. Musa (as) bertanya: "Kau membangkangi perintah?" Iblis pun menjawab: "Itu sebuah ujian, bukannya perintah." Musa bertanya lagi: "Tanpa dosa? Kendati wajahmu berubah begitu?" Iblis menyahut: "Hai Musa, keadaanku ini sekadar kemenduaan dari penampilan-lahir, sementara keadaan (hal) spiritualku tidak bergantung atasnya, bahkan tidak berubah. Ma'rifat tetaplah benar sebagaimana pada awalnya, dan itu tidak berubah kendatipun pribadinya berubah."
  15. Musa (as) bertanya: "Adakah kau mengingat-Nya (zikir) sekarang?" "Hai Musa, pikiran yang murni tidak membutuhkan daya-ingat, dengan itu aku mengingat (Dia) dan Dia mengingat (aku). Ingatan-Nya adalah ingatanku, dan ingatanku adalah ingatan-Nya. Bagaimana mungkin, ketika kami saling mengingat, kami berdua berlainan satu sama lain?" "Pengabdianku sekarang lebih murni, waktuku lebih lapang, ingatanku lebih agung, sebab aku mengabdi kepada-Nya secara mutlak demi keberuntunganku, bahkan sekarang aku mengabdi kepada-Nya demi Diri-Nya."
  16. "Aku mencabut keserakahan dari segenap apa pun yang mencegahku atau menahanku, baik demi kerugian ataupun keuntungan. Dia mengasingkanku, membuatku mabuk-kepayang, melinglungkanku, mengeluarkanku, sehingga aku tidak dapat berpadu dengan para ruh suci. Dia menjauhkanku dari yang lain, sebab kecemburuanku (kepada-Nya) supaya Dia Sendiri saja. Dia mengubahku, sebab Dia mengagumiku. Dia mengagumiku, sebab Dia membuangku. Dia membuangku, sebab aku pengabdi. Dan, menempatkanku dalam ahwal terlarang disebabkan kemitraanku. Dia mempertunjukkan kekurangan nilaiku disebabkan aku memuji Keagungan-Nya. Dia menyederhanakanku dengan sehelai kain ihram disebabkan kehajianku [hijya]. Dia membiarkanku disebabkan 'penemuan'-ku atas-Nya dalam zikir. Dia menyingkapkan (kasyf) hijabku disebabkaan penyatuanku. Dia mempenyatukanku disebabkan Dia memencilkanku. Dan, Dia memencilkanku disebabkan Dia mencegah hasratku."
  17. "Dengan Kebenaran-Nya, maka aku tidak salah dalam memperhatikan titah-Nya, bukannya aku menolak takdir. Aku tidak peduli sama sekali tentang perubahan wajahku. Aku hanya menjaga keseimbanganku (sunnah) melalui hukuman ini."
  18. "Kendatipun Dia mengazabku dengan api-Nya sepanjang masa, aku tetap tidak akan bersujud kepada sesuatu (selain-Nya). Aku tidak akan merundukkan diriku kepada pribadi atau jasad (Adam as), sebab aku tidak mengaku berlawanan dengan-Nya! Ikrarku khusyuk, dan aku memang seorang yang khusyuk dalam 'cinta'!"
  19. Al-Hallaj berkata: "Ada beragam teori yang berkenaan dengan keadaan (hal) spiritualnya 'Azazyl (ﻞﻳﺯﺍﺰﻋ) [sebutan Iblis sebelum kejatuhannya]. Seseorang mengatakan bahwa ia ditugaskan dengan misi di surga, serta dengan suatu misi (lainnya) di bumi. Di surga ia berkhutbah kepada malaikat, menunjukinya tentang amalan yang baik. Dan, di bumi ia berkhutbah kepada manusia dan jin, menunjukinya tentang perbuatan yang jahat."
  20. "Sebab, seseorang tidak akan mengenali sesuatu kecuali dengan (mengenali) yang sebaliknya. Sebagaimana dengan sutera putih halus, yang hanya dapat ditenun dengan menggunakan lakban hitam di belakangnya makanya, malaikat mempertunjukkan amalan baiknya, dan berkata simbolis, "Jika kau beramal, kau akan mandapat pahala." Namun, ia yang tidak mengenal kejahatan sebelumnya, niscaya tidak dapat mengenali kebaikan."
  21. Sang Faqir, Abu Umar Al-Hallaj, berkata: "Aku bersoal dengan Iblis dan Fir'aun tentang kehormatan Sang Pemurah." Kata Iblis: "Jika aku bersujud, aku niscaya kehilangan gelar kehormatanku." Dan, kata Fir'aun: "Jika aku beriman kepada Rasul (Musa as) itu, aku niscaya terjatuh dari harkat kehormatanku."
  22. Al-Hallaj pun berkata: "Jika aku memungkiri pengajaranku dan pernyataanku, aku juga niscaya jatuh dari altar kehormatanku."
  23. Tatkala Iblis berkata: "Aku lebih baik daripada ia (Adam as)," maka ia tidak melihat sesuatu pun selain dirinya. Tatkala Fir'aun berkata: "Aku tahu pun tidak bahwa kau (Musa as) mempunyai Tuhan yang selain aku," ia tidak mengetahui bahwa sembarang rakyatnya dapat membedakan antara kebenaran dan kepalsuan.
  24. Jadi, aku (Al-Hallaj) berkata: "Andaipun kau tidak mengenal-Nya, maka kenalilah pertanda-Nya. Akulah pertanda-Nya [tajally], dan akulah Sang Kebenaran (anal'-Haqq)! Hal ini disebabkan aku tiada henti menyadari 'ada'-Nya Sang Kebenaran!"
  25. Temanku adalah Iblis, dan guruku adalah Fir'aun. Iblis diancam dengan api dan tidak mencabut pernyataannya. Fir'aun ditenggelamkan di Laut Merah tanpa mencabut pernyataannya ataupun mengakui sembarang perantara (rasul). kendatipun begitu ia berkata: "Aku beriman bahwa tiada Tuhan kecuali Dia yang diimani oleh Bani Isra'il." (QS.10: 90) Dan, bukankah kau melihat bahwa Allah pun menentang Jibril dalam Keagungan-Nya? Dia berfirman: "Mengapa kau penuhi mulutmu dengan 'pasir'?"
  26. Jadi, aku (akhirnya) dibunuh, digantung, tangan dan kakiku dipotong, tanpa aku mencabut pernyataan tegasku!
  27. Istilah Iblis diperoleh dari 'mutasi' nama pertamanya, 'Azazyl (ﻞﻳﺯﺍﺰﻋ ). 'Ain'-nya () menunjukkan keluasan ikhtiarnya, 'zay'-nya () adalah bertambah kerapnya kunjungan (kepada-Nya), 'alif'-nya () sebagai jalan hidupnya dalam harkat-Nya, 'zay'-nya () yang kedua keasketisannya dalam derajat-Nya, 'ya'-nya () langkah pengembaraannya ke penderitaannya, dan 'lam'-nya () ketegarannya dalam kesakitannya.
  28. Dia (Allah) berfirman kepadanya: "Kau tidak bersujud, hai yang nista!" Ia menjawab: "Sebutlah lebih baik -- 'pecinta'!" Karena pecinta dianggap rendah, maka Engkau menyebutku nista. Aku telah membaca dalam Kitab yang Nyata, wahai Sang Kuasa dan Setia, bahwa hal ini akan terjadi padaku. Jadi, bagaimana mungkin aku menistakan diriku kepada Adam, padahal Engkau menciptakannya dari tanah, sedangkan aku dari api? Dua hal yang berlawanan tidak dapat diakurkan. Dan, aku telah mengabdi-Mu lebih lama, juga memiliki kebajikan yang lebih luhur, pengetahuan yang lebih luas, serta aktivitas yang lebih sempurna."
  29. Allah, yang senantiasa terpujilah Dia, berfirman kepadanya: "Pilihan adalah milik-Ku, bukannya milikmu." Ia menjawab: "Segenap pilihan, bahkan pilihan diriku, adalah milik-Mu. Karena Engkau telah terpilih untukku, wahai Sang Khaliq. Jika Engkau mencegahku dari bersujud kepadaanya (Adam as), Engkau adalah 'Sebab' pencegahan itu. Jika aku khilaf berbicara, Engkau tidak membiarkanku, karena Engkau Sang Maha Mendengar. Jika Engkau berkehendak aku bersujud kepadanya, aku niscaya taat. Aku tidak mengetahui seorang pun di antara (makhluk) yang 'Arif, yang mengenal-Mu secara lebih baik daripada aku."
  30. Jangan persalahkan aku, ide kecaman jauh dariku, anugerahilah aku, wahai Penguasaku, demi aku sendiri. Kalaupun dalam hal janji, janji-Mu itu sejatinya Kebenaran prinsip, tentunya prinsip ikhtiarku juga kuat. Ia yang berhasrat menulis ikrarku ini, atau membacanya, akan mengetahui bahwa aku (akhirnya) menjadi seorang Syahid!
  31. Hai saudaraku! Ia (Iblis) disebut 'Azazyl karena ia dibebastugaskan ('uzyla), dibebastugaskan dari kesucian purbanya. Ia tidak kembali dari asalnya ke akhirnya, sebab ia tidak keluar dari akhirnya. Ia dibiarkan, dikutuk dari asalnya.
  32. Upayanya untuk keluar pun gagal, disebabkan perasaan iba-dirinya. Ia mendapatkan dirinya antara api tempat peristirahatannya dan cahaya posisi ketinggiannya.
  33. Sumber air di darat adalah telaga yang rendah. Ia (Iblis) terazab kehausan di tempat yang (airnya) berlimpah-ruah. Ia menangisi kesakitannya, karena api telah membakarnya. Kekhawatirannya tidak lain hanyalah kepura-puraan, dan ke-'buta'-annya adalah kesia-siaan -- itulah ia adanya!
  34. Hai saudaraku! Andaikan kau mengerti, kau telah mempertimbangkan jalan sempit di kesempitannya yang teramat sangat. Kau telah menunjukkan khayalan itu kepadamu dalam kemusykilannya yang teramat sangat. Dan, kau akan menderita serta penuh kegelisahan.
  35. Kaum shufi yang paling terjaga pun tetap bungkam tentang Iblis, dan para 'arifin tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan apa yang telah dipelajarinya (tentang Iblis). Iblis lebih kuat daripada mereka dalam hal pemujaan, dan lebih dekat daripada mereka kepada Sang Zat Wujud. Ia (Iblis) mengerahkan dirinya lebih dan 'lebih' setia pada perjanjian, serta lebih dekat daripada mereka kepada Sang Pujaan.
  36. Malaikat lain bersujud kepada Adam (as) karena dukungan (Allah), sedangkan Iblis menolak (bersujud) karena ia telah 'tafakur' sekian lamanya.
  37. Kendati begitu, keadaannya menjadi membingungkan, dan pikirannya kesasar, sehingga ia berkata: "Aku lebih baik daripada ia (Adam as)." (QS. 7: 12) Ia tetap di balik tabir, tidak menghargai 'debu' (asal kejadian Adam as), dan mengusung kutukan di atas pundaknya hingga Akhir Ke-'baqa'-an Masanya-Masa Ke-'baqa'-an nanti...
 
;