Jumat, 02 November 2018

Malam Panjang Di Mina

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Tahun kedua di Tarim, Alhamdulillah… Allah mengizinkan aku melaksanakan rukun Islam yang ke lima. Setelah kepulangan kakakku ke tanah air dan aku kemudian menetap di asrama Daruz Zahro bersama pelajar-pelajar yang lain, keluargaku menyarankan aku berangkat haji dari Yaman.
“Pasti lebih murah … udah dekat kan?” kata mereka
Dan ini adalah sepenggal kisah indah yang tersisa….

Tanggal 8 dzulhijjah kala itu, ketika kami beberapa orang pelajar putri Daruz Zahro berangkat naik bis bersama rombongan dari tempat kami tinggal selama di Mekkah menuju Mina untuk mengerjakan sunnah haji, menginap di Mina pada malam Arofah.

Tenda yang kami tempati selama di Mina ternyata sangat besar dan mewah hingga 200 orang-an bisa tertampung di dalamnya. Tak ada orang Indonesia selain dari kami. Mereka yang di tenda itu adalah warga Mekkah, Madinah, Yaman, Mesir, Oman, Kuwait dan Negara arab-arab lainnya. Beruntung bahasa arab ku kala itu sudah cukup baik hingga aku bisa berkomunikasi dengan tetangga-tetangga baruku di kemah tersebut.

Dan beliau adalah tetangga yang bersebelahan tempat tidurnya denganku. Seorang wanita berusia enam puluhan tahun. Khadijah namanya, jujur sebenarnya aku tidak tahu apa-apa tentangnya dan tidak terlalu peduli padanya. Namun ketika nyaris semua orang Mekkah, Madinah dan sekitarnya selalu mengelilingi beliau, mulai dari sekedar curhat, hingga mereka meminta tangan Hubabah Khadijah begitu mereka memanggil beliau- untuk diletakkan di dada mereka sambil berdoa, tahulah aku bahwa beliau tentu bukan sembarang orang, dan akupun merasa bangga menjadi tetangganya meski hanya untuk beberapa malam saja, bukankah tetangga punyak hak lebih dari yang lainnya? Jika mereka mendapat jatah doa dari beliau, aku seharusnya mendapat lebih dari mereka semua. Maka aku mempersiapkan diri untuk mendapatkannya..

●●●

Keesokan harinya, rangkaian ibadah haji yang yang dimulai dengan Wuquf di Arofah, Thowaf, Sa’I hingga melempar jumrah yang berturut-turut membuatku berada di titik terendah kekuatn fisikku.
Maka, ketika kembali pulang ke Mina untuk Mabit (bermalam) di tiga hari Tasyrik (Tanggal 11,12,13 dzulhijjah), aku tak peduli apa-apa lagi. Selepas Tahallul dan mandi, kelelahan membuatku tidur lelap sekali.

Pendekatanku pada beliau di mulai pada hari Tasyrik pertama, usai melempar jumroh di sore hari aku menghampiri beliau dan kukatakan padanya tentang adanya hak tetangga untuk mendapatkan jatah doa dan nasihat darinya, beliau tersenyum dan bukan mendoakan malah mengajakku mengunjungi seseorang yang sakit di tenda itu , kepalanya terkena lemparan batu saat melempar jumroh pagi tadi.
“Sebagai tetangga yang baik, mari kita kunjungi tetangga kita yang sedang tertimpa musibah” katanya menggodaku sembari menarik tanganku.

Aku menemani beliau sampai adzan maghrib terdengar berkumandang dari tenda lelaki samping tenda kami. Usahaku ternyata belum membuahkan hasil.

●●●

Selepas sholat, makan malam dan mendengarkan ceramah dari guru kami Alhabib Umar bin Hafidz yang suaranya diperdengarkan lewat pengeras suara ke tenda wanita, aku kembali mendekati beliau. Kali ini lengkap dengan berbekal sebotol air mineral untuk beliau bacakan doa. Aku memang dibesarkan dalam keluarga yang percaya hal-hal semacam ini. Jika seseorang dalam keluarga kami sakit, ayahku biasa membacakan doa, dzikir, ayat qur’an dan sholawat pada air yang kemudian diminumkan kepada yang sakit. Aku yakini hal-hal semacam ini, meski penemuan tentang hidupnya air dan reaksinya yang menjadi energi positif ketika diucapkan kata-kata yang baik baru kutahu 7 tahun kemudian dari sebuah buku karya seorang professor besar di Jepang.

Aku ajukan air itu pada beliau namun beliau berkata;
“Wudhuku batal, bagaimana jika saya wudhu terlebih dahulu, tetangga kecilku…?” katanya.
Aku mengangguk tanda setuju
Selepas wudhu beliau langsung mengerjakan sholat yang kutahu pastilah sholat sunnah wudhu. Begitu ia salam dari sholatnya aku menyodorkan kembali air itu. Beliau mengambilnya lalu meletakkannya di  sampinng tempat tidur seraya bekata
“Bagaimana kalau saya sholat sunnah witir dulu barang dua rakaat?”
Aku tentu tak mungkin mencegahnya. Aku cuma bisa mengangguk pasrah. Dan memilih untuk menunggu beliau selesai sholat sambil duduk di atas tempat tidurku sendiri.
Sholatnya ternyata lama sekali, aku mulai tak sabar menunggu. Dan mungkin karena kelelahan setelah mengerjakan ibadah haji kemarin, mataku  mulai nanar tak jelas memandang, pertanda kantuk mulai menyerang.

Aku beringsut membaringkan tubuhku, dan sampai menjelang aku tertidur aku masih melihat beliau belum selesai dari 2 rakaat Witirnya yang entah surat apa yang di baca
Aku terbangun dan melihat kemah sudah lewat pukul dua belas malam dan ternyata aku dapati Hubabah Khadijah masih mengerjakan sholatnya. Aku memandangnya takjub tanpa beranjak dari tempat tidurku, sekilas dari cahaya remang-remang kusaksikan matanya yang sembab dan airmata mengalir membasahi pipinya yang mulai keriput. Aku terus memandanginya sampai mataku tak bisa lagi berkompromi. Aku kembali tak sadarkan diri, tertidur pulas sekali.

Aku terbangun lagi dan segera kulihat jam yang kutaruh dibawah bantalku, jam dua dini hari. Tenda masih gelap, taka ada suara, begitu sunyi senyap, semua orang sepertinya sudah tertidur lelap.
Namun, Subhanaallah…

Hubabah Khadijah kulihat masih berdiri dalam sholatnya entah di rakaatnya yang ke berapa?
Aku memandanginya dengan iri kali ini, dan bukan air mata di pipinya yang kusaksikan dalam keremangan cahaya tapi justru seulas senyum terpancar dari wajahnya dan kulihat tak ada tanda kelelahan disana.

Aku hanya bisa memandanginya, dan sungguh baru mampu sekedar  memandanginya karena untuk bangun dan melaksanakan sholat bersamanya, rasanya badan ini begitu malas dan penat luar biasa. Kubiarkan diriku tertidur lagi.

Aku terjaga kembali dan kali ini lampu tenda sudah menyala, terlihat beberapa orang tengah mengerjakan sholat Tahajjud di sela-sela tempat tidur, terdengar pula suara dzikir dibacakan dari kemah sebelah. Aku memaksakan diri untuk bangun sendiri dan mengambil wudhu. Namun sebelum aku benar-benar berdiri, baru kusadari Hubabah Khadijah masih tengah sujud dalam sholatnya. Aku terkesimadan takjub luar biasa. Sungguh seumur hidup, baru kali ini aku menyaksikan seseorang sholat di sepanjang waktu malam, dan andai tak menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri barangkali aku tak pernah percaya bahwa di zaman sekarang ini masih ada seseorang melakukannya…

Aku ambil botol air mineralku yang semalam beliau letakkan di samping sajadahnya, menutupnya dan tak lagi merengek padanya untuk membacakan doa pada air tersebut. Pemberian Allah kepada beliau  semalam dalam sholat pastilah membuat air ini benilai luar biasa

●●●

Terngiang ucapan AlHabib Umar di suatu sore saat memberi pelajaran di majelis rauhahnya;
“Akan selalu ada di muka bumi ini hamba-hamba yang hidup mereka telah diwakafkan untuk-Nya, siang mereka adalah berbuat baik kepada sesama dan malam mereka bersimpu di mihrab, mendekatkan diri kepada Tuhan dengan ruku, sujud dan berdiri menghadap-Nya tanpa kenal lelah.. mereka adalah hamba-hamba Allah terbaik , yang karena rintihan doa-doa mereka. Allah memberi rahmat kepada kita semua, hamba-hamba-Nya.”

0 komentar:

Posting Komentar

 
;