Selasa, 16 Mei 2023 0 komentar

Thosin Al Nuqtah (Titik)

بسم الله الرّحمن الرّحيم

  1. Ada yang lebih halus dari itu, yakni penyebutan tentang Titik ‘AzaliyAda yang lebih halus dari itu, yakni penyebutan tentang Titik ‘Azaliy yang berupa Asal, dan yang (keberadaannya) tidak bertambah ataupun berkurang, tidak juga habis sirna dirinya.
  2. Orang yang menyangkal keadaan (hal) batinku telah menyangkalnya, karena tidak mengetahui aku, malah menyebutku bid’ah. Dituduhnya aku dengan sebutan Iblis, serta dianggapnya kekeramatanku sebagai praktik perdukunan, juga demikian terhadap lingkaran suci yang berada di luarnya-luar jangkauan, yang dicemoohkannya.
  3. Orang yang menjangkau lingkaran kedua membayangkan aku menjadi sang Pemangku Ilham.
  4. Orang yang menjangkau lingkaran ketiga mengira aku berada di bawah pengaruh nafsu.
  5. Dan, orang yang menjangkau lingkaran Kebenaran melupakan aku, bahkan perhatiannya beralih dariku.
  6. Tentu saja tidak! Tidak ada seorang pelindung pun. Pada hari itu hanya Tuhan penolongmu untuk kembali. Juga pada hari itu setiap manusia akan diberi tahu tentang perbuatan yang didahulukannya dan yang dilalaikannya.” (QS. 75: 11-13)
  7. Namun, umumnya manusia berpaling pada pernyataan semu, melarikan diri pada sang pelindung, mengkhawatiri pertanda-pertanda, tujuan hidupnya terpedaya, dan akibatnya tersesat.
  8. Aku terisap ke kedalaman samudera kelanggengan (baqo’). Dan, orang yang menjangkau lingkaran Kebenaran itu sibuk di pantai samudera pengetahuan dengan pengetahuannya sendiri, luput pandangan (bashirah) batinnya dariku.
  9. Aku melihat sejenis burung khasysy dari pribadi Shufi yang terbang dengan dua sayap Tashawuf. Ia menyangkal kekeramatanku, sebagaimana ia terus membumbung dalam penerbangannya.
  10. Ia menanyai aku tentang kesucian-batin, dan aku menjawabnya: “Pangkaslah sayapmu dengan gunting penyirnaan-diri (fana’). Kalau tidak, kau tidak dapat mengikuti aku.”
  11. Ia berkata kepadaku: “Aku terbang dengan sayapku menuju Kekasihku.” Aku katakan kepadanya: “Hati-hati buat kau! Sebab, tidak ada yang menyerupai-Nya. Hanya Dia sang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” Maka, seketika itu ia jatuh ke samudera kearifan dan hilang tenggelam.
  12. Orang dapat menggambarkan samudera kearifan sebagai berikut: Aku ‘melihat’ Tuhanku dengan mata hatiku, aku menyapa: “Siapakah Engkau?” Dia menjawab: “Kau!” Namun, bagi-Mu, ‘di mana’ tidak memiliki tempat. Dan, tidak ada ‘di mana’ ketika perhatian hanya menyangkut-Mu. Akal pun tidak punya bayangan tentang keberadaan-Mu dalam (dimensi) waktu, yang memungkinkan akal mengetahui ‘di mana’ adanya Engkau. Engkau adalah Sesuatu yang meliputi setiap ‘di mana’, mengatasi ‘titik’ yang tak di mana-mana. Jadi, ‘di mana’ Engkau adanya?
  13. Sebuah titik-tunggal yang unik dari lingkaran (titik-titik), menandakan beragamnya anggapan tentang kearifan. Adalah sebuah titik-tunggal saja yang dirinya berupa Kebenaran, sedangkan sisanya merupakan kekeliruan.
  14. Ia begitu dekat” saat kenaikannya (mi’raj) – “ia tampak kembali” saat kemuncakannya (transenden). Karena pencarian, ia begitu dekat. Karena kegairahan, ia tampak kembali. Ia menanggalkan hatinya ‘di sana’, dan begitu dekat kepada-Nya. Ia sirna (fana’) ketika ‘melihat’ Alloh, kendati demikian ia tidak sampai tuntas sirna (fana’ ul-fana’). Bagaimana mungkin ia hadir sekaligus tak-hadir? Bagaimana mungkin pula ia tampak dan sekaligus tak-tampak?
  15. Dari ketakjuban ia melintas ke pencerahan, dan dari pencerahan ke ketakjuban. Dengan kesaksian Allah, ia ‘menyaksikan’ Alloh. Ia sampai dan sekaligus pisah. Ia mencapai Pujaan-Nya, dan terputus dari hatinya. “Hatinya tidak berdusta tentang apa yang dilihatnya.” (QS. 53: 11)
  16. Allah menyembunyikannya ketika membuatnya begitu dekat. Dia mengangkatnya dan menyucikannya. Dia membuatnya dahaga dan menyegarkannya. Dia menyucikannya dan memilihnya. Dia menyerunya dan memerintahkannya. Dia menimpainya Cobaan dan menjenguknya untuk membantunya. Dia mempersenjatainya dan mendudukkannya di atas pelana.
  17. Ada sebuah jarak dari “satu rentangan busur”, dan ketika ia kembali, ia pun mencapai sasarannya. Ketika diseru, ia menjawabnya – merasa dilihat, ia rendahkan dirinya. Karena minum, ia merasa puas. Karena mendekat, ia dicekam keterpesonaan. Dan, karena keterpisahan dirinya dari Kota serta para pembantunya, ia pun terpisah dari bisikan nurani, dari pandangan, juga dari lamunan makhluk.
  18. Sahabatmu tidak tersesat,” (QS. 53: 2) ia tidak lemah atau bertambah sedih. Matanya tidak goyah atau lelah oleh suatu ‘Saat’ dari sejatinya masa.
  19. “Sahabatmu tidak tersesat” dalam tafakurnya mengenai Kami. Ia tidak menyeberang dalam kunjungannya kepada Kami, tidak juga melanggar terhadap Risalah Kami. Ia tidak membandingkan Kami dengan yang lain kalau membicarakan Kami. Ia tidak menyimpang di taman zikir dalam tafakurnya mengenai Kami, tidak juga tersesat dalam pengembaraan di alam fikir.
  20. Cukuplah ia mengingat Allah (zikru’lloh) dalam tarikan nafasnya, dan kerdipan matanya. Bertawakkal kepada-Nya dalam kesusahan, dan bersyukur atas nikmat-Nya.
  21. Ini tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan,” (QS. 53:4) dari Cahaya ke ‘Cahaya’.
  22. Ubahlah bicaramu! Kosongkan dirimu dari khayalan, angkatlah kakimu tinggi-tinggi dari manusia serta makhluk lainnya. Bicaralah tentang Dia dengan selaras dan sekadarnya! Jadilah berghairah, dan tenggelamlah dalam keghairahanmu. Ketahuilah – bahwa kau akan terbang melampaui gunung dan lembah, gunung kesadaran dan lembah perlindungan, agar ‘melihat’ Dia yang kau puja-puja. Dan, puasa wajib pun berakhir dengan datang ke Rumah Suci (Ka’bah).
  23. Maka, ia begitu dekatnya kepada Alloh, seperti seorang ’asyiq yang memasuki Ma’syuq. Selanjutnya ia memaklumkan bahwa itu terlarang. Itu seperti sebuah rintangan yang lebih dari cukup untuk melemahlunglaikan. Ia melintas dari Maqam Pembersihan ke Maqam Pencelaan, dan dari Maqam Pencelaan ke Maqam Kedekatan. Ia begitu dekat sebagai pencari, dan ia kembali secara berlari. Ia begitu dekat sebagai pendoa, dan ia kembali sebagai ‘Abdi. Ia begitu dekatnya sebagai penyeru, dan kembali dengan bai’at sebagai Qarib-Nya Ilahi. Ia begitu dekatnya sebagai seorang saksi, dan kembalinya sebagai ahli tafakur.
  24. Jarak di antara keduanya adalah “dua rentangan busur”. Ia membidik tanda ‘di mana’ [‘ayna] dengan panah ‘di antara’ [bayna]. Ia menyatakan bahwa ada dua rentangan busur untuk menetapkan ketepatan tempat-nya, baik karena tiada terlukiskannya sifat Zat, atau karena serasa lebih akrab pada Zatnya-Zat.
  25. Sang Faqir yang Luar dari Biasa (Khariq ul-‘Addah) Al-Husain ibn Manshur Al-Hallaj, berkata:
  26. Aku tidak percaya bahwa ungkapan kita di sini dapat dipahami, kecuali untuk orang yang sampai pada rentangan busur kedua, yang adanya melampaui Lembaran yang Terjaga [Lawh ul-Mahfudz].
  27. Itulah suratan yang tidak mempergunakan huruf Arab ataupun Persia.
  28. Kecuali satu huruf saja, yaitu huruf ‘mim’ (), yang merupakan huruf pertanda “apa yang ia pancarkan.”
  29. ‘Mim’ () yang menandakan “Yang Terakhir”.
  30. ‘Mim’ () yang juga merupakan untaian “Yang Terawal”. Rentangan busur pertamanya adalah ‘Alam Kegagahan (Jabarut), dan yang keduanya adalah ‘Alam Kerajaan (Malakut). Sedangkan Sifat-Nya adalah untaian dua ‘Alam itu. Serta Zat-Nya yang Khusus Beriluminasi (tajalliy khasysy) adalah panah yang Mutlak, panahnya dua rentangan.
  31. Panahnya itu dari Seseorang yang menyalakan api Iluminasi (tajalliy).
  32. Dia berfirman bahwa kepantasan dari pembicaraan adalah yang pengertiannya merupakan gambaran kedekatan. Adapun sang Firman dari pemaknaan ini adalah Kebenaran Allah, bukan metode ciptaan-Nya. Dan, kedekatan ini juga hanya berlaku dalam lingkaran ketepatan yang amat sangat tepat.
  33. Kebenaran dan Kebenarannya-Kebenaran (Allah) ini terdapat dalam halusnya perbedaan, lewat pengalaman sebelumnya, dengan memakai penangkal yang dibuat oleh sang pecinta, untuk membalas keterputusannya dengan segenap kecintaan (makhluk), di pelananya yang sampai secara berbarengan, karena bahaya terus mengancam, serta tajamnya perbedaan, yang diatasinya dengan ayat pembebasan. Inilah jalan (shufi) yang terpilih dalam memperhatikan Diri pribadi. Dan, kedekatannya terlihat sebagai areal luas, agar sang arif (‘irfan) yang taat mengikuti jalannya tradisi nubuwah ini dapat dipahami adanya.
  34. Sang Junjungan Yatsrib (Muhammad), shalawat dan salam atasnya, memaklumkan keagungan yang kerasukan jiwa anggun ini, yang tak-tergugat, yang terawat dalam “Kitab Tersembunyi” (QS. 56: 78), sebagaimana Dia menyatakannya dalam Kitab (alam) Terbuka, dalam “Kitab Tertulis” yang menerangkan makna bahasa burung, ketika Dia mengangkatnya ‘ke sana’.
  35. Apabila kau memahami ini, hai pecinta, pahamilah bahwa Tuhan tidak berbicara kecuali dengan Diri-Nya, atau dengan Sahabat-Nya (waly).
  36. Untuk menjadi Sahabat-Nya, janganlah punya Guru ataupun Murid. Jadilah tanpa pilihan, tanpa perbedaan, tanpa kepura-puraan atau sok-nasihat, jangan mengakui sesuatu itu “miliknya” atau “darinya”. Tapi, apa yang ada padanya cukuplah sebagai “apa yang ada padanya”, tanpa merasa adanya itu “padanya”, sebagaimana gurun tanpa air di suatu “gurun tanpa air”, juga sebagaimana pertanda di suatu “pertanda”.
  37. Wacana umum mengalihartikan maknanya. Makna pun mengalihartikan maksudnya, sedangkan maksudnya terlihat dari kejauhan. Jalannya sulit, namanya agung, tampilannya unik.

    Pengetahuannya adalah ketidaktahuan, ketidaktahuannya adalah kebenaran tunggal, keawamannya adalah sumber rahasianya. Namanya adalah Jalannya, karakter-lahirnya adalah kehangatannya, dan perlambang-batinnya adalah kegairahannya.
  38. Hukum syari’at [syar’iy] adalah ciri-khasnya, kebenaran [haqa’iq] adalah gelanggangnya dan keagungannya. Jiwanya adalah serambinya, Syaitan adalah pengajarnya, dan setiap musafir yang ada dijadikannya sebagai kerabatnya.

    Keinsanan adalah nuraninya, kerendahhatian adalah kemuliaannya, kefanaan adalah subyek zikir-nya, istri adalah tamansarinya, dan fananya-fana adalah singgasananya.
  39. Pelindungnya adalah perlindunganku, prinsipnya adalah peringatanku, syafa’atnya adalah permohonanku, karunianya adalah persinggahanku, dan duka-citanya adalah kesedihanku.
  40. Pewarisannya adalah kedai tempat minum-(ku), lengan bajunya bukan apa-apa kecuali sekadar pengelap debu-(ku). Ajarannya adalah dasar pijakan keadaan (hal) batinnya, sedangkan keadaan batinnya adalah kefanaan. Kendati demikian, sembarang keadaan (ahwal) lainnya dapat menjadi obyek kemurkaan Allah. Makanya cukuplah ini, semoga rahmat Allah besertamu.

0 komentar

Thosin Al Dairoh (Lingkaran)

بسم الله الرّحمن الرّحيم
  1. Pintu ‘ba’ () pertama melambangkan seseorang yang menjangkau lingkaran Kebenaran.Pintu ‘ba’ () kedua melambangkan orang yang menjangkaunya, yang setelah

    memasukinya, sampailah ia ke pintu yang tertutup. Pintu ‘ba’ () ketiga melambangkan seseorang yang tersesat di gurun Sifatnya-Kebenaran.
  2. Ia yang memasuki lingkaran itu jauh dari Kebenaran, sebab jalannya terjegal dan sang penempuh (salik) disuruh kembali. Adapun noktah di atas melambangkan hasratnya. Noktah yang lebih bawah melambangkan kembalinya ke titik-tolaknya, dan noktah di tengah adalah kebingungannya.
  3. Lingkaran dalam tidak memiliki pintu ‘ba’ (), dan ‘titik’ yang ada di dalamnya adalah pusat Kebenaran.
  4. Makna tentang Kebenaran adalah yang darinya, baik lahir maupun batin, tidak ada yang luput. Dan, ia pun tidak direkayasa.
  5. Andaikan kau berhasrat memahami apa yang aku terangkan ini.“ambillah empat ekor ‘burung’, cincanglah buatmu,” (QS. 2: 260) sebab Al-Haqq (Allah) ‘tak-terbang’.
  6. Adalah kecemburuan-Nya yang membuat ia tampak, setelah Dia menyembunyikannya. Adalah keterpesonaan yang menjaga keterpisahan kita. Adalah kebingungan yang mencabut kita dari-Nya.
  7. Inilah makna tentang Kebenaran. Ia lebih licin dari lingkaran Asal, ataupun rancangan Bidang. Dan, yang lebih licin lagi adalah memfungsikan kearifan secara batin, karena ketersembunyiannya (Kebenaran) dari khayalan.
  8. Ini karena sang pengkaji hanya mengkaji lingkaran dari wilayah luar, bukannya dari wilayah dalam.
  9. Adapun tentang pengetahuannya-pengetahuan Kebenaran, sang pengkaji tidak memahaminya, karena ia tidak mampu. Pengetahuan menunjukkan tempat, sedang lingkaran itu ‘tempat’ yang terlarang [haram].
  10. Makanya mereka menamakan Sang Rasul (saw): Haramy, sebab hanya ia seorang yang keluar dari Lingkarang Haram itu.
  11. Ia penuh kegentaran dan keterpesonaan, serta mengenakan jubah Kebenaran. Ia keluar dan menyerukan “Ah!!!” (ﺡﺍ) kepada segenap makhluk.
0 komentar

Thosin Al Shofa (Kebeningan)

بسم الله الرّحمن الرّحيم

  1. Hakikat itu adalah sesuatu yang sangat halus, dan sulit menguraikannya. Jalan untuk menempuhnya sempit, dan tentang jalannya itu, seorang penempuh (salik) harus mengarungi 'kobaran api' di tengah gurun yang dalam. Seorang asing (gharib) telah mengikuti jalan ini, dan menyampaikan bahwa apa yang dialaminya ada empat puluh Maqom, yaitu:
    1. Kesopan santunan ['adab],
    2. Kegentar hatian [rahab],
    3. Kejerih payahan [nashab],
    4. Penuntutan-diri [thalab],
    5. Ketakjuban ['ajab],
    6. Peniadaan ['athab], 
    7. Pemujaan[tharab], 
    8. Pendambaan [syarah],
    9. Penjernihan [nazah],
    10. Kelurusan [shidq],
    11. Persahabatan [rifq],
    12. Persamaan [litq],
    13. Keberangkatan [taswih],
    14. Penghiburan [tarwih],
    15. Ketajaman [tamyiz], 
    16. Penyaksian [syuhud], 
    17. Keberadaan [wujud],
    18. Penghitungan ['add], 
    19. Pengupayaan [kadda], 
    20. Pemulihan [radda], 
    21. Perluasan [imtidad], 
    22. Pengolahan [i'dad], 
    23. Penyendirian [infirad],
    24. Pengendalian [inqiyad], 
    25. Kemauan [murad], 
    26. Kehadiran [hudur], 
    27. Pelatihan [riyadhah], 
    28. Kehati-hatian [hiyathah], 
    29. Penyesalan [iftiqad], 
    30. Kedayatahanan [istilad],
    31. Pengawasan [tadabbur], 
    32. Keterkejutan [tahayyur], 
    33. Perenungan [tafaqqur], 
    34. Kesabaran [tashabbur], 
    35. Penafsiran [ta'abbur], 
    36. Penolakan [rafdh], 
    37. Pengoreksian [naqd], 
    38. Pengamatan [ri'ayah], 
    39. Pembimbingan [hidayah], 
    40. Permulaan-jalan [bidayah].
      Maqam terakhir ini adalah maqam-nya orang-orang yang Hatinya tenang dan suci (shufi).
  2. Tiap maqam memiliki keadaan (hal) spiritualnya sendiri sebagai pahalanya, yang sebagiannya mungkin diperoleh dan sebagian lainnya tidak.
  3. Adapun sang Ghorib yang telah mengarungi gurun (hakikat) dan menyeberanginya, telah mencakupnya serta memahaminya secara keseluruhan. Ia tidak memperoleh sesuatu yang lazim ataupun biasa, tidak di gunung ataupun di darat.
  4. "Ketika Musa (as) menunaikan tugasnya", ia meninggalkan ummatnya karena hakikat akan merengkuhnya sebagai 'milik'-Nya. Tapi, masih juga ia berpuas dengan penerangan semu tanpa pandangan (bashirah) batin langsung, sehingga ada perbedaan antara ia dan sang Insan Kamil [Muhammad saw]. Karena itu ia (Musa as) berkata: "Siapa tahu aku dapat membawa sedikit penerangan untukmu." [Q. 20: 10]
  5. Andaikan sang Pembimbing Utama puas dengan penerangan semu, bagaimana dapat seseorang yang menempuh jalan (thariqah) tidak mencukupkan dirinya dengan jejak semu.
  6. Dari Semak yang Terbakar, di Bukit Sinai, apa yang kedengarannya difirmankan Semak bukanlah dari Semak atau belukarnya, tetapi (firman) Allah.
  7. Dan peranan 'aku' adalah seperti 'Semak' itu.
  8. Jadi, hakikat adalah 'hakikat' dan makhluk adalah 'makhluk'. Makanya buanglah sifat kemakhlukanmu, supaya kau sesuai dengan-Nya, beserta Dia -- kau pun dalam liputan hakikat.
  9. 'Aku' sejati adalah subyek, dan obyek yang terurai adalah subyek dalam hakikatnya. Soalnya adalah bagaimana itu terurai?
  10. Allah berfirman kepada Musa (as): "Kau bimbinglah (ummatmu) pada Bukti (al-Hujjah)," tapi bukan pada Obyeknya Bukti. Adapun bagi-Ku, Aku adalah 'Bukti' dari setiap bukti.
  11. Allah membuatku melampaui apa adanya hakikat dengan kesepakatan, perjanjian, dan persekutuan. Rahasiaku adalah penyaksian (syahadah) langsung tanpa (keikutsertaan) pribadi makhlukku. Itulah rahasiaku, dan inilah hakikat.
  12. Allah memfirmankan pengetahuanku melalui 'aku' dari hatiku. Dia menarikku dekat pada-Nya setelah jauh dari-Nya. Dia membuat aku menjadi Sahabat (Waly)-Nya, Dia memilih aku…
0 komentar

Thosin Al Fahm (Pemahaman)

بسم الله الرّحمن الرّحيم

  1. Pemahaman tentang alam-makhluk tidak terkait dengan hakikat, dan hakikat tidak juga terkait dengan alam-makhluk. Pemikiran [yang asal-terima] adalah taqlid, dan taqlid-nya alam-makhluk tidak ada keterkaitannya dengan hakikat. Pengertian tentang hakikat itu sulit dicapai, makanya betapa lebih sulit lagi mencapai pengertian tentang hakikatnya-Hakikat (Allah). Apalagi, Allah itu di luar hakikat, dan hakikat tidak dengan sendirinya menyatakan 'ada'-Nya Allah.
  2. Sang laron terbang di sekeliling nyala api hingga terbit fajar. Lalu, ia kembali ke teman-temannya, dan menceritakan keadaan (hal) spiritualnya dengan ungkapan yang penuh kesan. Ia berpadu (hulul) dengan geliatnya nyala api dalam hasratnya untuk mencapai Penyatuan (Tawhid) yang sempurna.
  3. Cahayanya nyala api adalah Pengetahuan ('llm) hakikat, panasnya adalah Kenyataan ('Ayn) hakikat, dan Penyatuan dengannya adalah Kebenaran (Haqq) hakikat.
  4. Ia merasa tidak puas dengan cahayanya ataupun dengan panasnya, sehingga ia melompat ke dalam nyala api langsung. Sementara itu, teman-temannya menantikan kedatangannya, supaya ia menceritakan kepada mereka tentang 'penglihatan' aktualnya, karena ia merasa tidak puas dengan kabar angin saja. Tetapi, ketika itu ia tengah tuntas sirna (fana'), musnah dan buyar ke dalam serpihan-serpihan, yang tersisa tanpa wujud, tanpa jasad ataupun tanda pengenal. Jadi, dalam peringkat (maqam) apa ia dapat kembali ke teman-temannya? Dan, keadaan (hal) spiritual apa yang tengah dicapainya sekarang? Ia yang sampai pada pandangan (bashirah) batin niscaya sanggup terlepas dari pekabaran saja. Juga ia yang sampai pada inti pandangan batin tidak lebih prihatin tentang pandangan batinnya.
  5. Pemaknaan (masalah) ini tidak menyangkut manusia yang alpa, tidak juga manusia yang maya, atau manusia yang penuh dosa, ataupun manusia yang menuruti hawa-nafsunya semata.
  6. Wahai kau yang ragu-ragu! Jangan persamakan 'aku' (insani) dengan 'Aku' Ilahi -- janganlah sekarang, janganlah di masa depan nanti, janganlah pula di masa lampau dulu. Bahkan, kendatipun 'aku' itu merupakan pencapaian seorang 'Arif, kendatipun ini merupakan keadaan (hal) spiritual, namun itu bukanlah kesempurnaan. Kendatipun 'aku' adalah milik-Nya, namun 'aku' bukanlah Dia.
  7. Bila kau memahami ini, maka pahamilah juga bahwa pemaknaan (masalah) itu bukanlah kebenaran bagi siapa pun kecuali (bagi) Muhammad (sholallohu 'alaihi wasallam), dan "Muhammad bukanlah bapak dari salah seorang kerabatmu" (Q. 33: 40) tapi Rasululloh (Utusan Allah) dan penutup para nabi (khatam an-nabiyyin). Ia mem-fana'-kan dirinya dari manusia dan jin, serta memejamkan matanya ke (arah) 'mana' pun, hingga tidak lagi tersisa kepalsuan hati ataupun kemunafikan.
  8. Ada suatu "jarak sepanjang dua busur" lebarnya (Q. 53: 9), atau lebih dekat lagi, saat ia mencapai gurun Pengetahuan hakikat, dan "ia beritahukan hal itu dari hati lahirnya (fu'ad)" (Q. 53: 10). Ketika sampai pada Kebenaran hakikat, ia menanggalkan hasratnya di situ, dan mempersembahkan dirinya naik ke Hadirat Sang Pengasih. Setelah mencapai Kebenaran (Allah), ia pun kembali sambil berkata: "Hati-batinku bersujud kepada-Mu, dan hati-lahirku beriman kepada-Mu." Ketika mencapai Pohon-Batas Penghabisan, ia berkata: "Aku tidak dapat memuji-Mu sebagaimana mestinya Engkau dipuji." Dan, ketika mencapai Kenyataan hakikat, ia berkata: "Hanya Engkau Sendiri yang dapat memuji Diri-Mu." Ia menanggalkan lagi hasratnya, dan menuruti panggilan tugasnya, "hatinya tidak berdusta tentang apa yang dilihatnya" (Q. 53:11) di maqam dekat Pohon-Batas-Terjauh (Sidrat al-Muntaha). (Q. 53:14) Ia tidak berpaling ke kanan, ke arah hakikat sesuatu, tidak juga ke kiri, ke arah Kenyataan hakikat. “Penglihatan (Nabi Muhammad) tidak berkisar daripada menyaksikan Dengan tepat (akan pemandangan Yang indah di situ Yang diizinkan melihatnya), dan tidak pula melampaui batas." (Q. 53: 17)
0 komentar

Thosin Al Siraj (Pelita Nubuwah Nabi Muhammad SAW)

بسم الله الرّحمن الرّحيم

  1. Sang Pelita (As-Siroj) tampak dan tercerah dari Cahaya Keghaiban, ia terpancar dan (tampak) kembali, dan melampaui pelita-pelita lain. Ia rembulan yang cemerlang, yang menampakkan kecemerlangannya lebih dari bulan-bulan lain. Ia bintang yang graha perbintangannya di Langit ‘Azaly. Allah menyebutnya ‘ummi (awam) atas dasar keterpusatan aspirasinya,juga harami (suci) disebabkan kelimpahan syafa’atnya, dan makki (pusat) karena kedekatannya di Hadirat-Nya.
  2. Dia (Allah) lapangkan dadanya, Dia tingkatkan kekuatannya, dan mengangkatnya dari beban“yang memberati punggungnya” (Qs. 94: 2-3) serta Dia tetapkan kewenangannya. Sebagaimana Allah membuat ‘Badr’-nya terpancar, demikianlah purnamanya muncul dari awan Yamamah, mentarinya terbit di bukit Tihamah [Makkah],dan pelitanya bersinar gemerlap dari sumur Karomah (Zamzam).
  3. Ia tidak menyampaikan sesuatu kecuali yang menyangkut pandangan (bashiroh) batinnya, dan tidak mewajibkan diikuti keteladanannya kecuali yang menyangkut kebenaran Sunnahnya. Ia berada di Hadirat Allah, dan ia mengajukan yang lain ke Hadirat-Nya. Ia telah ‘melihat’ (Kebenaran), lalu ia sampaikan apa yang dilihatnya. Ia telah diutus sebagai sang Pemberi Tunjuk, maka ia menggariskan batas (halal-haram) perilaku.
  4. Tidak seorang pun mampu mengungkapkan kebenaran maknanya kecuali sang Tulus Hati (Al-Amin) ini. Karena ia menegaskan ke-syahid-annya, serta mengiringkannya, maka tiada lagi tersisa perbedaan di antara kaumnya.
  5. Tiada seorang arif (‘irfan) pun yang merasa ‘kenal’ padanya, yang tidak keliru mengenali kebenaran kualitasnya. Kualitasnya hanya jelas kepada seseorang yang Allah bimbing untuk menyingkap (kasyf) tabirnya, “Yaitu yang telah Kami berikan kepadanya Kitab, mereka mengenalinya seperti mengenali anak-anaknya. Namun, sebagian mereka menyembunyikan kebenarannya, padahal mereka mengetahui.” [Q. 2: 146]
  6. Segenap cahaya nubuwah berasal dari cahayanya, dan cahayanya tercerahkan dari Cahaya yang Ghaib. Di antara cahaya-cahaya itu tidak ada yang lebih gemerlap, lebih nyata atau lebih mutlak dari cahayanya sang Junjungan Semesta Rahmat ini
  7. Aspirasi (himmah)-nya mendahului segenap aspirasi lain, adanya mendahului ‘Tiada’ (‘Adam), namanya mendahului ‘Pena’ (Qolam), sebab keberadaannya terdahulu ada sebelum apa pun.
  8. Tidak pernah ada di atas semesta atau di luar semesta, tidak juga di balik semesta, sesuatu yang lebih indah, lebih agung, lebih bijak, lebih adil, lebih kasih, lebih taat atau lebih takwa, yang lebih dari sang Tokoh Utama ini.Gelarnya adalah sang Junjungan Makhluk, namanya adalah Ahmad, dan harkatnya adalah Muhammad. Perintahnya penuh kepastian, hikmahnya penuh kebaikan, sifatnya penuh kemuliaan, dan aspirasinya penuh keunikan.
  9. Maha Suci Allah! Adakah yang lebih nyata, lebih tampak, lebih agung, lebih masyhur, lebih kemilau, lebih perkasa ataupun cendekia, yang lebih darinya? Ia – sungguh – telah dikenal sebelum penciptaan sesuatu, yang ada, juga semesta. Ia senantiasa diingat sebelum adanya ‘sebelum’ dan setelah adanya ‘setelah’, juga sebelum ada substansi dan kualitas. Substansinya adalah cahaya semata, ucapannya adalah nubuwah, hikmahnya adalah wahyu, gaya bahasanya adalah Arab, kesukuannya adalah “tiada Timur dan tiada Barat” [Q. 24: 35], silsilahnya adalah garis kebapakan, misinya adalah damai, dan sebutannya adalah ‘ummi (awam).
  10. Segenap mata terbuka dengan isyaratnya, segenap rahasia dan segenap jiwa terasa dengan kehadirannya yang ada.
  11. Adalah Allah, yang membuatnya fasih menghafalkan rangkaian Firman-Nya, dan menjadi Bukti (Al-Hujjah) yang meneguhkannya. Juga Allah yang mengutusnya, dan ia adalah Bukti - Senyatanya Bukti. Adalah ia yang memuaskan dahaga hati pendamba yang kehausan, yang tidak tersentuh apa pun, tidak terkatakan lidah, tidak juga terekayasa, yang 'menyatu' dengan Allah tanpa terpisahkan, bahkan jauh di luar jangkauan pikiran. Pokoknya ia yang mengabarkan adanya akhir, dan akhirnya akhir, serta akhir-akhirnya akhir.
  12. Ia singkapkan awan, dan menunjuk ke Rumah Suci (Bayt al-Haram). Ia adalah 'pembeda', bahkan ia adalah panglima perang. Adalah ia yang diperintah untuk meluluh lantakkan berhala-berhala, juga ia yang diutus kepada umat manusia untuk membasmi pemujaan.
  13. Di atasnya awan bergemuruh menyambarkan kilat, dan di bawahnya kilat menyambar gemuruh, berkilatan, mencurahkan hujan, serta menyuburkan. Segenap pengetahuan hanyalah setetes dari samuderanya, segenap kearifan hanyalah secauk dari bengawannya, dan segenap waktu hanyalah sesaat dari masanya.
  14. Allah (‘ada’) bersamanya, dan bersamanya adalah hakikat. Ia yang pertama dalam kesatuan (penciptaan) dan terakhir yang diutus sebagai Rasul, yang hakikatnya bersifat batin, dan ma’rifatnya bersifat lahir.
  15. Tiada seorang pakar pun yang pernah mencapai hikmahnya, bahkan para filsuf niscaya tersadar atas kearifannya.
  16. Allah tidak menyerahkan [hakikat-Nya] itu kepada makhluk-Nya, sebab ia adalah ‘ia’, dan ia adanya bersama Dia, sedangkan Dia adalah ‘Dia’.
  17. Tidak ada apa pun yang keluar dari ‘Mim’ (م) -nya Muhammad (محمد) ,dan tidak ada yang masuk ke ‘Ha’ (ح)-nya. Adapun ‘Ha’ (ح)-nya sebagaimana ‘Mim(م)-nya yang kedua, sedangkan ’Dal’ (د)-nya seperti ‘Mim’ (م)-nya yang pertama. ‘Mim’ (م)-nya yang pertama adalah peringkat (maqam)-nya, serta ‘Ha’ (ح)-nya adalah keadaan (hal) spritualnya, sebagaimana ‘Mim’ (م) -nya yang kedua.
  18. Allah membuat bicaranya jelas, menambah nilainya, dan membuat bukti (hujjah)-nya dikenal. Dia menurunkan wahyu Pembeda [Al-Furqan] kepadanya. Dia membuat lidahnya fasih, dan Dia membuat hatinya terang. Dia membuat ummat sezamannya tidak mampu [memalsu Al-Qur’an].Dia pun mengakui kejelasannya, dan memuji kemuliaannya.
  19. Andaikan kau melarikan diri dari kewenangan syari’at-nya, adakah jalan (lain) yang dapat kau tempuh, tanpa adanya pembimbing, hai orang yang malang? Ketahuilah, segenap fatwa para filsuf berantakan, seperti gundukan pasir, dibandingkan hikmahnya.
 
;