Senin, 26 September 2022 0 komentar

Gallery Foto Habib Usman bin Yahya

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Habib Usman bin Yahya



Habib Usman bin Yahya adalah mufti Batavia di era kolonial Hindia Belanda Abad 19


0 komentar

Gallery Foto KH. Muhammad Syarwani Abdan (Guru Bangil)

بسم الله الرّحمن الرّحيم















0 komentar

Manaqib KH. Muhammad Syarwani Abdan (Guru Bangil)

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Tuan Guru KH. Muhammad Syarwani Abdan - Guru Bangil

Berikut ini adalah Manaqib & Riwayat Hidup Al 'Alimmul Al 'Allamah Al Arrif Billah Syeikh Muhammad Syarwani Abdan (Guru Bangil ) :
Guru Bangil adalah seorang ulama yang alim dan tawadhu’. Keluasan dan ketinggian ilmu beliau diakui, sehingga banyak orang yang belajar dan menuntut ilmu dengan beliau, termasuk pula para kyai.
 

Ketika hidup, beliau menjadi referensi bagi para guru agama dan masyarakat dalam memecahkan berbagai permasalahan keagamaan. Keilmuan dan kiprah keagamaan beliau telah memberikan sumbangsih besar terhadap pembangunan mental spiritual umat, tidak hanya di kota kelahiran beliau Martapura, akan tetapi juga di Kota Bangil tempat Beliau menetap dan meninggal dunia. Secara geneologis, Guru Bangil merupakan generasi ke-8 dari ulama besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan salah seorang guru dari ‘Alimul Fadhil Tuan Guru Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Guru Sekumpul).

Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah (Simpanan Berharga, Masalah Talqin, tahlil dan Tawassul) adalah salah satu karya tulis Guru Bangil yang paling populer, dicetak, dipublikasikan, dan banyak dijadikan rujukan oleh masyarakat Banjar, terutama di Martapura dan Bangil.

LATAR BELAKANG

Umumnya, dalam komunitas Islam diberbagai daerah kehadiran ulama dalam memberi warna kehidupan masyarakat memang sangat signifikan. Ulama memiliki kedudukan sangat penting di tengah-tengah masyarakatnya, sehingga kata-katanya dipatuhi dan perilakunya diikuti. Dalil utama yang sering menjadi sandaran atas peran penting ulama, sehingga mereka menjadi tokoh kunci (key people) dalam masyarakatnya tersimpul dalam hadits Nabi Saw: “Ulama adalah pewaris para Nabi”.

Menurut bahasa, ulama merupakan bentuk plural dari kata alim, yang berarti orang yang mempunyai sifat tahu, mengerti, terpelajar, berilmu atau ilmuwan. Dalam Alquran seperti tercantum dalam surah Asy Syuraa 197 dan Al Fathir 28 dijelaskan bahwa makna ulama yang terkandung dalam ayat tersebut tidak selalu merujuk kepada pengertian khusus yang berarti sebagai orang-orang yang berpengetahuan agama saja, namun ia bersifat umum. Karena itu jika kita telusuri ulama hanyalah salah satu kelompok atau sinonim dari apa yang disebut dengan istilah ulil albab, yakni orang-orang yang berakal, mempunyai pikiran, cendikiawan. Ulama dianggap sebagai orang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman luas akan agama serta memiliki kebijaksanaan (men of understanding and men of wisdom).

Dalam Alquran, kata-kata ulil albab disebut enam belas kali, antara lain mereka yang termasuk dalam kelompok ulil albab disebut sebagai “orang yang diberi hikmah” (Al-Baqarah 269), “orang yang sanggup mengambil pelajaran” (Yusuf 111), “mereka yang kritis mendengarkan pemikiran orang lain” (Az-Zumar 18), “orang yang bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu” (Ali Imran 109), “orang yang mengambil pelajaran dari kitab yang diwahyukan oleh Allah” (As-Shaad 29, Al-Mu’min 54 dan Ali Imran 7), dan “orang-orang yang merasa takut kepada Tuhannya”.

Karena itulah, Ali Syariati (seorang sosiolog Muslim Iran) menjuluki kelompok ulil albab tersebut sebagai pemikir yang mencerahkan. Ulama diibaratkan tongkat pemandu jalan di siang hari dan obor penerang di malam Karena itu, kehadirannya tidak hanya concern dengan peran keulamaannya semata, tetapi mestinya juga terpanggil untuk melaksanakan kebenaran guna memperbaiki kehidupan masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskan bahasa yang dapat dipahami mereka, serta siap menawarkan strategi dan alternatif solusi cerdas terhadap berbagai problem yang dihadapi oleh masyarakat. Inilah tugas utama ulama kata Syariati. Untuk itu, mestinya ia tidak hanya pandai dalam ilmu-ilmu agama, akan tetapi ia juga harus tahu ilmu-ilmu pengetahuan lain guna menunjang tugas yang diembannya selaku waratsatul anbiyaa.

Imam Ali bin Abi Thalib ra menegaskan bagaimana strategisnya kedudukan ulama di tengah-tengah masyarakat. Menurut Imam Ali: “Ulama adalah lampu Allah di bumi, maka barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, dia akan memperoleh cahaya (ilmu) itu darinya. Kedudukan ulama bagaikan pohon kurma, engkau menunggu kapan buahnya jatuh kepadamu. Jika seorang ulama meninggal, maka terjadi lubang dalam Islam yang tidak tertutupi sehingga datang ulama lain yang akan menggantikannya. Kesalahan yang dilakukan ulama seperti pecahnya sebuah kapal, yang tidak hanya menenggelamkan dirinya, akan tetapi juga orang-orang yang ikut bersamanya”.

Dari kota Martapura, salah seorang ulama yang terkenal namanya bagi masyarakat Banjar (Martapura) dan masyarakat Bangil (Pasuruan) khususnya, adalah Tuan Guru H. Muhammad Syarwani Abdan. Karenanya, bagi masyarakat Banjar dan masyarakat Bangil, nama Guru Bangil, pendiri Pondok Pesantren Datuk Kalampayan di Kota Bangil Kabupaten Pasuruan Jawa Timur tidaklah asing lagi. Keilmuan dan kiprah keagamaan beliau telah memberikan sumbangsih besar terhadap pembangunan mental spiritual umat, tidak hanya di daerah kelahiran beliau Kota Martapura dan sekitarnya, akan tetapi juga di Kota Bangil (Pasuruan).

Tuan Guru H. Muhammad Syarwani Abdan yang akrab dipanggil Guru Bangil dikenal sebagai seorang ulama yang alim dan tawadhu’. Keluasan dan ketinggian ilmu beliau diakui, sehingga banyak orang yang belajar dan menuntut ilmu dengan beliau, termasuk pula para kyai yang ada di Kota Pasuruan, Bangil dan sekitarnya. Ketika hidup, beliau menjadi referensi bagi para guru agama dan masyarakat dalam memecahkan berbagai permasalahan keagamaan. Guru Bangil juga dikenal sebagai salah seorang keturunan ulama besar Kalimantan, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang aktif berdakwah dan berjuang tanpa pamrih.

Kiprah Guru Bangil untuk membangun spiritual dan kecerdasan beragama masyarakat merupakan sumbangsih besar yang menarik untuk dikaji. Karena, aktivitas keulamaan dan pemikiran keagamaan Guru Bangil telah memberi warna tersendiri dalam kehidupan masyarakat Islam dan menjadi aset penting bagi masyarakat Banjar dan Bangil khususnya.

PROFIL DAN SEJARAH HIDUP GURU BANGIL

A. Kelahiran

Guru Bangil yang bernama lengkap H. Muhammad Syarwani Abdan bin H. Muhammad Abdan bin H. Muhammad Yusuf bin H. Muhammad Shalih Siam bin H. Ahmad bin H. Muhammad Thahir bin H. Syamsuddin bin Sa’idah binti Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dilahirkan di Kampung Melayu Ilir Martapura. Tidak diketahui secara pasti kapan tanggal kelahiran beliau, dari beberapa catatan yang ada hanya dituliskan tahun kelahiran beliau, yakni pada tahun 1915 M/1334 H.

Menurut silsilahnya, Guru Bangil merupakan zuriat ke-8 dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, dari istri Al-Banjari yang kedua, yang bernama Tuan Bidur. Moyang Guru Bangil yang bernama Sa’idah adalah anak dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Tuan Bidur. Sa’idah memiliki saudara tiga orang, yakni ‘Alimul ‘Allamah Qadhi H. Abu Su’ud, ‘Alimul ‘Allamah Qadhi H. Abu Na’im, dan ‘Alimul ‘Allamah Khalifah H. Syahabuddin.

Guru Bangil terlahir dari keluarga yang agamis dan dikenal luas oleh masyarakat Martapura sebagai ‘keluarga alim’. Ayahnya bernama H. Muhammad Abdan bin H. Muhammad Yusuf, sedangkan ibunya bernama Hj. Mulik. Guru Bangil mempunyai 7 orang saudara kandung, nama-nama saudara Guru Bangil tersebut adalah: H. Ali, Hj. Intan, Hj. Muntiara, Abd. Razak, Husaini, Acil, dan H. Ahmad Ayub

Selain mempunyai saudara sekandung yang berjumlah 7 orang, Guru Bangil juga mempunyai saudara seayah, di antaranya adalah Abd. Manan dan H.M. Hasan.

B. Pendidikan

Pendidikan keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama yang dirasakan oleh Guru Bangil. Berdasarkan catatan H. Abu Daudi dalam bukunya, “Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari: Tuan Haji Besar”, sejak kecil Guru Bangil sudah dikenal sebagai seorang yang memiliki himmah kuat untuk belajar dan menuntut ilmu, terutama ilmu agama. Beliau dikenal sebagai anak yang rajin dan tekun dalam belajar, sehingga disayangi dan disenangi oleh guru-guru beliau. Terlebih-lebih beliau berasal dari dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang agamis dan “Serambi Mekkah”, Martapura. Karena itu, di samping dididik dalam lingkungan dan oleh keluarga, Guru Bangil juga mendapat didikan dan mulai menyauk ilmu agama di Pesantren Darussalam Martapura dan dari sejumlah ulama besar yang hidup pada waktu itu, antara lain kepada ‘Alimul ‘Allamah Tuan Guru H. Kasyful Anwar bin H. Ismail, ‘Alimul Fadhil Qadhi H.M. Thaha, dan ‘Alimul Fadhil H. Isma’il Khatib Dalam Pagar, Martapura.

Beliau juga pernah belajar ilmu agama dengan Guru Mukhtar Khatib, di mana menurut cerita yang berkembang, beliau belajar sambil mengayuh jukung (perahu).

Setelah cukup banyak belajar ilmu agama di Martapura, Guru Bangil pada usia yang masih muda meninggalkan daerah asalnya Martapura menuju pulau Jawa dan bermukim di kota Bangil, dengan satu tujuan memperdalam ilmu agama Islam. Selama beberapa tahun di kota Bangil, beliau sempat belajar dan berguru pada ulama-ulama terkenal di kota Bangil dan Pasuruan antara lain K.H. Muhdor, K.H. Abu Hasan, K.H. Bajuri dan K.H. Ahmad Jufri.

Pada sekitar usia 16 tahun Guru Bangil kemudian melanjutkan belajar ilmu agama ke Tanah Suci Mekkah. Beliau berangkat bersama-sama dengan saudara sepupu beliau ‘Alimul ‘Allamah H. Anang Sya’rani Arif di bawah pengawasan paman beliau ‘Alimul ‘Allamah H. Kasyful Anwar bin H. Ismail, yang pada saat itu juga sedang bermukim di Mekkah. Selama di Mekkah, Guru Bangil menuntut berbagai cabang ilmu agama dengan beberapa orang guru, di antaranya adalah kepada ‘Alimul ‘Allamah Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi, Syekh Umar Hamdan, dan ‘Alimul ‘Allamah H. Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari. Di samping itu, Guru Bangil juga belajar dan mengkaji ilmu kepada Syekh Sayyid Alwi al-Maliki, Syekh Muhammad Arabi, Syekh Hasan Massyath, Syekh Abdullah Bukhori, Syekh Saifullah Andagistani, Syekh Syafi’i Kedah, Syekh Sulaiman Ambon, dan Syekh Ahyat Bogori. Abu Nazla menambahkan bahwa selama di Mekkah, Guru Bangil dan Guru Anang Sya’rani Arif juga belajar kepada Syekh Bakri Syatha dan Syekh Muhammad Ali bin Husien al-Maliki.

Selama mukim di Mekkah berbagai cabang ilmu agama telah dikaji dan dipelajari oleh Guru Bangil. Banyak pula silsilah sanad, ilmu dan amal yang beliau terima. Salah satu cabang ilmu yang menonjol yang dikuasai oleh Guru Bangil adalah ilmu tasawuf. Di bidang ilmu tasawuf ini, Guru Bangil telah menerima ijazah tarekat Naqsabandiyah dari ‘Alimul ‘Allamah Syekh Umar Hamdan dan ijazah tarekat Sammaniyah dari ‘Alimul ‘Allamah H. Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari. Ijazah tarekat Idrisiyah diterima dari ‘Alimul ‘Allamah Syafi”i bin Shalih al-Qadiri.

Guru Bangil dikenal sebagai murid utama dan khalifah dari guru besar bidang tasawuf, Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi untuk Tanah Jawa (Indonesia). Dari Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi inilah Guru Bangil banyak belajar dan mengkaji ilmu, khususnya tasawuf. Tidak mengherankan jika kemudian Guru Bangil menjadi seorang ulama yang wara, tawadhu’, dan khumul, hapal Alquran serta menghimpun antara syariat, tarekat, dan hakikat.

Guru Bangil juga merupakan salah seorang guru tasawuf dari ‘Alimul ‘Allamah Tuan Guru Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Guru Sekumpul. Guru Bangil Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif dikenal oleh gurunya sebagai murid yang tekun dan menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu agama. Guru-guru mereka sangat sayang karena melihat bakat dan kecerdasan mereka berdua”. demikian yang tergambar dalam Manaqib Guru Bangil berkenaan dengan semangat dan ketekunan dua saudara sepupu tersebut dalam dan selama menuntut ilmu. Bahkan, keadaan dan ketekunan mereka berdua selama menuntut ilmu di Mekkah juga diibaratkan, “Siang bercermin kitab dan malam bertongkat pensil”. Sehingga wajar jika kemudian dalam beberapa tahun saja mereka berdua mulai dikenal di Kota Mekkah dan mendapat julukan “Dua Mutiara dari Banjar”. Bahkan mereka berdua mendapat kepercayaan untuk mengajar selama beberapa tahun di Masjidil Haram (Mekkah) atas bimbingan Syekh Sayyid Muhammad Amin kutbi.

Guru Bangil di mata guru-gurunya memang dikenal sebagai seorang murid yang cerdas, namun beliau sendiri tidak mau menampakkan kecerdasan tersebut, beliau selalu sederhana dan bahkan merendahkan hati, sehingga banyak orang yang tidak tahu tentang beliau. Cerita tentang kedatangan beliau di Bangil dan tidak mau membuka pengajian karena penghormatan terhadap ulama yang ada di sana merupakan bukti kuat bahwa beliau adalah seorang yang tidak suka menyombongkan diri, sebaliknya bersikap hormat dan selalu rendah hati. Bahkan untuk menutupi ketinggian ilmunya setelah bertahun-tahun menuntut ilmu di Mekkah, selama tinggal di Bangil beliau menutupi diri dengan menjadi pedagang. Beliau juga tidak merasa kecil hati untuk belajar dan menuntut ilmu kepada para ulama yang ada di Kota Bangil dan Pasuruan.

Menurut cerita salah seorang dari muridnya, dalam salah satu tausiyahnya (agar tidak sombong) Guru Bangil juga pernah berkata dan menyatakan bahwa beliau bukanlah orang cerdas sebagaimana yang disangkakan orang, beliau hanya rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh dalam belajar, menjaga etika belajar, hormat dengan guru dan tawakkal kepada Allah.

Guru Bangil adalah seorang yang pandai menyembunyikan diri (tidak suka pamer, sombong, atau takabbur), walaupun memiliki ilmu agama yang luas.Selama menuntut ilmu di Mekkah mendapat julukan “mutiara dari Banjar”, pernah mengajar di Masjidil Haram, namun beliau tetap rendah hati dan sederhana, sehingga di awal-awal berdiamnya beliau di Kota Bangil, banyak orang yang tidak mengetahui siapa beliau sebenarnya, kecuali sesudah diberitahu oleh Kyai Hamid yang merupakan Kyai Sepuh di Kota Pasuruan.

C. Keluarga

Setelah lebih kurang 10 tahun mukim dan menimba berbagai ilmu agama di Mekkah, Guru Bangil kemudian kembali ke Martapura (Kampung Melayu Ilir) pada tahun 1941 serta mengabdikan ilmu yang telah didapat untuk masyarakat luas. Namun setelah kurang lebih berdiam selama 5 tahun di Martapura, Guru Bangil kemudian pindah ke Kota Bangil pada tahun 1946 menyusul keluarganya yang telah terlebih dahulu berdiam di sana.

Di Kota Bangil inilah, Guru Bangil dikawinkan dengan Hj. Bintang binti H. Abd. Aziz ketika berusia lebih dari 30 tahun. Hj. Bintang masih terhitung dan memiliki hubungan keluarga dengan beliau, karena Hj. Bintang adalah anak paman beliau, yang berarti saudara sepupu. Dari perkawinannya dengan Hj. Bintang binti H. Abd. Aziz ini, Guru Bangil mendapatkan beberapa orang anak, di antaranya: K.H. Kasyful Anwar, Zarkoni, Abd. Basit, Malihah, dan Khalwani.

Setelah isteri beliau yang pertama (Hj. Bintang) meninggal dunia, beliau kemudian kawin lagi dengan Hj. Gusti Maimunah dan dari perkawinannya dengan Hj. Gusti Maimunah ini beliau mendapatlan beberapa orang anak lagi, di antaranya adalah Hj. Imil, Noval, Didi, Yuyun, dan Mahdi

Isteri beliau yang ketiga adalah Hj. Fauziah. Dari perkawinan dengan Hj. Fauziah ini, beliau mendapatkan beberapa orang anak pula, di antaranya adalah M. Rusydi, Abd. Haris, dan Busra.Menurut keterangan Ustadz H. Mulkani jumlah anak beliau keseluruhan adalah 28 orang.

H. Kasyful Anwar, anak Guru Bangil yang tertua adalah generasi penerus dalam melaksanakan aktivitas pendidikan dan dakwah serta pengelolaan Pondok Pesantren Datu Kalampayan di Kota Bangil hingga sekarang ini. Di samping itu beliau juga tercatat sebagai seorang dosen tetap pada Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

D. Wafat

“Sesungguhnya dicabut ilmu itu oleh Allah Swt dengan kewafatan ulama”. Setelah sekian banyak mencetak kader ulama dan berkhidmat dalam dakwah, meningkatkan ilmu dan amal bagi murid-murid dan masyarakat luas, akhirnya pada malam Selasa jam 20.00 tanggal 11 September 1989 M bertepatan dengan 12 Shafar 1410 H, Guru Bangil wafat dalam usia lebih kurang 74 tahun. Beliau kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga dari para habaib bermarga (vam) al-Haddad, berdekatan dengan makam Habib Muhammad bin Ja’far al-Haddad, di Dawur, Kota Bangil yang berjarak tidak jauh dari rumah dan pondok pesantren yang beliau bangun. Makam beliau sering diziarahi oleh masyarakat Muslim dari berbagai penjuru daerah, tak terkecuali dari Kalimantan Selatan.

Guru Bangil banyak meninggalkan contoh yang patut untuk diteladani, beliau meninggalkan kebaikan yang layak untuk dikenang, dan beliau meninggalkan warisan publik yang patut untuk diikuti. Kehadiran beliau di tengah masyarakat Banjar dan Bangil terasa sangat luar biasa. Untuk memperingati dan mengingat jasa-jasa beliau, serta untuk mengikuti jejak dan perjuangan beliau dalam mendakwahkan Islam, saban tahun, yakni setiap tanggal 12 Shafar diadakan haul Guru Bangil, yang selalu dihadiri oleh ribuan jamaah dari berbagai, terutama jamaah dari Kalimantan serta murid-murid beliau.

KIPRAH DAN PEMIKIRAN

Setelah lebih kurang 10 tahun mukim dan menimba berbagai ilmu agama di Mekkah, Guru Bangil kemudian kembali ke Martapura (Kampung Melayu Ilir) pada tahun 1941 serta mengabdikan ilmu yang telah didapat untuk masyarakat luas. Namun setelah kurang lebih berdiam selama 5 tahun di Martapura, Guru Bangil kemudian pindah ke Kota Bangil pada tahun 1946 menyusul keluarga yang telah terlebih dahulu berdiam di sana.

Sebelum beliau bepergian ke Bangil (dalam tahun 1945/1946), beliau sempat mengajar di Madrasah Al-Istiqamah Dalam Pagar Martapura, namun pengabdian Guru Bangil di Madrasah Al-Istiqamah Dalam Pagar ini tidak lama, karena pada tahun 1946 beliau kemudian pindah dan hijrah ke Bangil, menyusul keluarga yang telah lama berdiam di sana.

Setelah beberapa tahun berdiam di kota Bangil, Guru Bangil mulai mengajar dan mengabdikan ilmunya secara luas kepada masyarakat setelah mendapatkan restu dari Kyai Hamid Pasuruan yang merupakan ulama Sepuh pada waktu itu. Di samping muthala’ah dan membuka pengajian, Guru Bangil juga mendirikan pondok pesantren untuk ‘kaji duduk’ ilmu-ilmu agama yang diberi nama Pondok Pesantren “Datuk Kalampayan” pada tahun 1970. Santri-santrinya kebanyakan berasal dari Kalimantan, terutama dari Kalimantan Selatan.

Pondok Pesantren tersebut langsung ditangani sendiri oleh Guru Bangil. Beliau juga aktif dan tanpa kenal lelah mengajarkan ilmu kepada para santri, sekalipun dalam keadaan sakit. Malam hari pun diisi dengan berbagai kegiatan amaliyah, halaqah, dan muthala’ah. Sehingga, banyak para santri beliau yang kemudian menjadi orang alim dan tersebar diberbagai daerah, baik di Kalimantan, Jawa, Sumatera, dan lain-lain untuk meneruskan perjuangan Islam. Di antara santri/murid-murid beliau tersebut adalah:
  1. ’Alimul ‘Allamah Tuan Guru Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Guru Sekumpul)
  2. KH. Prof. Dr. Ahmad Syarwani Zuhri, Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Balikpapan
  3. KH. Muhammad Syukri Unus, Pimpinan Majelis Taklim Sabilal Anwar al-Mubarak, Martapura.
  4. K.H. Zaini Tarsyid, Pengasuh Majelis Taklim Salafus Shaleh Tunggul Irang Seberang, Martapura (selain sebagai murid, K.H. Zaini Tarsyid juga merupakan anak menantu Guru Bangil).
  5. KH. Ibrahim bin KH. Muhammad Aini (Guru Ayan), Rantau.
  6. KH. Ahmad Bakri (Guru Bakri), Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mursyidul Amin, Gambut.
  7. KH. Asmuni (Guru Danau), Pengasuh Pondok Pesantren Darul Aman, Danau Panggang, Amuntai.
  8. KH. Sayfi’i Luqman, Tulungagung (Jawa Timur).
  9. KH. Abrar Dahlan, Pimpinan Pondok Pesantren di Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.
  10. KH. Muhammad Safwan Zahri, Pimpinan Pondok Pesantren Sabilut Taqwa, Handil 6, Muara Jawa, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Waktu beliau banyak dihabiskan untuk mengajar, muthala’ah, dan ibadah. Sewaktu berdiam di Martapura, sekembali dari Kota Mekkah al-Mukarramah, Guru Bangil pernah ditawari untuk menduduki jabatan Qadhi di Martapura, namun jabatan tersebut beliau tolak. Beliau lebih senang berkhidmat secara mandiri dalam dunia pendidikan, dakwah, dan syiar Islam, di mana, muthala’ah, halaqah dakwah, ta’lim (mengajar), dan menulis (menghimpun) risalah menjadi aktivitas rutin beliau sehari-hari.

Dalam mengajar Guru Bangil biasanya tidak panjang lebar menjabarkan dan menjelaskan suatu permasalahan, beliau hanya menyampaikan apa yang ada dalam kitab dan telah dibahas secara panjang lebar oleh ulama penulis kitab. Sehingga, ketika ada yang bertanya atau mengajukan suatu permasalahan, beliau menjawabnya tidak dengan pendapatnya sendiri, tetapi beliau tunjukkan dan mengutip dari pendapat para ulama dengan menyebutkan kitab-kitabnya.

Guru Bangil juga aktif menulis berbagai risalah agama berupa pelajaran dan pedoman praktis dalam memantapkan keyakinan dan amaliah beragama masyarakat. Satu di antara risalah beliau yang sangat terkenal, dicetak, dan beredar secara luas di tengah-tengah masyarakat adalah buku yang berjudul Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah. Risalah ini berisi pembahasan tentang masalah talqin, tahlil, dan tawassul.

Guru Bangil tidak mau karya tulis beliau diperjual-belikan, itulah sebabnya beberapa risalah yang beliau himpun hanya ditulis dan beredar secara terbatas, karena tidak dicetak. Buku Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah yang tersebar secara luas itupun beliau izinkan untuk dicetak atas amal jariyah seorang donator, sehingga dibagikan secara gratis kepada masyarakat.

Menurut santri-santrinya, Guru Bangil adalah sosok seorang guru yang bisa memahami dengan baik kemampuan, karakter dan bakat santri-santrinya. Sehingga mereka merasa dididik sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.

Di samping menguasai ilmu pengetahuan agama yang dalam, Guru Bangil juga mempunyai keahlian ilmu bela diri (Silat). Keahlian dalam ilmu bela diri ini juga Beliau ajarkan kepada santri-santrinya sebagai bekal bagi mereka untuk berdakwah melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Salah seorang santri beliau yang mewarisi dengan baik ilmu bela diri ini adalah (alm.) Guru Masdar Balikpapan.

Sebagai seorang ulama, beliau mampu memberikan solusi dan sekaligus memecahkan masalah di masyarakat beliau. Hal ini terbukti ketika masyarakat hendak memperluas bangunan masjid di Kota Bangil yang tidak mencukupi lagi untuk menampung jamaah. Sementara, ada kendala atau permasalahan yang membuat ulama-ulama dan tokoh masyarakat Bangil pada waktu itu bingung mencari solusinya, karena areal tanah yang hendak dijadikan perluasan masjid terdapat kuburan. Maka, masyarakat pun akhirnya mereka meminta pendapat dan pemikiran Guru Bangil berkenaan dengan masalah tersebut, apakah masjid bisa diperluas walaupun di atas tanah bekas kuburan atau bagaimana? Dengan berpedoman kepada pendapat para ulama terdahulu Guru Bangil membolehkan. Sehingga, berdasarkan pendapat Guru Bangil, masalah tersebut akhirnya dapat terpecahkan, sehingga perluasan pembangunan masjid Bangil pun dapat diteruskan.

Dalam masalah kehidupan Guru Bangil dikenal sebagai seorang ulama yang sangat zuhud. Beliau pernah diberi hadiah mobil dan rumah mewah, tetapi semua itu ditolak beliau. Sampai meninggal dunia beliau tidak meninggalkan harta kepada anak cucu beliau. Beliau sangat hati-hati dalam hal-hal keduniawian.

Guru Bangil tidak mau ikut-ikutan atau terjun ke dunia politik. Itulah sebabnya beliau tidak mau masuk dan menjadi anggota partai politik walaupun banyak yang mengajak. Guru Bangil pernah menjadi salah seorang Muhtasyar Nahdlatul Ulama (NU) Kota Bangil, namun ketika NU telah menegaskan arah dan tujuan organisasinya untuk khittah (kembali) ke dasar organisasi ketika organisasi ini didirikan (pada tahun 1926) dan tidak lagi sebagai partai politik.

Menurut Ustadz Subki, Guru Bangil alim dan menguasai secara mendalam 14 cabang ilmu (fan) dari ilmu-ilmu agama. Ilmu-ilmu yang beliau kuasai tersebut terutama bidang fikih, hadits, ilmu hadits, ulumul Qur’an, tafsir, dan tasawuf.

Dalam usia muda (di bawah 40 tahun) Guru Bangil banyak menggeluti ilmu fikih, tetapi pada usia 40 tahun ke atas beliau banyak bergelut di bidang tasawuf. Tasawuf yang banyak beliau pelajari adalah tasawuf Al-Ghazali.

Dalam bidang hadits, beliau sangat hati-hati dalam menggunakan sebuah hadits sebagai dalil, dilihat dulu bagaimana keshahihan hadits tersebut. Begitu juga dalam menyampaikan suatu hadits, beliau sangat hati-hati dan penuh adab. Beliau tidak setuju kalau pidato di lapangan terbuka dengan membacakan atau menggunakan ayat Alquran maupun hadits, padahal tidak tepat dengan konteksnya.

Dalam bidang fikih Guru Bangil juga sangat alim. Kealiman Beliau dalam bidang fikih ini diakui oleh Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif. Sehingga, ketika ada orang yang bertanya masalah fikih kepada Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif, beliau menyuruh orang tersebut untuk menanyakannya langsung kepada Guru Bangil. Guru Bangil pernah memperdalam fikih dengan Syekh Ahyat al-Bogori.

Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah (Simpanan Berharga, Masalah Talqin, tahlil dan Tawassul) adalah salah satu karya tulis Guru Bangil yang paling populer, karena pembahasan yang ada di dalamnya. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1967 dan telah dicetak serta diterbitkan secara berulang kali oleh penerbit. Buku ini tersebar luas di tengah-tengah masyarakat Islam diberbagai daerah dan dicetak atas biaya dari para donator, sehingga dibagikan secara gratis kepada masyarakat luas. Karena, Guru Bangil tidak mau karya beliau ini diperjual belikan. Buku ini juga pernah berhenti dicetak karena ada oknum yang memperjualbelikannya untuk mengambil keuntungan pribadi.

Buku yang berjudul Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah ini ditulis oleh Guru Bangil atas permintaan masyarakat Bangil karena adanya pernyataan-pernyataan dari tokoh-tokoh muda pemikir agama yang kontradiktif dengan pemahaman keagamaan masyarakat pada waktu itu, dan sering menganggap mudah (remeh) urusan agama, sehingga menimbulkan pertanyaan dan perbedaan pendapat di kalangan masyarakat. Hal ini terlihat di dalam tulisan beliau yang tertera di bagian penutup buku tersebut.

“Akhirnya tidak lupa penulis menasehatkan di sini agar angkatan-angkatan muda dari kalangan umat Islam di Indonesia ini dalam rangka menilai suatu perkara agama itu, jangan anggap mudah atau dipermudah, tapi hendaknya di-tanyakan langsung kepada yang betul-betul mengetahui tentang urusan agama jika sekiranya saudara tidak mengetahui. Dan selanjutnya penulis mengharapkan jangan sampai ada atau menimbulkan hina menghina sehingga membawa akibat yang tidak diinginkan”.

Menurut Guru Bangil sangat disayangkan apabila ada sementara orang dari kalangan umat Islam sendiri di dalam rangka menilai sesuatu perkara agama dengan mudah dan gegabah mengambil kesimpulan untuk mengharamkan atau menghalalkan tentang sesuatu perkara tanpa ditinjau secara teliti dan menyeluruh tentang hakikat dari ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Sebagai contoh misalnya tentang pembacaan talqin dan doa untuk mayit serta tawassul. Menurut beliau, buku ini ditulis sekadar untuk menangkis serangan yang dilancarkan tokoh-tokoh muda pemikir agama yang secara sembrono memberikan fatwa-fatwa seolah-olah para alim ulama kita yang terdahulu telah memberikan jalan yang sesat kepada kita. Tulisan ini sama sekali bukanlah hasil dari penafsiran penulis sendiri tetapi hasil dari pemikiran ulama-ulama besar kita yang telah mengambil dasar-dasar menurut rel yang sebenarnya sesuai dengan ajaran Islam.

Adapun yang dibahas dalam buku ini adalah tentang masalah talqin, bacaan dan doa untuk mayit serta pembahasan tentang tawassul.

1. Talqin

Ada sementara pihak yang menyatakan bahwa pembacaan talqin itu adalah bid’ah dhalalah.Dalam menjawab masalah ini Guru Bangil di dalam buku ini menjelaskan bahwa ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tabrani dari Abu Umamah sampai kepada Nabi Muhammad Saw bahwa Abu Umamah telah berkata:

“Apabila aku meninggal dunia, perbuatlah diriku sebagaimana Rasulullah telah memerintahkan kepada kami, agar kami mengerjakan terhadap orang-orang yang meninggal dunia di antara kami. Telah memerintahkan Rasulullah kepada kami, beliau bersabda: ”Apabila meninggal dunia salah seorang dari saudara-saudaramu, maka setelah kau ratakan dengan tanah di atas kuburnya, maka hendaklah salah seorang di antara kamu berdiri di atas kepala kuburnya, kemudian katakanlah: Ya fulan bin fulan hingga akhirnya”.

Menurut beliau, hadits tersebut memang dinyatakan sebagai hadits yang dha’if (lemah) karena di antara perawinya ada yang kurang dhabit, karena itu tidak bisa dijadikan hujjah (dalil). Akan tetapi karena ada yang menguatkannya (syahid), maka ia dapat dijadikan hujjah. Adapun atsar yang menguatkan (syahid) hadits tersebut antara lain, yaitu:

“Dari Rasyid bin Sa’din dan Dhamrah bin Habib dan hakim bin Umir, telah berkata mereka: apabila sudah diratakan tanah atas kubur mayit, dan berpalinglah (pulang sebagaian manusia daripadanya. Adalah mereka itu (sahabat-sahabatnya) suka, bahwa dikatakan bagi si mayit di sisi kuburnya, ya Fulan, katakanlah: Laa ilaaha illallah, Asyhadu alla ilaha illallah, Rabbiyallah wa diinil Islam wa nabiyii Muhammad Saw. Kemudian dia berpaling (pulang)”. (diriwayatkan oleh Said bin Mansur).

Ketiga orang tersebut (Rasyid bin Sa’din, Dhamrah bin Habib dan Hakim bin Umair adalah para tabi’in). Perkataan seperti tersebut di atas tidak ada jalan untuk diijtihadi. Jadi hukum perkataan tabi’in tersebut adalah langsung dari Nabi Saw seperti tertera dalam kaidah.

Syahid-syahid yang lain yang menguatkan hadits tersebut adalah yang diriwayatkan dari Amr bin Ash pada hadits yang panjang, di dalam hadits itu terdapat perkataan:

“Maka jika kamu selesai menanam aku dan menimbun tanah kuburku, kemudian berdiamlah kamu di samping kuburku sekadar selama waktu disembelih onta dan dibagi-bagikan dagingnya, sehingga aku mendapat kesenangan dengan kamu dan supaya aku mengetahui bagaimana menjawab utusan Tuhanku”. (Riwayat Muslim dalam Kitab Shahih Muslim).

Ada lagi hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dengan jalan yang Shahih:

“Adalah Nabi saw apabila selesai menanam mayit, maka berdiam atasnya, lalu beliau bersabda: Mintakan ampun bagi saudaramu sekalian dan mohonkan kepada Allah akan ketabahan hati baginya karena ia sekarang akan ditanya”.

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Abu Dawud, telah pula memperkuat isi hadits mengenai talqin tersebut. Meskipun dalam hadits ini dimaksudkan adalah doa, akan tetapi dengan isyaratnya menunjukkan dan menyuruh agar kita mengerjakan sesuatu yang menjadikan ketabahan bagi si mayit karena pada waktu itu kehadiran kita betul-betul diperlukan.

Di dalam kitab Ruh, Ibnu Qayyim al-Jauziyah telah berkata bahwa hadits talqin itu berturut-turut diamalkan tanpa diingkari dan cukuplah untuk dikerjakan. Bagi kita tidak ada larangan untuk mengucapkan sesuatu perkataan yang menjadi-kan manfaat bagi si mayit. Hal ini didukung pula oleh Imam An-Nawawi di dalam Syarah Muhadzab.

Menurut Guru Bangil, talqin itu pada hakikatnya bukanlah dimaksudkan memberi pelajaran pada orang-orang yang sudah mati, melainkan sekadar memberi ketenangan atau ketabahan di dalam kubur, seperti tersebut di dalam Alquran surah al-Dzariyat ayat 55:

Artinya: “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman”.

Dengan mengutip pendapat beberapa ulama yang menguraikan dan menjelaskan masalah talqin, maka menurut Guru Bangil, talqin diperbolehkan dan bukanlah perbuatan bid’ah, karena memiliki dalil yang kuat.

Senada dengan penjelasan dan uraian Guru Bangil dalam buku Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah ini, penjelasan yang panjang lebar, dilengkapi dengan tanya-jawab, dan disertai pula dengan dalil-dalil yang membolehkan serta menguatkan masalah talqin, bisa dibaca dalam buku 40 Masalah Agama, karangan K.H. Siradjuddin Abbas.

2. Bacaan dan Doa untuk Mayit

Masalah bacaan dan doa untuk mayit dibahas dalam tulisan beliau ini sebenarnya berpangkal pada pertanyaan: Apakah orang yang meninggal dunia mendapat manfaat dari amal orang yang masih hidup? Ada sementara pendapat yang menyatakan bahwa manfaat tersebut tidak akan diperoleh lagi oleh orang yang meninggal dunia dengan berbagai macam alasan. Dalam uraian ini Guru Bangil menunjukkan hal-hal yang justru sebaliknya.

Pertama-tama Guru Bangil mengemukakan sebuah hadits dari Abu Utsman: “Bacalah surah Yasin atas orang yang meninggal dunia di antara kamu”

Menurut Beliau kedudukan hadits tersebut dhaif karena di antara perawinya ada yang kurang kuat. Tetapi ada yang menguatkan hadits tersebut, di antaranya:

Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam kitab Syuabil Iman, dari Ma’qil bin Yasar, bahwasanya Nabi Saw bersabda: “Barang siapa membaca Yasin karena menuntut pahala atau ganjaran kepada Allah, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu. Maka bacakanlah Yasin disisi orang yang meninggal dunia diantara kamu”.

Di dalam hadits-hadits lain juga disebutkan tentang bacaan ayat-ayat Alquran di atas kubur, yaitu:

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa masuk halaman kuburan dan membaca Fatihah, Qul huwallahu ahad dan Alhakumut Takatsur, kemudian ia berkata sesungguhnya aku jadikan pahala yang kubaca dari kalam Engkau bagi ahli kubu dari kaum mu’minin dan mu’minat, maka niscaya mereka itu memintakan syafa’at kepada Allah baginya” (Dikeluarkan oleh Zanjani di dalam kitab Fawaid).

Dari Aisyah ra: Telah bersabda Rasulullah Saw: “Telah datang kepadaku Jibril, ia berkata sesungguhnya Tuhanmu memerintahkanmu datang ke kuburan Baqi supaya kamu memintakan ampun bagi mereka. lalu berkata Aisyah ra, “Bagaimana saya berkata untuk mereka ya Rasulallah? Rasulullah bersabda: “Sebutlah: Assalamu ahla al-diyar. Dalam riwayat lain Assalamu alaikum ahla al-diyar minal mu-minin wa al-Muslimat wa inna insya Allah lalahikun asalullaha lana wa lakum al-afiyah”. (Riwayat Imam Muslim).

Dalam membahas masalah ini, Guru Bangil juga menambahkan beberapa keterangan yang dikemukakan oleh ulama muhadditsin dan fuqaha, di antaranya: Diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa ia berkata: “Apabila engkau masuk halaman kuburan maka bacalah ayat Kursi dan 3 kali surah al-Ikhlas. Kemudian ucapkanlah bahwa pahalanya bagi ahli kubur”. Demikian juga dari ulama yang lain seperti, Imam Syaukani, Imam Za’farani, Imam Ramli, Syekh Muhammad Faleh, Imam al-Suyuti dan lain-lain yang menguatkan masalah bacaan dan doa untuk mayit ini.

Mengenai masalah sedekah untuk si mayit, baik dalam bentuk makanan maupun amal kebaikan tidak dilarang oleh syariat Islam. Hal ini sudah ada sejak masa sahabat. Ini dikuatkan pula dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ashim bin Kulaib yang menceritakan tentang Nabi Saw makan bersama sahabat-sahabatnya di rumah seor
ang wanita yang kematian suaminya. Kemudian, di dalam hadits-hadits lain dinyatakan bahwa sedekah untuk orang yang sudah meninggal dunia itu sampai kepadanya. Jadi, dengan demikian menurut Guru Bangil selamatan yang dikerjakan untuk si mayit itu dibolehkan dan sunnat hukumnya. Bahkan di dalam fatwa-fatwa mereka, ulama membolehkan seseorang yang akan meninggal dunia untuk berwasiat menyuruh ahlinya agar bersedekah untuknya setelah ia meninggal dunia.

3. Tawassul

Tawassul adalah minta sesuatu kepada Allah Swt disertai dengan ucapan: dengan berkat fulan, dengan kebesaran fulan, dengan sesuatu amal, dengan sesuatu ayat, atau dengan berkat shalawat dan lain-lain.

Guru Bangil berpendapat bahwa cara-cara yang demikian itu tidak ada larangan dalam agama Islam, karena menurut beliau setiap Muslim tetap berkeyakinan dan percaya bahwa semuanya itu, apa saja hanyalah merupakan sebab belaka dan tidak mempunyai kekuasaan apa-apa, sedang yang berkuasa serta yang mengabulkan sesuatu hajat itu adalah Allah Swt, tidak ada yang lain kecuali Dia.

Adapun dalil yang dipakai beliau sebagaimana pendapat ulama yang membolehkan tawassul, antara lain:

Hadits yang menunjukkan tentang bertawassul dengan orang yang hidup. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Thabrani dalam kitabnya al-Mu’jam al-Kabir wa al-Ausath, juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam al-Hakim, dan mereka mensahkan hadits ini. Dari sahabat Annas bin Malik, ia berkata: “Ketika Fatimah binti As’ad ra (ibunda Saidina Ali) meninggal dunia, ia pernah memelihara Nabi Saw. Kemudian Nabi Saw bersabda: “Ampuni Ya Allah, ibuku Fatimah binti As’ad, dan luaskan atasnya tempat masuknya (kuburnya) dengan haq Nabi Engkau dan Nabi-nabi sebelum aku”.

Dalil tawassul yang terdapat sesudah Nabi wafat, tawassul kepada Nabi dan selain dari Nabi. Di dalam kitab Fath al-Bari disebutkan sebuah hadits:

“Telah meriwayatkan Ibnu Abdurrazak, dari hadits Ibn Abbas, bahwasanya Sayyidina Umar minta hujan di mushalla, maka Sayyidina Umar berkata pada Sayyidina Abbas: Bangunlah dan mintakan Hujan. Di antara do’a Sayyidina Abbas …… telah menghadap kaum dengan aku kepada Engkau dikarenakan hubunganku dengan nabi-Mu”.

Umar bin Khattab berkata pula: “Ya Allah bahwasanya kami telah tawassul kepada Engkau dengan Nabi kami, maka Engkau turunkan hujan, dan sekarang kami tawassul kepada Engkau dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan itu.” (Hadits ini dirawikan oleh Imam Bukhari dan Baihaqi. Lihat Shahih Bukhari, Jilid I, h.128 dan Baihaqi, Sunan al-Kubra, Jilid II, h.352).

Adapun mengenai tawassul dengan Nabi ketika beliau sudah wafat, Guru Bangil memberikan contoh perkataan Sayyidina Abu Bakar: “Dengan ayah dan ibuku adalah tebusan engkau hai Muhammad, hidup dan matimu adalah baik. Hai Muhammad, sebutlah kami di sisi Tuhanmu” (diriwayatkan oleh Imam Abiddunia di dalam kitab Addharra).

Dalil-dalil tawassul lainnya yang dikemukakan Guru Bangil yang menujukkan bahwa tabi’in, tabi’it tabi’in, imam-imam dan para ulama berwasilah juga, yaitu:
a. Bahwa waktu berkunjung ke Baghdad, Imam Syafi’i berziarah dan mendatangi kubur Imam Abu Hanifah serta bertawassul kepadanya.
b. Tatkala Imam Syafi’i mendengar Ahli Maghribi yang bertawassul dengan Imam Malik, beliau tidak melarang bahkan beliau pun bertawassul dengan ahl al-bait.
c. Imam Ahmad bin Hanbal bertawassul dengan Imam Syafi’i.
d. Imam Al-Ghazali pun bertawassul dengan nabi-nabi dan keluarganya, dan dengan fadhilah amal-amal, sebagaimana tersebut di dalam kitab Qashidah Munfarijah.
e. Ulama-ulama besar lainnya pun bertawassul, sebagaimana disebutkan di dalam banyak kitab.
Dengan dalil-dalil tersebut yang meliputi perbuatan-perbuatan Nabi, sahabat dan ulama-ulama cukuplah kiranya bagi umat Islam menurut Guru Bangil untuk tidak meragukan dan tidak pula mengingkari akan bolehnya bertawassul dengan nabi-nabi, wali-wali dan para shalihin (orang-orang shaleh).

Berbagai hal yang telah dijelaskan dan diuraikan oleh Guru Bangil berkenaan dengan tawassul dalam buku Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah ini, tidak jauh berbeda dengan penjelasan yang diuraikan dalam buku 40 Masalah Agama, karangan K.H. Siradjuddin Abbas. Di mana dalam buku 40 Masalah Agama tersebut, masalah tawassul dalam mendoa dikemukakan secara panjang lebar, dilengkapi dengan tanya-jawab, dan disertai pula dengan dalil-dalil yang menyatakan tatacara dan kebolehan seseorang untuk berdoa dengan cara bertawassul.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, Tuan Guru H. Muhammad Syarwani Abdan yang dikenal luas oleh masyarakat Banjar dan Bangil khususnya sebagai seorang ulama yang memberikan sumbangsih besar terhadap pembangunan mental spiritual umat melalui keilmuan dan kiprah keagamaan selama beliau hidup. Aktivitas beliau yang tidak jauh dari rutinitas ibadah, muthala’ah, halaqah, dakwah, ta’lim, dan menulis risalah bimbingan keagamaan untuk masyarakat serta mendirikan Pondok Pesantren Datuk Kalampayan di Bangil memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kegiatan amal ibadahn dan keagamaan masyarakat.

Berkenaan dengan hadits, beliau sangat hati-hati dalam menggunakan sebuah hadits sebagai dalil, dilihat dulu bagaimana keshahihan hadits tersebut. Begitu juga dalam menyampaikan hadits, beliau sangat hati-hati dan penuh adab. Dalam bidang fikih Guru Bangil juga sangat alim. Kealiman Beliau dalam bidang fikih ini diakui oleh ‘Alimul ;Allamah Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif. Ketika ada orang yang bertanya masalah fikih kepada Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif, maka beliau menyuruh orang itu untuk menanyakannya kepada Guru Bangil. Dalam masalah kehidupan Guru Bangil dikenal sebagai seorang ulama yang sangat zuhud. Beliau pernah diberi hadiah mobil dan rumah mewah, tetapi semua itu ditolak beliau. Sampai meninggal dunia beliau tidak mewariskan harta kepada anak cucu beliau.

Al- Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah (Simpanan Berharga, Masalah Talqin, tahlil dan Tawassul) adalah salah satu karya tulis Guru Bangil yang paling populer. Buku ini ditulis beliau atas permintaan masyarakat Bangil karena adanya pernyataan-pernyataan para pemikir muda yang kontradiktif (berlawanan) dengan pemahaman keagamaan masyarakat pada waktu. Menurut beliau, talqin, bacaan, doa dan sedekah untuk mayit serta tawassul diperbolehkan dan tidak bertentangan dengan syariat Islam asalkan sesuai dengan kaedah yang dicontohkan oleh ulama. 

Berikut ini ada beberapa Foto Al 'Alimmul Al 'Allamah Al Arrif Billah Syekh Muhammad Syarwani Abdan ( Guru Bangil )  Bersama Guru Semman Mulia & Al 'Alimmul Al 'Allamah Al Arrif Billah Syekh Muhammad Zaini Bin Abdul Ghoni (Guru Sekumpul):

Tiga Serangkai




Jumat, 26 Agustus 2022 0 komentar

Do'a Agar Tetap Tegar Ketika Upaya Gagal

بسم الله الرّحمن الرّحيم

قَدَّرَ اللهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ

Qaddarallahu Wa Ma Sya-a Fa'ala
Alla telah menentukan takdirnya dan Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki



Jumat, 29 Juli 2022 0 komentar

Amalan Akhir Dan Awal Tahun Bulan Muharram

بسم الله الرّحمن الرّحيم

SHALAT AKHIR TAHUN DAN AWAL TAHUN HIJRIYYAH.

Akhir Tahun. 

Do’a Akhir Tahun Hijriyah dilakukan pada waktu Ashar tanggal 29/30 Dzulhijjah. 

Fadhilahnya :
Membuat sia-sia / putus asa pekerjaan syaithan dalam menggoda anak-anak Adam pada satu tahun ini. Dan diampuni dosa-dosanya setahun ini.

Niatnya

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ أُصَلِّى سُنَّةً لِآخِرِالسَّنَةِ رَكْعَتَيْنِ لِلّٰهِ تَعَالىٰ.

Bismillaahirrahmaanirrahiim. U-shallii Sunnatan Li-aa-khiris Sanati Rak’ataini Lillaahi Ta’aalaa.
Artinya :
Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Aku berniat shalat sunnah akhir  tahun 2 raka’at karena Allah Ta’ala.

Do’a Akhir Tahun :

وَصَلَّى اللهُ عَلىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىٰ اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. اَللّٰهُمَّ مَاعَمِلْتُ فِى هٰذِهِ السَّنَةِ مِمَّانَهَيْتَنِى عَنْهُ فَلَمْ اَتُبْ مِنْهُ وَلَمْ تَرْضَهُ وَلَمْ تَنْسَهُ وَحَلِمْتُ عَلَيَّ بَعْدَ قُدْرَتِكَ عَلىٰ عُقُوْبَتِى وَدَعَوْتَنِى اِلَى التَّوْبَةِ مِنْهُ بَعْدَ جَرَاءَتِى عَلىٰ مَعْصِيَّتِكَ. اَللّٰهُمَّ اِنِّى اَسْتَغْفِرُكَ فَاغْفِرْلِيْ وَمَاعَلِمْتُهُ فِيْهَامِمَّاتَرْضَاهُ وَوَعَدْتَنِى عَلَيْهِ الثَّوَابَ فَأَسْئَلُكَ اللّٰهُمَّ يَاكَرِيْمُ يَاذَالْجَلَالِ وَالْاِكْرَامِ اَنْ تَتَقَبَّلَهُ مِنِّى وَلَاتَقْطَعْ رَجَائِى مِنْكَ يَاكَرِيْمُ وَصَلَّى الله عَلىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىٰ اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Bismillaahirrahmaanirrahiim. Wa Shallallaahu ‘Alaa Sayyidinaa Wa Maulaanaa Muhammadin Wa ‘Alaa Aa-lihii Wa Shahbihii Wa Sallam. Allaahumma Maa ‘Alimtu Fii Haa-dzihis Sanati Mimmaa Nahaitanii ‘An-hu Falam Atub Min-hu Wa Lam Tar-dlahuu Wa Lam Tansahuu Wa Halimtu ‘Alayya Ba’da Qud-ratika ‘Alaa ‘Uquubatii Wa Da’autanii ilat Taubati Min-hu Ba’da Jaraa-atii ‘Alaa Ma’shi-yatik. Allaahumma innii Astagh-firuka Fagh-firlii Wa Maa ‘Alimtuhuu Fiihaa Mimmaa Tar-dlaahu Wa Wa’ad-tanii ‘Alaihits-tsawaab. Fa-as-alukallaahumma Yaa Kariimu Yaa Dzal Jalaali Wal ik-raam. An Tataqabbalahuu Minnii Wa Laa Taq-tha’ Rajaa-ii Minka Yaa Kariim. Wa Shallallaahu ‘Alaa Sayyidinaa Muhammadin Wa ‘Alaa Aa-lihii Wa Shahbihii Wa Sallam. Wal Hamdulillaahi Rabbil ‘Aa-lamiin.

Artinya :
Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan salamnya kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarganya dan para sahabatnya, Ya Allah apapun yang telah aku lakukan dalam tahun ini berupa apa saja yang Engkau telah mencegahku dari padanya, padahal aku belum bertaubat dan Engkau belum merelakannya serta belum melupakannya, dan Engkau telah mengasihi di saat-saat Engkau kuasa menyiksaku dan Engkau telah mengajakku bertaubat dari padanya setelah aku berani menjalankan maksiat kepada-Mu, maka sesungguhnya aku minta ampun kepada-Mu, oleh sebab itu ampunilah aku dengan anugerah-Mu, Ya Allah apapun yang aku lakukan dalam tahun ini berapa saja yang Engkau telah merelakannya dan telah menjanjikan pahala kepadaku atasnya, maka sekarang aku minta kepada-Mu Wahai Dzat Mulia, yang mempunyai sifat agung dan mempunyai sifat mulia, agar Engkau menerimanya dariku dan janganlah memutuskan pengharapanku darimu, Wahai Dzat Yang Mulia dan semoga Allah melimpahkan rahmat dan salamnya kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga dan sahabat-sahabat.

Awal Tahun (1 Muharram)

Shalat dan Do’a Awal Tahun dilakukan setelah Shalat Maghrib. Dilakukan sebanyak 2 raka’at salam.

Fadhilahnya :
  • Selamat dan amanlah anak-anak Adam dari gangguan syaithan. 
  • Allah SWT mewakilkan 2 Malaikat untuk memelihara anak-anak Adam dari fitnah syaithan.
Niatnya

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ اُصَلّى سُنَّةَ لِاَوَّلِ السَّنَةِ رَكْعَتَيْنِ لِلّٰهِ تَعَال

Bismillaahirrahmaanirrahiim. U-shallii Sunnatan Li-Awwalis Sanati Rak’ataini Lillaahi Ta’aalaa.
Artinya :
Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Aku berniat shalat sunnah Awal Tahun  2 raka’at karena Allah Ta’ala.

Doa Awal Tahun :

وَصَلَّى اللهُ عَلىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىٰ اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

اَللّٰهُمَّ أَنْتَ الْاَبَدِيُّ الْقَدِيْمُ الْاَوَّلُ وَعَلىٰ فَضْلِكَ

الْعَظِيْمِ وَجُوْدِكَ الْمُعَوَّلِ وَهٰذَاعَامٌ جَدِيْدٌ قَدْاَقْبَلَ نَسْأَلُكَ الْعِصْمَةَ فِيْهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَاَوْلِيَآءِهِ وَجُنُوْدِهِ وَالْعَوْنَ عَلىٰ هٰذِهِ النَّفْسِ الْاَمَّارَةِ بِالسُّوْءِ وَالْاِشْتِغَالَ بِمَايُقَرِّبُنِى اِلَيْكَ زُلْفٰى يَاذَالْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ وَصَلَّى اللهُ عَلىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىٰ اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillaahirrahmaanirrahiim. Wa Shallallaahu ‘Alaa Sayyidinaa Muhammadin Wa ‘Alaa Aa-lihii Wa Shahbihii Wa Sallam. Allaahumma Antal Abadiyyul Qadiimul Awwal. Wa ‘Alaa Fadl-likal ‘A-dhiimi Wa Juudikal Mu’awwal. Wa Haa-dzaa ‘Aa-mun Jadiidun Qad Aqbal. Nas-alukal ‘ish-mata Fiihi Minasy-syai-thaani Wa Auliyaa-ihii Wa Junuudihii Wal ‘Auna ‘Alaa Haa-dzihin Nafsil Ammaarati Bis-suu-i Wal isy-ti-ghaala Bimaa Yuqarribunii ilaika Zulfaa Yaa Dzal Jalaali Wal ik-raam. Wa Shallallaahu ‘Alaa Sayyidinaa Muhammadin Wa ‘Alaa Aa-lihii Wa Shahbihii Wa Sallam. Wal Hamdulillaahi Rabbil Aa-lamiin.
Artinya :
Dan semoga Allah melimpahkan rahmat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat. Ya Allah Engkaulah yang abadi, dahulu lagi awal. Dan hanya kepada anugerah-Mu yang agung dan kedermanan-Mu tempat-tempat bergantung. Ini tahun dari benar-benar telah menghadap (datang). Kami meminta perlindungan kepada-Mu dalam tahun ini dari (godaan) syetan, kekasih-kekasihnya dan bala tentaranya. Dan kami minta bantuan untuk mengalahkan hawa nafsu yang mengajak keburukan dan kami minta bantuan agar dapat sibuk dengan sesuatu yang dapat mendekatkan kami kepada-Mu. Wahai Dzat yang mempunyai keagungan dan kemulyaan, semoga Allah melimpahkan rahmat dan salamnya kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga dan sahabatnya.

0 komentar

Do'a Akhir Tahun & Do'a Awal Tahun

بسم الله الرّحمن الرّحيم




Jumat, 10 Juni 2022 0 komentar

Realisasi Takwa

بسم الله الرّحمن الرّحيم

اِتَّقُو اللهَ وَصَلُّوْاخَمْسَكُمْ، وَصُوْمُوْا شَهْرَكُمْ، وَاَدُّوْازَكَاةَ اَمْوَالِكُمْ، طَيٍّبَةً بِهَا اَنْفُسُكُمْ وَاَطِيْعُوْا ذَا اَمْرِكُمْ تَدْخُلُوْا جَنَّةَ رَبِّكُمْ. 

(رواه الحَاكِم عن أَبِيْ أُمَامَة)

Bertakwalah kalian kepada Allah; dirikanlah shalat lima waktu, kerjakanlah shaum sebulan, bayarlah zakat harta benda dengan hati yang tulus, dan taatilah orang yang memerintah urusan kalian, niscaya Tuhan akan memasukkan kalian ke dalam surga..

Riwayat Hakim melalui Abu Umamah
Penjelasan:
Dalam penjelasan yang lalu disebutkan bahwa bertakwa itu mempunyai pengertian yang sangat mujmal, kemudian dalam hadis ini disebutkan beberapa hal pokok yang merupakan realisasi bertakwa kepada Allah, yaitu mengerjakan shalat lima waktu, mengerjakan shaum di bulan Ramadhan, menunaikan zakat dengan hati yang tulus ikhlas, dan menaati perintah. Barang siapa yang mengerjakan hal-hal tersebut, niscaya akan dimasukkan oleh Allah SWT ke dalam surga-Nya.
Senin, 09 Mei 2022 0 komentar

Gallery Foto Syeikh Muhammad Nazim Adil Al-Haqqani

بسم الله الرّحمن الرّحيم


















0 komentar

Sholawat Bariyyah

بسم الله الرّحمن الرّحيم

اَللّٰهُمَّ يَادَائِمَ الْفَضْلِ عَلَى الْبَرِيَّةِ ، يَابَاسِطَ الْيَدَيْنِ بِالْعَطِيَّةِ ، يَاصَاحِبَ الْمَوَاهِبِ السَّنِيَّةِ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَيْرِ الْوَرٰى السَّجِيَّةِ ، وَاغْفِرْلَنَا يَاذَالْعُلَى فِيْ (هٰذِهِ الْعَشِيَّةِ  هٰذِهِ اللَّيْلَةِ  هٰذَالْيَوْمِ ) بِرَحْمَتِكَ يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.


Allahumma Yaa Daa”imal Fadl-li ‘Alal Bariyyah. Yaa Baa-si-thal Yadaini Bil ‘Athiyyah. Yaa Shaa-hibal Mawaa Hibis-saniyyah. Shalli Wa Sallim ‘Alaa Sayyidinaa Muhammadin Khairil Waraas- sajiyyah. Wagh-fir Lanaa Yaa Dzal ’Ulaa Fii ( haa-dzihil ‘a-syiyyah - haa-dzihil lailah - haa-dzal yaum ) Birahmatika Yaa Ar-hamar Raa-himiin.
Shalawat Bariyyah :
Ya Allah, Wahai Dzat yang tetap mempunyai kelebihan atas makhluk. Wahai Dzat yang selalu membuka tanganNya dengan memberi. Wahai Dzat yang mempunyai pemberian yang megah, berilah rahmat dan keselamatan pada junjungan kami Muhammad, sebaik-baik makhluk yang berperasaan iba dan ampunilah kami wahai Dzat Yang Mulia di waktu ( petang / malam / siang ). Dengan segala belas kasihMu Wahai Dzat Yang Maha Penyayang diantara para penyayang.
0 komentar

Do'a Dan Sholawat Pada Hari Jumat

بسم الله الرّحمن الرّحيم

اَللّٰهُمَّ يَاغَنِيُّ يَاحَمِيْدُ يَامُبْدِئُ يَامُعِيْدُ يَارَحِيْمُ يَاوَدُوْدُ اَغْنِنِى بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَبِطَاعَتِكَ عَنْ مَعْصِيَتِكَ وَبِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ بِرَحْمَتِكَ يَااَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ

Allaahumma Yaa Ghaniyyu Yaa Hamiidu Yaa Mub-di-u Yaa Mu’iidu Yaa Rahiimu Yaa Waduu-du Agh-ninii Bi Halaalika ‘An Haraamika Wa Bi Thaa’atika ‘An Ma’shiyatika Wa Bi-fadl-lika ‘Amman Siwaaka Birahmatika Yaa Arhamar Rahimiin.
Wahai Allah, wahai Dzat Yang Maha Kaya, wahai Dzat Yang Maha Terpuji, wahai Dzat Yang memulai, wahai Dzat yang mengembalikan, wahai Dzat yang mencintai, wahai Yang Maha Kasih Sayang, Cukupkan aku oleh pemberian-Mu yang halal, bukan yang haram. Dan puaskan aku oleh kemurahan-Mu, bukan selain-Mu, dengan rahmat-Mu wahai Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

اَللّٰهُمَّ يَادَائِمَ الْفَضْلِ عَلَى الْبَرِيَّةِ ، يَابَاسِطَ الْيَدَيْنِ بِالْعَطِيَّةِ ، يَاصَاحِبَ الْمَوَاهِبِ السَّنِيَّةِ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَيْرِ الْوَرٰى السَّجِيَّةِ ، وَاغْفِرْلَنَا يَاذَالْعُلَى فِيْ (هٰذِهِ الْعَشِيَّةِ هٰذِهِ اللَّيْلَةِ هٰذَالْيَوْمِ ) بِرَحْمَتِكَ يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.


Allahumma Yaa Daa”imal Fadl-li ‘Alal Bariyyah. Yaa Baa-si-thal Yadaini Bil ‘Athiyyah. Yaa Shaa-hibal Mawaa Hibis-saniyyah. Shalli Wa Sallim ‘Alaa Sayyidinaa Muhammadin Khairil Waraas- sajiyyah. Wagh-fir Lanaa Yaa Dzal ’Ulaa Fii ( haa-dzihil ‘a-syiyyah - haa-dzihil lailah - haa-dzal yaum ) Birahmatika Yaa Ar-hamar Raa-himiin.
Shalawat Bariyyah :
Ya Allah, Wahai Dzat yang tetap mempunyai kelebihan atas makhluk. Wahai Dzat yang selalu membuka tanganNya dengan memberi. Wahai Dzat yang mempunyai pemberian yang megah, berilah rahmat dan keselamatan pada junjungan kami Muhammad, sebaik-baik makhluk yang berperasaan iba dan ampunilah kami wahai Dzat Yang Mulia di waktu ( petang / malam / siang ). Dengan segala belas kasihMu Wahai Dzat Yang Maha Penyayang diantara para penyayang.

Dibaca khusus pada hari jum’at 100x
Fadhilahnya, Insya Allah :
  1. Diberikan anugerah kekayaan dengan ridho Allah SWT
  2. Dikabulkan hajat-hajatnya dengan kekayaan untuk ibadah dan berjuang di jalan Allah SWT.

Fadhilah Shalawat Bariyah :
  1. Diampuni 100.000 kali dosa-dosanya.
  2. Diangkat 100.000 derajatnya.
  3. Ditutupi 100.000 aib dan kesalahannya.
  4. Mendapatkan Syafa’at Nabi Muhammad SAW pada hari kiamat.


Senin, 25 April 2022 0 komentar

Etika terhadap Guru adalah Hak sekaligus Utang yang Harus Ditunaikan oleh Murid

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Imam Abu Khaththab Mahfuzh ibn Ahmad al-Kalwadzani al-Baghdadi (wafat 510 H), seorang tokoh besar mazhab Hanbali pada masanya, meng isyaratkan bahwa memuliakan guru ketika menyebut nama mereka adalah hak sekaligus utang yang harus ditunaikan oleh murid; apabila dilakukan secara berlebihan pun tak apa demi melunasi utang. Berikut ini untaian kata-katanya yang begitu indah: 

Aku ini orang tua, hakku harus ditunaikan oleh anak muda 
Jika namaku kausebut, lunasilah utang etika jangan tunda
0 komentar

Mengagungkan Allah dan Rasul-Nya ketika Meng-ingatnya

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Imam Nawawi menguraikan:

Seorang penulis hadis, apabila menulis kalimat Allah, dianjurkan melengkapi dengan: Azza wa Jalla; atau Ta’âla; atau Subhânahu wa Ta’âla; atau Tabâraka wa Ta’âla; atau Jalla Dzikruhu; atau Tabârakasmuhu; atau Jallat ‘Azhamatuhu dan sebagainya.”

Begitu juga ketika menulis Nabi Muhammad s.a.w, seorang penulis disunahkan melengkapi dengan: Shallallâhu 'alaihi wa Sallam, bukan sekedar simbol dan bukan hanya salah satunya (shalawat atau salam) saja. 

Ketika nama seorang sahabat Nabi s.a.w. disebut, kita dianjurkan men-doakannya dengan berucap: radhiyallâhu ‘anhu (semoga Allah meridainya). Apabila sahabat tersebut adalah anak dari seorang sahabat Nabi s.a.w. pula maka ucapannya menjadi: radhiyallâhu ‘anhumâ (semoga Allah meridai mereka berdua). 

Juga dianjurkan mendoakan seluruh ulama dan orang-orang pilihan agar diridai dan diampuni. Jika menuliskan nama mereka maka doa itu pun ditulis. Apabila pada sumber aslinya yang dinukil tidak tertulis lengkap, berarti bukan sebagai sebuah riwayat namun hanya bentuk doa. Setiap orang juga harus membaca doa tersebut, meski pada sumber asli yang di baca tidak tertulis lengkap. Jangan pernah jemu mengulangnya. 

Barangsiapa lupa maka kebaikan besar akan terhalang baginya dan ia menyia-nyiakan karunia yang besar.

Demikianlah uraian Imam Nawawi.

Imam Nawawi juga mengulas:

Dianjurkan mendoakan para sahabat dan para tabi’in serta generasi setelah mereka, yaitu para ulama, orang-orang saleh dan orang-orang pilihan agar diridai dan diampuni; yakni dengan mengucapkan Radhiyallâhu ‘Anhu atau Rahimahullâh, dan sebagainya. 

Sementara sebagian ulama berpendapat bahwa kalimat Radhiyallahu ‘Anhum khusus ditujukan untuk sahabat, sementara selain mereka dengan kalimat Rahimahullah saja, sehingga tidak sama seperti untuk sahabat. 

Mayoritas ulama menilai ucapan doa itu hukumnya sunah. Dalil-dalil nya terlalu banyak untuk dihitung; contohnya dalam surah al-Bayyinah:

Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut terhadap Tuhannya.” (QS. Al-Bayyinah: 6-8)

Ayat tersebut mengandung penyebutan orang-orang mukmin dari kalangan sahabat dan yang lainnya secara umum, kemudian mendoakan mereka agar diridai oleh Allah. 

Apabila sahabat yang disebut sebagai anak sahabat maka menyebutnya dengan–misalnya-Ibnu Umar Radhiyallûhu ‘Anhumâ, berkata... Begitu juga Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Ibnu Ja’far, Usamah ibn Zaid karena mencakup ayah-ayah mereka. 

Demikianlah ulasan Imam Nawawi.

Menyebut ulama yang kompeten dan orang-orang saleh dengan bentuk penghormatan dan penghargaan adalah bagian dari pengamalan ilmu dan bagian dari esensi ilmu. Tidak perlu bertele-tele atau berlebihan seperti anggapan sebagian kaum modern karena mengikuti kaum orientalis. Mereka memotong nama para tokoh penulis dengan semaunya dan mendistorsi seenaknya seakan-akan itu hanya sebagai simbolis saja. Reduksi yang tidak pada tempatnya ini bertentangan dengan sikap ulama salaf dan ber tentangan dengan fitrah yang berupa etika terhadap tokoh-tokoh besar, ulama dan orang-orang saleh sehingga menyebut nama mereka dengan rasa penghormatan akan menambah kecintaan dalam jiwa, menggugah rasa penghormatan di dalam hati, mengakui kedudukan mereka, menghidupkan sikap meneladani dan mengambil manfaat dari perbuatan dan perilaku mereka, sehingga membuat Allah s.w.t. rida dan membalas mereka melalui kita dengan kebaikan sempurna.

Seorang ulama rabbani dan intelektual islam, Syaikh Abu Hasan an-Nadawi, dalam pengantar bukunya, al-Lathîf al-‘Ujâb, berkata, “Imam (pemimpin agama) adalah orang yang haknya untuk dihargai dan diakui tidak pernah dipenuhi dengan sempurna.”

Ahmad ibn Irfan asy-Syahîd menguraikan:

Watak yang sehat dan emosi yang jernih akan membuat orang me ngenali keutamaan yang dimiliki oleh orang lain; mengakui kebaikan orang lain; berterima kasih atas jasa orang lain; membela negara dan umat; dan rela terbunuh demi membela kehormatannya, agamanya, dan akidahnya. 

Masyarakat yang fitrahnya tergugah dan wataknya membaik akan sadar untuk terus mengingat para pahlawan, sebagai pengakuan atas keberhasilan dan spirit bagi segenap anak bangsa untuk mengikuti jejak mereka; sehingga pahlawan tak dikenal pun mendapat perhatian besar di kalangan masyarakat Barat.

Orang-orang mukmin dan para pengikut rasul-rasul a.s. tentunya jauh lebih banyak memberikan pengakuan atas reputasi orang lain dan mensyukuri kebaikan orang lain daripada umat-umat lainnya. Allah s.w.t. menggambarkan orang-orang mukmin itu bisa mengenali kebaikan, mendoakan para pendahulu, mengakui kemajuan dan keutamaan orang lain. Dia berfirman:

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr: 10)

Sebaliknya, Allah s.w.t. menggambarkan orang-orang kafir dan para penghuni neraka sebagai manusia yang tidak tahu berterima kasih, suka melaknat yang akan datang dan yang telah lalu, dibenci oleh Allah, dan tidak Dia akui sebagai hamba-Nya. Allah s.w.t. mengatakan tentang mereka:

“Setiap suatu umat masuk (ke dalam neraka), dia mengutuk kawannya (yang menyesatkannya).” (QS. Al-A’râf:38)

Dibandingkan dengan umat lain, umat Islam memiliki keistimewaan berupa sifat lapang dada; mengakui kelebihan orang lain; bersikap moderat di tengah-tengah manusia; melestarikan warisan para pendahulu; dan sering mendoakan mereka agar dirahmati serta diampuni. Buku-buku biografi dan sejarah menjadi bukti atas hal ini.

Demikianlah uraian Ahmad ibn Irfan.

Saya mohon maaf bila ulasan ini terlalu panjang. Saya hanya ingin—di awal buku ini—Anda melihat orang-orang yang meniru dan mengikuti jejak kaum orientalis dalam menyebut ulama besar dan tokoh saleh; tanpa ada memberikan penghormatan, memuliakan ataupun memintakan ampunan bagi mereka. Seakan mereka hanya menyebut nama anak-anak mereka sendiri saja atau bersikap masa bodoh. 

Dunia tidak akan diterangi oleh pemikiran orang-orang seperti itu, ilmu mereka, kebaikan mereka dan penghambaan mereka. Hanyalah Allah Sang Pemberi Taufik.

Seorang ulama besar sekaligus ahli hadis, al-Hâfizh Aidrus ibn Umar al Habsyi al-‘Alawi al-Hadhrami9 (1237-1314 H) menjelaskan seputar keutamaan memperoleh ilmu dan belajar dari ulama-ulama besar. Dia berkata, "Salah seorang guru kami mengatakan:

Barangsiapa dikaruniai ilmu—maksudnya mengambil, menerima dan belajar dari para ulama besar—maka dia harus bersyukur dengan cara menyebut nama guru-gurunya dan menceritakan kelebihan mereka, menyebarluaskan manfaat mereka, serta mendoakan agar Allah meridai mereka karena itu merupakan salah satu hal terpenting. 

Sebab, guru memungkinkan muridnya meraih hal yang berbuah kebahagiaan abadi baginya; melebihi apa yang diberikan oleh orang tuanya; sehingga menghormati guru sama seperti menghormati orang tua, bahkan lebih. 

Hak guru tetap utuh, manfaatnya pun lestari di akhirat, kebajikannya adalah yang paling utama dan sempurna, hak-haknya adalah yang paling hebat dan agung. Karena itulah selayaknya guru dimuliakan dan dihormati, begitu pula segala hal yang dialamatkan kepadanya; juga hendaknya dia diperlakukan dengan etika yang digariskan oleh para ulama.

Imam Makki ibn Abi Thalib (wafat 437 H) al-Qairawani al-Andalusi, dalam pengantar kitabnya yang berjudul al-Kasyf 'an Wujûh al-Qirâ` ât as Sab,’ mengatakan:

Saya antusias menulis buku ini karena berhasrat mendapatkan pahala yang kekal dan berlimpah. Saya pun memohon kepada Allah agar penulisnya mendapatkan manfaat dari buku yang dikarangnya ini, begitu pula setiap orang yang mengutip ilmu darinya. 

Maka hendaklah setiap pemiliki sikap ksatria dan keberagamaan yang mengambil manfaat dari buku saya ini atau mengutip suatu ilmu darinya, berkenan mendoakan agar Allah merahmati dan mengampuni pengarangnya yang telah menguras otak dan fisiknya untuk menulis dan menyusunnya. 

Lagi pula, saya tidak mengetahui ada manfaat dari kesibukan dan kelelahan saya dalam menulis buku ini yang lebih besar daripada doa seorang pembaca agar Allah s.w.t. merahmati atau mengampuni saya, atau memberi saya kebaikan. Karenanya, semoga Allah s.w.t. juga merahmati orang tersebut karena telah mendoakan agar saya mendapat kebaikan, rahmat, dan ampunan. 

Saya juga ingin mengemukakan hal serupa. Semoga Allah membalas orang-orang yang bersedekah dan para dermawan.

 
;