بسم الله الرّحمن الرّحيم
Aku ini orang tua, hakku harus ditunaikan oleh anak mudaJika namaku kausebut, lunasilah utang etika jangan tunda
Hanya Sebuah Catatan Semoga Bermanfaat
Aku ini orang tua, hakku harus ditunaikan oleh anak mudaJika namaku kausebut, lunasilah utang etika jangan tunda
Seorang penulis hadis, apabila menulis kalimat Allah, dianjurkan melengkapi dengan: Azza wa Jalla; atau Ta’âla; atau Subhânahu wa Ta’âla; atau Tabâraka wa Ta’âla; atau Jalla Dzikruhu; atau Tabârakasmuhu; atau Jallat ‘Azhamatuhu dan sebagainya.”Begitu juga ketika menulis Nabi Muhammad s.a.w, seorang penulis disunahkan melengkapi dengan: Shallallâhu 'alaihi wa Sallam, bukan sekedar simbol dan bukan hanya salah satunya (shalawat atau salam) saja.Ketika nama seorang sahabat Nabi s.a.w. disebut, kita dianjurkan men-doakannya dengan berucap: radhiyallâhu ‘anhu (semoga Allah meridainya). Apabila sahabat tersebut adalah anak dari seorang sahabat Nabi s.a.w. pula maka ucapannya menjadi: radhiyallâhu ‘anhumâ (semoga Allah meridai mereka berdua).Juga dianjurkan mendoakan seluruh ulama dan orang-orang pilihan agar diridai dan diampuni. Jika menuliskan nama mereka maka doa itu pun ditulis. Apabila pada sumber aslinya yang dinukil tidak tertulis lengkap, berarti bukan sebagai sebuah riwayat namun hanya bentuk doa. Setiap orang juga harus membaca doa tersebut, meski pada sumber asli yang di baca tidak tertulis lengkap. Jangan pernah jemu mengulangnya.Barangsiapa lupa maka kebaikan besar akan terhalang baginya dan ia menyia-nyiakan karunia yang besar.
Dianjurkan mendoakan para sahabat dan para tabi’in serta generasi setelah mereka, yaitu para ulama, orang-orang saleh dan orang-orang pilihan agar diridai dan diampuni; yakni dengan mengucapkan Radhiyallâhu ‘Anhu atau Rahimahullâh, dan sebagainya.Sementara sebagian ulama berpendapat bahwa kalimat Radhiyallahu ‘Anhum khusus ditujukan untuk sahabat, sementara selain mereka dengan kalimat Rahimahullah saja, sehingga tidak sama seperti untuk sahabat.Mayoritas ulama menilai ucapan doa itu hukumnya sunah. Dalil-dalil nya terlalu banyak untuk dihitung; contohnya dalam surah al-Bayyinah:“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut terhadap Tuhannya.” (QS. Al-Bayyinah: 6-8)Ayat tersebut mengandung penyebutan orang-orang mukmin dari kalangan sahabat dan yang lainnya secara umum, kemudian mendoakan mereka agar diridai oleh Allah.
Apabila sahabat yang disebut sebagai anak sahabat maka menyebutnya dengan–misalnya-Ibnu Umar Radhiyallûhu ‘Anhumâ, berkata... Begitu juga Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Ibnu Ja’far, Usamah ibn Zaid karena mencakup ayah-ayah mereka.
Demikianlah ulasan Imam Nawawi.
Menyebut ulama yang kompeten dan orang-orang saleh dengan bentuk penghormatan dan penghargaan adalah bagian dari pengamalan ilmu dan bagian dari esensi ilmu. Tidak perlu bertele-tele atau berlebihan seperti anggapan sebagian kaum modern karena mengikuti kaum orientalis. Mereka memotong nama para tokoh penulis dengan semaunya dan mendistorsi seenaknya seakan-akan itu hanya sebagai simbolis saja. Reduksi yang tidak pada tempatnya ini bertentangan dengan sikap ulama salaf dan ber tentangan dengan fitrah yang berupa etika terhadap tokoh-tokoh besar, ulama dan orang-orang saleh sehingga menyebut nama mereka dengan rasa penghormatan akan menambah kecintaan dalam jiwa, menggugah rasa penghormatan di dalam hati, mengakui kedudukan mereka, menghidupkan sikap meneladani dan mengambil manfaat dari perbuatan dan perilaku mereka, sehingga membuat Allah s.w.t. rida dan membalas mereka melalui kita dengan kebaikan sempurna.
Seorang ulama rabbani dan intelektual islam, Syaikh Abu Hasan an-Nadawi, dalam pengantar bukunya, al-Lathîf al-‘Ujâb, berkata, “Imam (pemimpin agama) adalah orang yang haknya untuk dihargai dan diakui tidak pernah dipenuhi dengan sempurna.”
Ahmad ibn Irfan asy-Syahîd menguraikan:
Watak yang sehat dan emosi yang jernih akan membuat orang me ngenali keutamaan yang dimiliki oleh orang lain; mengakui kebaikan orang lain; berterima kasih atas jasa orang lain; membela negara dan umat; dan rela terbunuh demi membela kehormatannya, agamanya, dan akidahnya.
Masyarakat yang fitrahnya tergugah dan wataknya membaik akan sadar untuk terus mengingat para pahlawan, sebagai pengakuan atas keberhasilan dan spirit bagi segenap anak bangsa untuk mengikuti jejak mereka; sehingga pahlawan tak dikenal pun mendapat perhatian besar di kalangan masyarakat Barat.
Orang-orang mukmin dan para pengikut rasul-rasul a.s. tentunya jauh lebih banyak memberikan pengakuan atas reputasi orang lain dan mensyukuri kebaikan orang lain daripada umat-umat lainnya. Allah s.w.t. menggambarkan orang-orang mukmin itu bisa mengenali kebaikan, mendoakan para pendahulu, mengakui kemajuan dan keutamaan orang lain. Dia berfirman:
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr: 10)
Sebaliknya, Allah s.w.t. menggambarkan orang-orang kafir dan para penghuni neraka sebagai manusia yang tidak tahu berterima kasih, suka melaknat yang akan datang dan yang telah lalu, dibenci oleh Allah, dan tidak Dia akui sebagai hamba-Nya. Allah s.w.t. mengatakan tentang mereka:
“Setiap suatu umat masuk (ke dalam neraka), dia mengutuk kawannya (yang menyesatkannya).” (QS. Al-A’râf:38)
Dibandingkan dengan umat lain, umat Islam memiliki keistimewaan berupa sifat lapang dada; mengakui kelebihan orang lain; bersikap moderat di tengah-tengah manusia; melestarikan warisan para pendahulu; dan sering mendoakan mereka agar dirahmati serta diampuni. Buku-buku biografi dan sejarah menjadi bukti atas hal ini.
Demikianlah uraian Ahmad ibn Irfan.
Saya mohon maaf bila ulasan ini terlalu panjang. Saya hanya ingin—di awal buku ini—Anda melihat orang-orang yang meniru dan mengikuti jejak kaum orientalis dalam menyebut ulama besar dan tokoh saleh; tanpa ada memberikan penghormatan, memuliakan ataupun memintakan ampunan bagi mereka. Seakan mereka hanya menyebut nama anak-anak mereka sendiri saja atau bersikap masa bodoh.
Dunia tidak akan diterangi oleh pemikiran orang-orang seperti itu, ilmu mereka, kebaikan mereka dan penghambaan mereka. Hanyalah Allah Sang Pemberi Taufik.
Seorang ulama besar sekaligus ahli hadis, al-Hâfizh Aidrus ibn Umar al Habsyi al-‘Alawi al-Hadhrami9 (1237-1314 H) menjelaskan seputar keutamaan memperoleh ilmu dan belajar dari ulama-ulama besar. Dia berkata, "Salah seorang guru kami mengatakan:
Barangsiapa dikaruniai ilmu—maksudnya mengambil, menerima dan belajar dari para ulama besar—maka dia harus bersyukur dengan cara menyebut nama guru-gurunya dan menceritakan kelebihan mereka, menyebarluaskan manfaat mereka, serta mendoakan agar Allah meridai mereka karena itu merupakan salah satu hal terpenting.
Sebab, guru memungkinkan muridnya meraih hal yang berbuah kebahagiaan abadi baginya; melebihi apa yang diberikan oleh orang tuanya; sehingga menghormati guru sama seperti menghormati orang tua, bahkan lebih.
Hak guru tetap utuh, manfaatnya pun lestari di akhirat, kebajikannya adalah yang paling utama dan sempurna, hak-haknya adalah yang paling hebat dan agung. Karena itulah selayaknya guru dimuliakan dan dihormati, begitu pula segala hal yang dialamatkan kepadanya; juga hendaknya dia diperlakukan dengan etika yang digariskan oleh para ulama.
Imam Makki ibn Abi Thalib (wafat 437 H) al-Qairawani al-Andalusi, dalam pengantar kitabnya yang berjudul al-Kasyf 'an Wujûh al-Qirâ` ât as Sab,’ mengatakan:
Saya antusias menulis buku ini karena berhasrat mendapatkan pahala yang kekal dan berlimpah. Saya pun memohon kepada Allah agar penulisnya mendapatkan manfaat dari buku yang dikarangnya ini, begitu pula setiap orang yang mengutip ilmu darinya.
Maka hendaklah setiap pemiliki sikap ksatria dan keberagamaan yang mengambil manfaat dari buku saya ini atau mengutip suatu ilmu darinya, berkenan mendoakan agar Allah merahmati dan mengampuni pengarangnya yang telah menguras otak dan fisiknya untuk menulis dan menyusunnya.
Lagi pula, saya tidak mengetahui ada manfaat dari kesibukan dan kelelahan saya dalam menulis buku ini yang lebih besar daripada doa seorang pembaca agar Allah s.w.t. merahmati atau mengampuni saya, atau memberi saya kebaikan. Karenanya, semoga Allah s.w.t. juga merahmati orang tersebut karena telah mendoakan agar saya mendapat kebaikan, rahmat, dan ampunan.
Saya juga ingin mengemukakan hal serupa. Semoga Allah membalas orang-orang yang bersedekah dan para dermawan.
Saat kami bersama Hammad ibn Zaid, dia mengungkapkan beberapa hadis, kemudian dia berkata, "Hendaklah kalian mengambil bumbu-bumbu surga."Lantas dia menceritakan beberapa hikayat.Diriwayatkan dari Abu Hamid Ahmad ibn Mama al-Ashbahani, dia berkata:Saya mendengar al-Baraqiyy berkata, "Cerita ibarat biji-bijian yang diburu oleh hati."Diriwayatkan dari Abdurrahman keponakan al-Ashmu’i, dia berkata, "Saya mendengar paman saya bercerita:Ar-Rasyîd berkata kepada saya, "Seringlah menceritakan hikayat-hikayat ini karena ia bagaikan butiran-butiran mutiara; bisa jadi di antaranya ada sebutir mutiara yang tak ternilai."
Kata bumbu-bumbu surga yang diucapkan oleh Hammad ibn Zaid adalah kiasan dari hikayat-hikayat yang menyentuh hati; membuat pendengarnya merindukan kebaikan; sekaligus menghapus kejenuhan dan kebosanan jiwa. Termasuk di antaranya humor yang jenaka dan anekdot yang digemari serta kisah perjalanan hidup yang sarat teladan kesalehan dan agama.
Setiap hari ada saja orang mengumumkan, “Si A meninggal dunia, si B meninggal dunia.” Suatu saat pastilah ada orang mengumumkan, “Umar meninggal dunia.” — Umar ibn Khaththab r.a.
Kita mati dan hidup setiap malam serta pagi pasti suatu hari 'kan mati tanpa hidup lagi Kita di dunia bak tumpangi kapal layar persegi rasa diam di tempat, padahal zaman antar pergi