Jumat, 27 November 2020 0 komentar

Do'a Dimudahkan Urusannya

بسم الله الرّحمن الرّحيم



إِنَّ ٱلَّذِى فَرَضَ عَلَيْكَ ٱلْقُرْءَانَ لَرَآدُّكَ إِلَىٰ مَعَادٍ

Innallażī faraḍa 'alaikal-qur`āna larādduka ilā ma'ād
Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali

Fadhilahnya:
  1. Untuk orang yang lari dari rumah agar cepat kembali
  2. Untuk nagih hutang agar dibayar, Insya Allah
Kamis, 12 November 2020 0 komentar

Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Muhammad Zainuddin Abdul Madjid

Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid lahir di Bermi, Pancor, Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 5 Agustus 1898, meninggal di Pancor, Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 21 Oktober 1997 pada umur 99 tahun, adalah seorang ulama karismatik dari Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat dan merupakan pendiri Nahdlatul Wathan, organisasi massa Islam terbesar di provinsi tersebut. Di pulau Lombok, Tuan Guru merupakan gelar bagi para pemimpin agama yang bertugas untuk membina, membimbing dan mengayomi umat Islam dalam hal-hal keagamaan dan sosial kemasyarakatan, yang di Jawa identik dengan Kyai.

Beliapun memiliki nama singkatan, yaitu Hamzanwadi (Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah).

Kelahiran

'Al-Mukarram Maulana Asy-Syeikh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid' dilahirkan di Kampung Bermi, Pancor, Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat pada tanggal 17 Rabiul Awwal 1316 Hijriah bertepatan dengan tanggal 5 Agustus 1898 Masehi dari perkawinan Tuan Guru Haji Abdul Madjid (beliau lebih akrab dipanggil dengan sebutan Guru Mu'minah atau Guru Minah) dengan seorang wanita shalihah bernama Hajah Halimah al-Sa'diyyah.

Nama kecil beliau adalah 'Muhammad Saggaf', nama ini dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa yang sangat menarik untuk dicermati, yakni tiga hari sebelum dilahirkan, ayahandanya, TGH. Abdul Madjid, didatangi dua waliyullah, masing-masing dari Hadhramaut dan Maghrabi. Kedua waliyullah itu secara kebetulan mempunyai nama yang sama, yakni "Saqqaf". Beliau berdua berpesan kepada TGH. Abdul Madjid supaya anaknya yang akan lahir itu diberi nama "Saqqaf", yang artinya "Atapnya para Wali pada zamannya". Kata "Saqqaf" di Indonesiakan menjadi "Saggaf" dan untuk dialek bahasa Sasak menjadi "Segep". Itulah sebabnya beliau sering dipanggil dengan "Gep" oleh ibu beliau, Haajah Halimah al-Sa'diyyah.

Setelah menunaikan ibadah haji, nama kecil beliau tersebut diganti dengan 'Haji Muhammad Zainuddin'. Nama inipun diberikan oleh ayah beliau sendiri yang diambil dari nama seorang 'ulama' besar yang mengajar di Masjid al-Haram. Akhlaq dan kepribadian ulama' besar itu sangat menarik hati ayahandanya. Nama ulama' besar itu adalah Syeikh Muhammad Zainuddin Serawak, dari Serawak, Malaysia.

Silsilah Dan Keturunan

Silsilah Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid tidak bisa diungkapkan secara jelas dan runtut, terutama silsilahnya ke atas, karena catatan dan dokumen silsilah keluarga beliau ikut hangus terbakar ketika rumah beliau mengalami musibah kebakaran. Namun, menurut sejumlah kalangan bahwa asal usulnya dari keturunan orang-orang terpandang, yakni dan keturunan sultan-sultan Selaparang, sebuah kerajaan Islam yang pernah berkuasa di Pulau Lombok. Disebutkan bahwa Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid merupakan keturunan Kerajaan Selaparang yang ke-17.

Pendapat ini tentu saja paralel dengan analisis yang diajukan oleh seorang antropolog berkebangsaan Swedia bernama Sven Cederroth, yang merujuk pada kegiatan ziarah yang dilakukan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjīd ke makam Selaparang pada tahun 1971, sebelum berlangsungnya kegiatan pemilihan umum (Pemilu). Praktik ziarāh semacam ini memang biasa dilakukan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, termasuk masyarakat Sasak, untuk mengidentifikasikan diri dengan leluhurnya. Disamping itu pula, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid tidak pernah secara terbuka menyatakan penolakannya terhadap anggapan dan pernyataan-pernyataan yang selama ini beredar tentang silsilah keturunannya, yakni kaitan genetiknya dengan sultan-sultan Kerajaan Selaparang.

Beliau mendapatkan keturunan dari dua isterinya yaitu Hj. Jauhariyah seorang perempuan keturunan Jawa dan Hj. Rahmatullah Hasan seorang perempuan keturunan Guru Hasan dari Jenggik Lombok Timur. Dari Hj. Jauhariyah terlahir putri pertamanya bernama Rauhun Zainuddin Abdul Madjid dan dari Hj. Rahmatullah Hasan terlahir putri kedua bernama Raihanun Zainuddin Abdul Madjid. Karena hanya memiliki dua orang putri bernama Rauhun dan Raihanun maka beliau juga dipanggil Abu Rauhun wa Raihanun.

Dari masing-masing putri itu beliau mendapatkan 13 orang cucu. Dari Hj. Sitti Rauhun ZAM terlahir enam cucu yaitu: Dr. Ir. Hj. Sitti Rohmi Djalilah, M.Pd., H. M. Syamsul Luthfi, MM., Dr. TGH. Muhammad Zainul Majdi, MA., H. M. Djamaluddin, M.Kom., Sitti Tsurayya dari pernikahannya dengan H. M. Djalaluddin, SH. serta Siti Hidayati, dari pernikahannya dengan H. M. Syubli. Sedangkan dari Hj. Sitti Raihanun ZAM terlahir tujuh cucu yaitu: TGH. L. Gede Muhammad Ali Wiresakti Amir Murni, QH., Lc., M.A., Lale Yaqutunnafis, QH., S.Sos., MM., Lale Laksmining Pujijagad, M.Pd.I., H.L.Gede Syamsul Mujahidin, SE,. Hj. Lale Syifa'unnufus, M.Farm., Tuan Guru Bajang KH. L. Gede Muhammad Zainuddin Atsani, Lc., M.Pd.I dan TGH. L. Gede Muhammad Khairul Fatihin, QH., S.Kom. dari pernikahannya dengan H. L. Gede Wiresentane.

Keluarga

Maulana Asy-Syeikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Kakak kandungnya lima orang, yakni Siti Syarbini, Siti Cilah, Hajah Sawdah, Haji Muhammad Shabur dan Hajah Masyitah.

Ayahandanya TGH. Abdul Madjīd yang terkenal dengan penggilan "Guru Mu'minah", semasa mudanya bernama Luqmanul Hakim merupakan seorang muballigh dan terkenal pemberani. Beliau pernah memimpin pertempuran melawan kaum penjajah, sedangkan ibunya, Hajah Halimah al-Sa'diyyah terkenal sangat shalihah. Luqmānul Hakim membawa anaknya ke Mekkah untuk menimba ilmu agama ketika beliau berusia 9 tahun.

Sejak kecil Al-Mukarram Maulana Asy-Syeikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid terkenal sangat jujur dan cerdas. Karena itu tidaklah mengherankan bila ayah-bundanya memberikan perhatian istimewa dan menumpahkan kasih sayang yang begitu besar kepada beliau. Ketika melawat ke Tanah Suci Mekah untuk melanjutkan studi, ayah-bundanya ikut mengantar ke Tanah Suci. Ayahandanyalah yang mencarikan guru tempat belajar pertama kali di Masjid al-Haram dan sempat menemaninya di Tanah Suci sampai dua kali musim haji. Sedangkan ibundanya Hajah Halimah al-Sa'diyyah ikut bermukim di Tanah Suci mendampingi dan mengasuhnya sampai ibunda tercintanya itu berpulang ke rahmatullah tiga setengah tahun kemudian dan dimakamkan di Ma’lah, Mekkah al-Mukarramah.

Dengan demikian, tampak jelaslah betapa besar perhatian ayah-bundanya terhadap pendidikannya. Hal ini juga tercermin dari sikap ibundanya bahwa setiap kali beliau berangkat untuk menuntut ilmu, ibundanya selalu mendo'akan dengan ucapan "Mudah mudahan engkau mendapat 'ilmu yang barakah" sambil berjabat tangan serta terus memperhatikan kepergian beliau sampai tidak terlihat lagi oleh pandangan mata. Pernah suatu ketika, beliau lupa pamit pada ibundanya. Beliau sudah jauh berjalan sampai ke pintu gerbang baru sang ibu melihatnya dan kemudian memanggil beliau untuk kembali, Gep, gep, gep (nama panggilan masa kecil beliau), koq lupa bersalaman?, ucap ibundanya dengan suara yang cukup keras. Akhirnya, beliaupun kembali menemui ibundanya sembari meminta ma'af dan bersalaman. Kemudian, ibundanya berdo'a, "Mudah-mudahan anakku mendapatkan 'ilmu yang barokah". Setelah itu, barulah beliau berangkat ke sekolah. Hal ini merupakan suatu pertanda bahwa betapa besar kesadaran ibundanya akan penting dan mustajabnya do'a ibu untuk sang anak sebagaimana ditegaskan dalam Hadits Rasulullah SAW, bahwa do'a' ibu menduduki peringkat kedua setelah do'a Rasul.

Pendidikan

Maulana Asy-Syeikh TGKH. Muhammād Zainuddin Abdul Madjid menuntut ilmu pengetahuan berawal dari pendidikan dalam keluarga, yakni dengan belajar mengaji (membaca Al-Qur'ān) dan berbagai 'ilmu agama lainnya, yang diajarkan langsung oleh ayahandanya, yang dimulai sejak berusia 5 tahun.

Pendidikan Lokal

Setelah berusia 9 tahun, ia memasuki pendidikan formal yang disebut Sekolah Rakyat Negara, hingga tahun 1919 M. Setelah menamatkan pendidikan formalnya, beliau kemudian diserahkan oleh ayahandanya untuk menuntut 'ilmu agama yang lebih luas dari beberapa Tuan Guru lokal, antara lain TGH. Syarafuddin dan TGH. Muhammad Sa'id dari Pancor serta Tuan Guru 'Abdullah bin Amaq Dulaji dari desa Kelayu, Lombok Timur. Ketiga guru agama ini mengajarkan ilmu agama dengan sistem halaqah, yaitu para santri duduk bersila di atas tikar dan mendengarkan guru membaca Kitab yang sedang dipelajari, kemudian masing-masing murid secara bergantian membaca.

Pendidikan di Mekah

Untuk lebih memperdalam 'ilmu agama, Muhammad Zainuddin remaja kembali berangkat menuntut 'ilmu ke Mekah diantar kedua orang tuanya, tiga orang kemenakan dan beberapa orang keluarga, termasuk pula TGH. Syarafuddin. Pada saat itu beliau berusia 15 tahun, yaitu menjelang musim Haji tahun 1341 H/1923 M. Sesampai di Tanah Suci, TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid langsung mencari rumah kontrakan di Suqullail, Mekah.

Belajar di Masjidil Haram

Beberapa saat setelah musim haji usai, TGH. Abd. Madjid mulai mencarikan guru buat anaknya. Sampailah pencarian TGH. Abd. Madjid pada sebuah halaqah. Syaikh yang mengajar ditempat tersebut bernama Syaikh Marzuqi, seorang keturunan 'Arab kelahiran Palembang yang sudah lama mengajar mengaji di Masjid al-Haram, yang saat itu berusia sekitar 50 tahun. Disanalah Maulana Asy-Syeikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid diserahkan untuk belajar.

Selain itu juga sempat belajar 'ilmu sastra pada ahli syair terkenal di Mekah, yakni Syeikh Muhammad Amin al-Quthbi dan pada saat itu berkenalan dengan Sayyid Muhsin Al-Palembani, seorang keturunan 'Arab kelahiran Palembang yang kemudian menjadi guru beliau di Madrasah al-Shaulatiyah.

Ketika ayah TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid pulang ke Lombok, ia langsung berhenti belajar mengaji pada Syeikh Marzuqi, karena ia merasa tidak banyak mengalami perkembangan yang berarti dalam menuntut 'ilmu selama ini, hal itu dikarenakan kehausan beliau akan ilmu. Namun, sebelum sempat mencari guru, terjadi perang saudara antara kekuasaan Syarif Husain dengan golongan Wahabi.

Belajar di Madrasah Al-Shaulatiyah

Dua tahun setelah terjadinya huru hara tersebut, TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid muda berkenalan dengan seseorang yang bernama Haji Mawardi dari Jakarta. Dari perkenalannya itu ia diajak untuk belajar di madrasah al-Shaulatiyah, yang saat itu dipimpin oleh Syeikh Salim Rahmatullah. Pada hari pertama masuknya ia bertemu dengan Syeikh Hasan Muhammad al-Masysyath.

Madrasah al-Shaulatiyah adalah madrasah pertama sebagai permulaan sejarah baru dalam pendidikan di Arab Saudi. Madrasah ini sangat legendaris, gaungnya telah menggema di seluruh dunia dan telah menghasilkan banyak ulama-ulama besar dunia. TGKH. Muhammad Zainuddin masuk Madrasah al-Shaulatiyah pada tahun 1345 H (1927 M) yang waktu dipimpin (Mudir/Direktur), Syeikh Salim Rahmatullah yang merupakan cucu pendiri Madrasah al-Shaulatiyah. Sudah menjadi tradisi bahwa setiap thullab yang masuk di Madrasah Al-Shaulatiyah harus mengikuti tes masuk untuk menentukan kelas yang cocok bagi thullab. Demikian pula dengan TGKH. Muhammad Zainuddin, juga ditest terlebih dahulu. Secara kebetulan diuji langsung oleh Direktur al-Shaulatiyah sendiri, Syeikh Salim Rahmatullah dan Syeikh Hasan Muhammad al-Masysyath.

Hasil test menentukan di kelas 3. mendengar keputusan itu, TGKH. Muhammad Zainuddin minta diperkenankan masuk kelas 2 dengan alasan ingin mendalami mata pelajaran ilmu Nahwu dan Sharaf. Semula Syeikh Hasan bersikeras agar TGKH. Muhammad Zainuddin masuk kelas 3, tetapi pada akhirnya melunak dan mengabulkan permohonan untuk masuk kelas 2 dan sejak itu TGKH. Muhammad Zainuddin secara resmi masuk Madrasah al-Shaulatiyah mulai dari kelas 2. Prestasi akademiknya sangat istimewa. Beliau berhasil meraih peringkat pertama dan juara umum. Dengan kecerdasan yang luar biasa, TGKH. Muhammad Zainuddin berhasil menyelesaikan studi dalam waktu hanya 6 tahun, padahal normalnya adalah 9 tahun. Dari kelas 2, diloncatkan ke kelas 4, kemudian belia loncat kelas lagi dari kelas 4 ke kelas 6, kemudian beliau pada tahun-tahun berikutnya naik kelas 7, 8 dan 9.

Sahabat sekelas TGKH. Muhammad Zainuddin bernama Syeikh Zakaria Abdullah Bila, mengakui kejeniusannya dan mengatakan: Syeikh Zainuddin itu adalah manusia ajaib di kelasku, karena kejeniusannya yang tinggi dan luar biasa dan saya sungguh menyadari hal ini. Syeikh Zainuddin adalah saudaraku, dan kawan sekelasku dan saya belum pernah mampu mengunggulinya dan saya tidak pernah menang dalam berprestasi pada waktu saya bersama-sama dalam satu kelas di Madrasah Al-Shaulatiyah Mekah.

Predikat istimewa ini disertai pula dengan perlakuan istimewa dari Madrasah Al-Shaulatiyah. Ijazahnya ditulis langsung oleh ahli khat terkenal di Mekah, yaitu Al-Khathath al-Syaikh Dawud al-Rumani atas usul dari direktur Madrasah al-Shaulatiyah. Prestasi istimewa itu memerlukan pengorbanan, ibu yang selalu mendampingi selama belajar di Madrasah al-Shaulatiyah berpulang ke rahmatullah di Mekah. Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menyelesaikan studi di Madrasah al-Shaulatiyah pada tanggal 22 Dzulhijjah 1353 H dengan predikat "mumtaz" (Summa Cumlaude).

Setelah tamat dari Madrasah al-Shaulatiyah, tidak langsung pulang ke Lombok, tetapi bermukim lagi di Mekah selama dua tahun sambil menunggu adiknya yang masih belajar, yaitu Haji Muhammad Faisal/ TGH. Muhammad Faisal (TGH. Muhammad Faisal memimpin pertempuran fisik melawan kompeni Belanda/VOC, beliau ditangkap dalam perundingan dan dibuang keluar daerah dan gugur ditempat pengasingan, nama beliau diabadikan menjadi nama jalan di Mataram). Waktu dua tahun itu dimanfaatkan untuk belajar antara lain belajar ilmu fiqh kepada Syeikh Abdul Hamid Abdullah al-Yamani. Dengan demikian, waktu belajar yang ditempuh selama di Tanah Suci Mekah adalah 13 kali musim haji atau kurang lebih 12 tahun. Ini berarti selama di Mekah sempat mengerjakan ibadah haji sebanyak 13 kali.

Setelah selesai menuntut ilmu di Mekah dan kembali ke tanah air, TGKH. Muhammad Zainuddin langsung melakukan safari dakwah ke berbagai lokasi di pulau Lombok, sehingga dikenal secara luas oleh masyarakat. Pada waktu itu masyarakat menyebutnya 'Tuan Guru Bajang'. Semula, pada tahun 1934 mendirikan pesantren al-Mujahidin sebagai tempat pemuda-pemuda Sasak mempelajari agama dan selanjutnya pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H/22 Agustus 1937 mendirikan Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) dan menamatkan santri (murid) pertama kali pada tahun ajaran 1940/1941.

Kepemimpinan

Adalah Kesuksesan perjuangan seseorang tokoh atau pemimpin banyak ditentukan oleh pola kepemimpinannya. Kearifan seorang pemimpin dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya akan menentukan keberhasilan perjuangannya.

Perjuangan dan kepemimpinan merupakan dua hal yang saling mengkait, karena perjuangan itu akan berhasil baik, apabila pola pendekatan yang dipergunakan dalam kepemimpinan itu baik. Di samping itu, kepemimpinan yang arif dan bijaksana akan menghasilkan keberhasilan perjuangan.

Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dikenal sebagai ulama' besar di Indonesia karena ilmu yang dimiliki sangat luas dan mendalam. Demikian juga kharisma beliau sebagai sosok figur ulama demikian besar. Beliau adalah tokoh panutan yang sangat berpengaruh karena kearifan dan kebijaksanaannya. Perjuangan dan kepemimpinannya senantiasa beliau arahkan untuk kepentingan umat. Penghargaan dan penghormatan yang diberikan kepada seseorang yang telah berjasa kepadanya terutama kepada guru-gurunya diwujudkan dalam bentuk yang dapat memberikan manfaat kepada umat.

Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa penghargaaannya kepada mahaguru yang paling dicintai dan disayangi. Maulana Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath diwujudkan dalam bentuk pondok pesantren Hasaniyah NW di Jenggik, Lombok Timur. Penghargaan kepada mahagurunya Maulana Syaikh Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi diwujudkan dalam bentuk Pondok Pesantren Aminiyah NW di Bonjeruk Lombok Tengah, dan penghargaan kepada Mahagurunya Maulana al-Syaikh Salim Rahmatullah dilakukan dengan mendirikan sebuah Pondok Pesantren di Lombok Timur. Pola kepemimpinan yang beliau contohkan di atas hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki wawasan ilmu yang dalam serta pemimpin yang memiliki kearifan dan kebijaksanaan.

Demikian pula tentang pendekatan yang beliau lakukan selalu bernilai paedagogik dalam arti mengandung nilai-nilai pendidikan. Beliau tidak mau bahkan tidak pernah bersikap sebagai pembesar yang disegani. Beliau selalu bertindak sebagai pengayom yang berada di tengah-tengah jama'ah dan senantiasa menempatkan diri sesuai dengan keberadaan dan kemampuan mereka. Demikian juga halnya di kala beliau memberikan fatwanya selalu disesuaikan dengan kondisi dan jangkauan alam pikiran murid dan santerinya.

Pembawaan dan sikap hidupnya selalu menunjukkan kesederhanaan. Inilah yang membuat beliau selalu dekat dengan para warganya dan murid-muridnya dengan tidak mengurangi kewibawaan dan kharisma yang beliau miliki. Keluhan yang disampaikan para warga dan muridnya ditampung, didengar, dan dicarikan jalan penyelesaiannya dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan dengan tidak merugikan salah satu pihak.

Untuk melanjutkan dan mengembangkan perjuangan Nahdlatul Wathan di masa datang, beliau sangat mendambakan munculnya kader-kader yang memiliki potensi dan militansi, serta loyalitas yang tinggi, baik dari segi semangat, wawasan, maupun bobot keilmuan. Dalam banyak kesempatan beliau sering menyampaikan keinginannya agar murid dan santrinya memiliki ilmu pengetahuan sepuluh bahkan seratus kali lipat lebih tinggi daripada ilmu pengetahuan yang beliau miliki. Demikian motivasi yang selalu beliau kumandangkan supaya murid dan santrinya lebih tekun dan berpacu dalam menuntut ilmu pengetahuan, baik di dalam maupun di luar negeri.

Dalam menerima dan menghadapi para murid dan santri serta warga Nahdlatul Wathan, beliau tidak pernah membedakan antara yang satu dengan yang lain. Semua murid dan santeri serta warga Nahdlatul Wathan diberikan perhatian dan kasih saying yang sama besarnya, bagaikan cinta dan kasih saying seorang bapak kepada anak-anaknya.

Yang membedakan murid dan santri dihadapannya adalah kadar keikhlasan dan sumbangsihnya kepada Nahdlatul Wathan. Dan, untuk membina dan memonitor kualitas kader Nahdlatul Wathan, beliau mengeluarakan wasiat dalam bahasa Arab, yang artinya:

Dengan menyebut nama Allah dan dengan memuji-Nya semoga keselamatn tetap tercurah padamu, demikian pula rahmat Allah, keberkatan, ampunan dan ridha-Nya.

Anak-anak yang setia dan murid-muridku yang berakal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu disisiku ialah yang paling banyak bermanfaat untuk perjuangan Nahdlatul Wathan dan sejahat-jahat kamu disisiku ialah yang paling banyak merugikan perjuangan Nahdlatul Wathan.

Karena itu, kuatkanlah kesabaranmu, tetaplah bersiap siaga, berjuanglah kemudian beliau berpesan berjuanglah di jalan Nahdlatul Wathan untuk mempertinggi citra agama dan negara. Niscaya kamu dengan kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Tergolong pejuang agama, orang saleh dan mukhlish baik pada waktu sendirian maupun pada waktu bersama orang lain.

Semoga Allah membukakan pintu rahmat untuk kami dan kamu dan semoga ia menganugerahi kami dan kamu serta para simpatisan Nahdlatul Wathan masuk surga dan nikmat tambahan yang tiada taranya, yaitu melihat zat-Nya dari dalam surga.

Demikianlah, wasiat ini dikeluarkan setelah terlihat beberapa kader dari kalangan alumni Madrasah NWDI, dan mereka yang sudah beliau biayai untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi keluar dari garis perjuangan organisasi. Tidak taat pada kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh organisasi. Memang dalam rangka kaderisasi beliau banyak memberikan bantuan kepada alumni NWDI dan orang-orang lain untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi dengan nawaitu khusus dan perjanjian khusus pula, yaitu untuk setia membela dan memperjuangkan cita-cita NWDI, NBDI dan NW. Alhamdulillah banyaklah beliau antara mereka yang benar-benar menepati janjinya dengan tulus. Sebaliknya ada juga yang khianat pada janjinya, tidak malu merobek-robek nawaitu pengiriman. Eksistensi dan aplikasi dari wasiat ini menjadi tolok ukur kualitas dan kader ketaatan serta keihklasan kader-kader Nahdlatul Wathan.

Di samping itu, untuk mempertegas Wasiat Renungan Masa I dan II berbahasa Indonesia dalam bentuk puisi. Wasiat Renungan Masa ini berisikan nasihat, fatwa dan pedoman bagi warga Nahdlatul Wathan dalam berjuang.

Lahirnya wasitat-wasiat tersebut merupakan konsekuensi logis dari pola kepemimpinan beliau yang selalu menekankan hubungan guru dan murid. Beliau adalah figur pemimpin yang selalu menekankan agar tetap terjalin dan terpelihara hubungan antara guru dan murid. Menurut prinsip beliau bahwa tidak ada guru yang membuang murid akan tetapi kebanyakan murid yang membuang guru.

Perjuangan

TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid belajar di Tanah Suci Mekah selama 13 tahun kemudian beliau kembali ke Indonesia atas perintah dari guru yang paling beliau kagumi, yakni Syeikh Hasan Muhammad al-Masysyath, pada tahun 1934. Setiba di Pulau Lombok dari Tanah Suci Mekah ke Indonesia, mula-mula beliau mendirikan pesantren al-Mujahidin pada tahun 1934 M. kemudian pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H/22 Agustus 1937 M. beliau mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI). Madrasah ini khusus untuk mendidik kaum pria. Kemudian pada tanggal 15 Rabiul Akhir 1362 H/21 April 1943 M. beliau juga mendirikan madrasah Nahdlatul Banat Diniah Islamiyah (NBDI) khusus untuk kaum wanita. Kedua madrasah ini merupakan madrasah pertama di Pulau Lombok yang terus berkembang dan merupakan cikal bakal dari semua madrasah yang bernaung di bawah organisasi Nahdlatul Wathan. Dan secara khusus nama madrasah tersebut berubah nama menjadi pondok pesantren 'Dar al-Nahdlatain Nahdlatul Wathan'. Istilah 'Nahdlatain' beliau ambil dari kedua madrasah tersebut. Beliau aktif berdakwah keliling desa di Pulau Lombok sekaligus mengajar.

Pada tahun 1952, madrasah-madrasah cabang NWDI-NBDI yang didirikan oleh para alumni di berbagai daerah telah berjumlah 66 buah. Maka untuk mengkoordinir, membina dan mengembangkan madrasah-madrasah cabang tersebut beserta seluruh amal usahanya, al-Mukarram Maulana Asy-Syeikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan yang bergerak di dalam bidang pendidikan, sosial dan dakwah islamiyah pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1372 H/1 Maret 1953 M. sampai dengan tahun 1997 ini lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola oleh Organisasi Nahdlatul Wathan telah berjumlah 747 buah dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi, begitu juga lembaga sosial dan dakwah islamiyah Nahdlatul Wathan berkembang dengan pesat bukan hanya di NTB melainkan juga diberbagai daerah di Indonesia seperti NTT, Bali, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, Riau, Sulawesi, Kalimantan, bahkan sampai ke mancanegara seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan lain sebagainya.

Pada zaman penjajahan, al-Mukarram Maulana Asy-Syeikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga menjadikan madrasah NWDI dan NBDI sebagai pusat pergerakan kemerdekaan, tempat menggembleng patriot-patriot bangsa yang siap bertempur melawan dan mengusir penjajah. Bahkan secara khusus al-Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid bersama guru-guru Madrasah NWDI-NBDI membentuk suatu gerakan yang diberi nama "Gerakan al-Mujahidin". Gerakan al-Mujahidin ini bergabung dengan gerakan-gerakan rakyat lainnya di Pulau Lombok untuk bersama-sama membela dan mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan Bangsa Indonesia. Dan pada tanggal 7 Juli 1946, TGH. Muhammad Faizal Abdul Majid adik kandung Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid memimpin penyerbuan tanksi militer NICA di Selong. Namun, dalam penyerbuan ini gugurlah TGH. Muhammad Faisal Abdul Madjid bersama dua orang santri NWDI sebagai Syuhada' sekaligus sebagai pencipta dan penghias Taman Makam Pahlawan Rinjani Selong, Lombok Timur.

Al Mukkarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid sebagai ulama' pemimpin umat, dalam kehidupan bermasyarakt dan berbangsa telah mengemban berbagai jabatan dan menanamkan berbagai jasa pengabbeliaun, di antaranya:

  • Pada tahun 1934 mendirikan pesantren al-Mujahidin
  • Pada tahun 1937 mendirikan Madrasah NWDI
  • Pada tahun 1943 mendirikan madrasah NBDI
  • Pada tahun 1945 pelopor kemerdekaan RI untuk daerah Lombok
  • Pada tahun 1946 pelopor penggempuran NICA di Selong Lombok Timur
  • Pada tahun 1947/1948 menjadi Amirul Haji dari Negara Indonesia Timur
  • Pada tahun 1948/1949 menjadi anggota Delegasi Negara Indonesia Timur ke Arab Saudi
  • Pada tahun 1950 Konsulat NU Sunda Kecil
  • Pada tahun 1952 Ketua Badan Penaseha Masyumi Daerah Lombok
  • Pada tahun 1953 mendirikan Organisasi Nahdlatul Wathan
  • Pada tahun1953 Ketua Umum PBNW Pertama
  • Pada tahun 1953 merestui terbentuknya parti NU dan PSII di Lombok
  • Pada tahun 1954 merestui terbentuknya PERTI Cang Lombok
  • Pada tahun 1955 menjadi anggota Konstituante RI hasil Pemilu I (1955)
  • Pada tahun 1964 mendiriakn Akademi Paedagogik NW
  • Pada tahun 1964 menjadi peserta KIAA (Konferensi Islam Asia Afrika) di Bandung
  • Pada Tahun 1965 mendirikan Ma'had Dar al-Qu'an wa al-Hadits al-Majidiyah Asy-Syafi'iyah Nahdlatul Wathan
  • Pada tahun 1972-1982 sebagai anggota MPR RI hasil pemilu II dan III
  • Pada tahun 1971-1982 sebagai penasihat Majlis Ulama' Indonesia (MUI) Pusat
  • Pada tahun 1974 mendirikan Ma'had li al-Banat
  • Pada Tahun 1975 Ketua Penasihat Bidang Syara' Rumah Sakit Islam Siti Hajar Mataram (sampai 1997)
  • Pada tahun 1977 mendirikan Universitas Hamzanwadi
  • Pada tahun 1977 menjadi Rektor Universitas Hamzanwadi
  • Pada tahun 1977 mendirikan Fakultas Tarbiyah Universitas Hamzanwadi
  • Pada tahun 1978 mendirikan STKIP Hamzanwadi
  • Pada tahun 1978 mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Syari'ah Hamzanwadi
  • Pada tahun 1982 mendirikan Yayasan Pendidikan Hamzanwadi
  • Pada tahun 1987 mendirikan Universitas Nahdlatul Wathan Mataram
  • Pada tahun 1987 mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Hamzanwadi
  • Pada tahun 1990 mendirikan Sekolah Tinggi Ilamu Dakwah Hamzanwadi
  • Pada tahun 1994 mendirikan Madrasah Aliyah Keagamaan putra-putri
  • Pada tahun 1996 mendirikan Institut Agama Islam Hamzanwadi
Oleh karena jasa-jasa beliau itulah, maka pada tahun 1995 belau beliaunugerahi Piagam Penghargaan dan medali Pejuang Pembangunan oleh pemerintah. Disamping itu, al-Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid selaku seorang mujahid selalu berupaya mengadakan inovasi dalam gerakan perjuangannya untuk meningkatkan kesejahteraan ummat demi kebahagian di dunia maupun di akhirat.

Di antara inovasi/rintisa-rintisan beliau adalah menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran agama Islam di NTB dengan sistem madrasi, membuka lembaga pendidikan khusus untuk wanita, mengadakan ziarah umum Idul Fitri dan Idul Adha dengan mendatangai jamaah di samping didatangi, meyelenggarakan pengajian umum secara bebas, mengadakan gerakan doa dengan berhizib, mengadakan syafa'at al-kubro, menciptakan tariqat, yakni tariqat Hizib Nahdlatul Wathan, membuka sekolah umum disamping sekolah agama (madrasah), menyusun nazam berbahasa Arab bercampur bahasa Indonesia, dan lain-alin.

Sebagai seorang Ulama' mujahid beliau telah memberikan keteladanan yang terpuji. Seluruh sisi kehidupan beliau, beliau isi dengan perjuangan memajukan agama, nusa dan bangsa. Tegasnya, tiada hari tanpa perjuangan. Itulah yang senantiasa terlihat dan terkesan dari seluruh sisi kehidupan beliau yang patut dicontoh dan diteladani oleh seluruh pengikut dan murid beliau.

Karya

Al-Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid selaku ulama' pewaris para Nabi, di samping menyampaikn dakwah bi al-hal wa bi al-lisan, juga tergolong penulis dan pengarang yang produktif. Bakat dan kemampuan beliau sebagai pengarang ini tumbuh dan berkembang sejak beliau masih belajar di Madrasah Shaulatiyah Mekah. Namun karena banyaknya dan padatnya kegiatan keagamaan dan keasyarakatan yang harus diisi maka peluang dan kesempatan untuk memperbanyak tulisan tampaknya sangat terbatas. Kendatipun demikian di tengah-tengah keterbatasan waktu itu, beliau masih sempat mengarang beberapa kitab, kumpulan doa, dan lagu-lagu perjuangan dalam bahasa Arab, Indonesia dan Sasak.

Dalam Bahasa Arab

  • Risalah al-Tauhid
  • Sullam al-Hija Syarah Safinah al-Naja
  • Nahdlah al-Zainiah
  • At Tuhfah al-Amfenaniyah
  • Al Fawakih al-Nahdliyah
  • Mi'raj al-Shibyan ila Sama'i Ilm al-Bayan
  • Al-Nafahat ‘ala al-Taqrirah al-Saniyah
  • Nail al-Anfal
  • Hizib Nahdlatul Wathan
  • Hizib Nahdlatul Banat
  • Tariqat Hizib Nahdlatul Wathan
  • Shalawat Nahdlatain
  • Shalawat Nahdlatul Wathan
  • Shalawat Miftah Bab Rahmah Allah
  • Shalawat al-Mab'uts Rahmah li al-‘Alamin

Dalam Bahasa Sasak dan Indonesia

  • Batu Ngompal
  • Anak Nunggal
  • Taqrirat Batu Ngompal
  • Wasiat Renungan Masa I dan II

Nasyid / Lagu Perjuangan

  • Ta'sis NWDI
  • Imamuna al-Syafi'i
  • Ya Fata Sasak
  • Ahlan bi Wafid al-Zairin
  • Tanawwar
  • Mars Nahdlatul Wathan
  • Bersatulah Haluan
  • Nahdlatain
  • Pacu Gama'
  • Surat Waqiah
  • …dan lain sebagainya.


Wafat

Tarikh akhir 1997 menjadi masa kelabu Nusa Tenggara Barat. Betapa tidak, hari Selasa, 21 Oktober 1997 M / 18 Jumadil Akhir 1418 H dalam usia 99 tahun menurut kalender Masehi, atau usia 102 tahun menurut Hijriah. Sang ulama karismatis, Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, berpulang ke rahmatullah sekitar pukul 19.53 WITA di kebeliauman beliau di desa Pancor, Lombok Timur. Tiga warisan besar beliau tinggalkan: ribuan ulama, puluhan ribu santri, dan sekitar seribu lebih kelembagaan Nahdlatul Wathan yang tersebar di seluruh Indonesia dan mancanegara.

Beliau adalah ulama pewaris para nabi. Beliau sangat berjasa dalam mengubah masyarakat NTB dari keyakinan semula yang mayoritas animisme, dan dinamisme menuju masyarakat NTB yang islami. Buah perjuangan beliau jugalah yang menjadikan Pulau Lombok sehingga dijuluki Pulau Seribu Masjid. Karena di seluruh kampung di Lombok pasti kita temukan masjid untuk tempat ibadah dan acara sosial, baik yang berukuran kecil maupun besar.

Perjuangan beliau dalam menegakkan syiar Islam dan pendidikan di bumi Indonesia tidak boleh terhenti begitu saja, namun harus terus dilanjutkan oleh siapa saja, baik umat muslim Indonesia secara keseluruhan dan masyarakat Sasak pada umumnya, maupun oleh kader-kader Nahdlatul Wathan yang telah dididik melalui lembaga-lembaga pendidikan Nahdlatul Wathan serta seluruh warga Nahdlatul Wathan (abituren, pencinta dan simpatisan) pada khususnya.

Akhirnya, memperhatikan seluruh riwayat kelahiran, pendidikan, dan perjuangan Maulana Syaikh Zainuddin Abdul Madjid baik untuk masyarakatnya dan negaranya, sehingga tokoh-tokoh daerah setempat setuju dan berusaha memperjuangkan Beliau [5] agar beliau bisa diangkat sebagai Pahlawan Nasional dalam bidang Pendidikan dan Gerakan Kepemudaan. Pada hari Kamis, 9 November 2017 bertempat di Istana Negara, beliau dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 115/TK/Tahun 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional. Empat tokoh yang dianugerahi Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo yakni almarhum Tuan Guru Kiai Haji (TKGH) Muhammad Zainuddin Madjid asal Lombok Nusa Tenggara Barat, almarhumah Laksamana Malahayati asal Aceh, almarhum Sultan Mahmud Riayat Syah asal Kepulauan Riau, dan almarhum Prof. Drs. Lafran Pane asal Daerah Istimewa Yogyakarta.
Rabu, 11 November 2020 0 komentar

Do’a Agar Diberikan Keberanian

بسم الله الرّحمن الرّحيم

اللّٰهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ ، وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدُّنْيَا ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ

Allahumma Inni A’udzu Bika Minal Jubni, Wa A’udzu Bika An Arudda Ilaa Ardzalil ‘Umur, Wa A’udzu Bika Min Fitnatid Dunyaa, Wa A’udzu Bika Min ‘Adzabil Qodbri

Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari lemah melakukan ibadah yang mulia, aku meminta perlindungan pada-Mu dari keadaan tua yang jelek, aku meminta perlindungan pada-Mu dari tergoda syahwat dunia (sehingga lalai dari kewajiban), aku meminta perlindungan pada-Mu dari siksa kubur


Senin, 02 November 2020 0 komentar

Peristiwa Bulan Asyura' / Tragedi Karbala

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Makam Sayyidina Al-Imam Husein


Pedoman bagi Ahluss Sunnah Wal Jamaah mengenai tragedi yang menimpa Sayyidina Husein yang tak lain beliau adalah seorang Ahlul bait dan beliau adalah Cucu Kesayangan dari Baginda Nabi Muhammad SAW yang juga merupakan kakak dari Sayyidina Al-Imam Hasan.

Sayyidina Al-Imam Husein lahir ditanah suci Madinah Al-Munawwarah 3 Sya'ban 4 Hijriah dari pasangan Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Siti Fatimah Az-zahrah, saat kelahirannya dibantu oleh salah satu sahabat dari kalangan Anshar yang bernama Asma binti Umais.

Peristiwa karbala ini sejatinya telah diramalkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW saat pertama kali menggendongnya, beliau tampak bahagia dengan kelahiran cucunya tersebut dan kemudian meneteskan air mata hingga sahabat Asma yang menyaksikan terheran dan bertanya "Ya Nabi Allah kenapa engkau menangis?", dan beliau menjawab "karena malaikat jibril turun kebumi dan memberitahukan kepadaku tentang kematian Sayyidina Husein yang kelak akan dibunuh oleh umatku yang durhaka, dan malaikat jibril juga memberitahukan tanah tempat kematiannya", namun peristiwa disimpan oleh baginda Nabi Muhammad dan tidak diceritakan kepada ibunda Husein yang melainkan putri kesayangannya Sayyidah Fatimah, karena baru saja mempertaruhkan nyawanya dan diliputi rasa bahagia setelah berhasil melahirkan putranya.

Ilustrasi Madinah Al-Munawwarah Masa Lalu

Dalam sebuah kitab At-Tarikh Al-Kamil milik Ibnu Katsir diriwayatkan bahwa Nabi pernah menceritakan kejadian tersebut kepada salah satu istrinya Ummu Salamah, beliau menunjukkan sebongkah tanah berwarna kekuningan dan berpesan kepadanya "simpanlah tanah ini apabila suatu saat berubah warna merah, maka ketahuilah bahwa Al-Husein telah meninggal dunia karena dibunuh", dan tepat pada tanggal 10 Muharram 57 H /677 M Ummu Salamah melihat tanah itu berubah menjadi merah dan beliau menjadi orang pertama yang mengetahui perihal terbunuhnya Al-Husein, dari mulutnya pula berita ini menyebar keseluruh kota dan menggemparkannya.

Sejak kelahirannya, seisi langit menyambutnya dan memancarkan cahaya kesuciannya, dan seisi bumi diliputi rahmatnya dan semerbak bau wangi yang ditaburkan para malaikat. Kisah kehidupan dan kematiannya merupakan gambaran yang indah dari insan yang mulia, sifatnya yang penuh pengorbanan membuatnya terbunuh syahid demi menghindari peperangan darah beliau rela turun dari tahta kekhalifahan demi meninggikan bendera Islam, jiwanya tenteram dan bersih, walaupun begitu kedudukannya yang tinggi tidaklah berkurang dikalangan orang-orang shalih, layaklah beliau menyandang gelar sebagai Cucu Baginda Nabi Muhammad SAW dan Putra dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib seorang pemimpin yang memiliki gelar gudangnya ilmu Suami dari Sayyidah Siti Fatimah Az-Zahrah wanita berparas indah putri kesayangan Nabi Muhammad SAW.

Al-Husein menghabiskan masa kecilnya di kota Madinah, Rasulullah begitu mencintainya hingga kecintaan tersebut digambarkan oleh Usamah ibn Zahid dalam peristiwa yang disaksikannya sendiri, Usamah bertanya mengenai perihal keduanya, maka baginda Nabi Muhammad menjawab "Kedua anak ini adalah anakku dan anak putriku, sungguh aku mencintainya keduanya, maka cintailah keduanya, dan cintailah orang yang mencintai keduanya."

Tiang Masjid Nabawi. (Al-Husein sering berada di rumah Rasulullah dan di lingkungan masjid ini)
Dalam pertumbuhannya Al-Husein hidup dalam lingkungan kenabian dan banyak peristiwa jihad, beliau ditinggal wafat kakeknya Baginda Nabi Muhammad SAW saat berusia 6 tahun 7 bulan 7 hari, ketika itu penduduk kota Madinah diliputi rasa duka yang mendalam, Bahkan Sayyidina Umar bin Khattab RA berseru kepada semua orang "Barangsiapa berkata bahwa Muhammad telah mati, akan aku tebas dengan pedangku" dan peristiwa itu disaksikan oleh Al-Husein dan menumbuhkan jiwa besarnya, dan ketika memasuki masa remaja beliau juga menjadi anggota barisan para pejuang ikut dalam beperang bersama ayahnya Sayyidina Ali dalam perang jamal, perang shiffin, dan perang melawan khawarij.

Ayahnya, Sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah pemimpin perang yang berwawasan jauh, Allah memberinya pengetahuan dan ilham terhadap perkara yang sulit dan tidak dapat dijangkau oleh semua orang, sehingga Rasulullah menyebutnya Gudangnya Ilmu, hingga suatu hari beliau keluar dari madinah menuju kufah, saat sampai karbala ia memandang sebuah tanah dengan pandangan yang amat duka dan berkata "Disinilah tempat pemberhentiannya, dan disinilah darahnya akan tumpah" orang-orang disekitarnya tak mengetahui maksud dari perkataan sedih tersebut, sampai beberapa tahun berlangsung dan terjadilah peristiwa tersebut.

Pengkhianatan Yang Menyakitkan

Masjid Umayyah Damaskus, Syria
Setelah sepeninggal Rasulullah kekhalifahan Islam terbagi menjadi dua satu dipimpin oleh Sayyidina Ali dan satu lagi Muawiyah, semua itu terjadi dikarenakan pemberontakan Muawiyah yang masih termasuk keluarga dari Khalifah Utsman bin Affan yang sebelumnya menjabat gubernur damaskus. Saat Imam Ali Syahid karena terbunuh, maka terbukalah kesempatan Muawiyah menuju jenjang kekuasaan, Demi kutuhan umat Islam Al-Hasan bin Ali yang menggantikan kedudukan sang ayah berkompromi dan mengalah kepada Muawiyah dengan menyerahkan kekuasaan kepadanya agar Islam bersatu kembali, Tapi belakangan Imam Hasan justru diracun oleh seseorang hingga wafat pada tahun 50 Hijriah / 630 Masehi.

Setelah kejadian itu banyak yang mendorong Imam Husein melakukan sesuatu untuk memberontak kekhalifahan Muawiyah, di sisi lain muawiyah tidak terlalu memperdulikan isu pemberontakan itu yang didengarnya dari gubernur Hijaz Marwan bin Hakam dan menyuruhnya mendekati Imam Husein dengan baik-baik.

Kekacauan bermula saat masa akhir kekhalifahannya, Muawiyah menuruti saran Mughirah seorang Gubernur di Basrah, ia mengangkat Yazid sebagai penggantinya dan mengawali sistem pemerintahan monarki dalam Islam karena Yazid adalah anak dari Muawiyah dan melanggar perjanjian yang pernah disepakati antara Muawiyah dan Imam Al-Hasan yang menyerahkan kekuasaanya agar menjadi satu kembali dengan syarat bahwa pengangkatan khalifah berikutnya harus dilakukan secara demokratis, dengan pengangkatan Yazid sebagai Khalifah agar tidak terbentuk sebuah dewan pemilihan.

Dengan kejadian ini menimbulkan banyak keresahan karena selain Yazid adalah orang yang mementingkan kehidupan duniawi dia juga tidak dekat dengan Ulama, namun dia dengan licik berusaha memperkuat kekuasaanya dengan mendekati para ulama untuk meminta sumpah setianya, termasuk Imam Husein, secara bersamaan tiga sahabat yang cukup berpengaruh, yaitu Abudllah bin Umar, Abdurrahman bin Abu Bakar, dan Abdullah bin Zubair yang secara terang-terangan menolak yazid.

Melalui walid bin Utbah, gubernur Madinah yazid memerintahkan agar menyuruh seluruh penduduk Madinah untuk membaiatnya, mereka yang menolak akhirnya menyingkir ke Mekkah, selama di Mekkah sayyidina Husein menerima surat dari utusan orang kufah agar bersedia datang untuk menerima baiat dari mereka, tapi Sayyidina Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar menasehati agar tidak datang karena mengetahui bagaimana sifat orang kufah dan sebagian orang Irak yang suka berkhianat, namun Sayyidina Husein berbaik sangka kepada orang yang mengiriminya surat dan tetap mendatangi kufah.

Rute Perjalanan Imam Husein Dari Mekkah Menuju Karbala.

Kemudian berangkatlah Sayyidina Husein dari Mekkah menuju Kuffah pada hari Tarwiyah dan sepupunya yang bernama Muslim bin Aqil bin Abu Thalib telah berangkat terlebih dahulu, dan akhirnya Sayyidina Husein dibaiat oleh orang kufah sebanyak kurang lebih 12.000 orang.

Tidak lama kemudian mereka terpecah saat kejadian baiat ini diketahui oleh Ubaidillah bin Ziyad penguasa kufah yang merupakan bawahan Yazid bin Muawiyah, kemudian Ubaidillah menangkap Muslim bin Aqil dan membunuhnya, dan berita ini sampai kepada Sayyidina Husein ketika berada di dekat Qadisiyah, kemudian saudara-saudara Muslim berkata "Kita tidak akan kembali hingga kita menuntut balas atas kematian saudara kita Muslim bin Aqil", Lalu Sayyidina Husein berkata "Tidak ada lagi keuntungan hidup sepeninggal kalian".

Kemudian Sayyidina Husein menceritakan perihal tersebut kepada orang yang menyertainya dan mengatakan barang siapa hendak pergi, maka pergilah dari sekarang, dan mereka memisahkan diri sehingga tersisa sahabat-sahabatnya yang datang dari Mekkah, mereka berjumlah 70 orang diantaranya 30 Orang menunggangi kuda.

Ketika itu Ubaidillah bin Ziyad mengirim komandan pasukannya bernama Hushain bin Tamim At-Tamimi disertai pasukan berkuda untuk mengepung Sayyidina Husein agar tidak kemana-mana di Qadisiyah, kemudian Ubaidillah mengirimkan lagi 1.000 orang pasukan berkuda yang dipimpin oleh Hur bin Yazid At-Tamimi untuk menyusul Sayyidina Husein dan berhenti dihadapannya, peristiwa ini terjadi tengah hari.

Sayyidina Husein kemudian berkata kepada mereka "Wahai manusia, ketahuilah bahwa ini alasanku kepadamu dan kepada Allah, sesungguhnya aku tidak akan mendatangi kalian seandainya surat-surat kalian dan orang utusan kalian dari kufah tidak datang ke tempatku, mereka telah mengundangku untuk datang ketempatnya di kufah dengan alasan tidak mempunyai Imam dan semoga lewat surat ini Allah SWT menyatukan kami di atas petunjuknya, dan aku sekarang telah mendatangi kalian memenuhi panggilan surat tersebut, bilaman kalian tidak senang terhadap kedatanganku maka aku siap kembali". Mereka terdiam mendengar pernyataan Sayyidina Husein dan membuat Hur bin Yazid menjadi ragu, nuraninya ingin membela Sayyidina Husein tapi ia bimbang mengingat dia diperintahkan Ubaidillah bin Yazid Gubernur Kufah dan memiliki pasukan yang kuat untuk mengirim Imam Husein ke karbala, sekitar 25 mil arah timur laut dari kufah.

Masjid Imam Husein di Kota Karbala, Irak (Pembantaian itu menjadi noda paling hitam dalam sejarah Islam)

Kemudian seorang dari pihak Sayyidina Husein mengumandangkan Adzan , lalu melaksanakan shalat Dzuhur berjamaah dan Hur bin Yazid beserta pasukannya ikut shalat didalamnya dan kembali ke posisi semula setelah shalat dzuhur, sampai setelah shalat ashar Sayyidina Husein mendatangi mereka dan berkata "Bila kalian semua bertaqwa kepada Allah SWT serta mengetahui hak seseorang maka hal itu membuat Allah ridha, kami para Ahlul bayt lebih utama memimpin daripada mereka yang berjalan dengan sikap sombong dan penuh kedzaliman, karena itu jka kalian tidak senang kepada kami, dan bersikap masa bodoh terhadap hak kami dan kalian berubah pikiran tidak seperti isi surat kalian kepada kami kapan hari, aku siap pergi meninggalkan kalian" lalu Sayyidina Husein mengeluarkan dua wadah yang penuh dengan lembaran surat-surat dari mereka lalu dihamburkannya dihadapan mereka.

Lalu Hur bin Yazid berkata : " Sesunggunya kami telah mendapat perintah jika kami menemukan tuan kami harus membawa tuan ke kufah untuk menghadap Ubaidillah bin Ziyad dan tidak melepaskan tuan dan bersedia tunduk dibawah perintah Ubaidillah bin Ziyad". Tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh Sayyidina Husein RA. Tidaklah pantas seorang cucu Rasulullah SAW serta putra seorang Khalifah menyerahkan diri begitu saja. Kemudian bertekad untuk berperang karena dengan ijtihadnya berada dalam kebenaran, Sayyidina Husein berkata : "Kami telah ditelantarkan oleh para pengikut kami, karena itu barang siapa diantara kalian ingin pergi meninggalkan kelompok kami hendaklah pergi tanpa ada yang mempermasalahkan dan tanpa mendapat kecaman dari pihak kami." maka kebanyakan mereka memisahkan diri sehingga tersisa orang yang benar-benar setia dan kebanyakan dari mereka dari kalangan Ahlul bayt.

Kemudian Sayyidina Husein bergerak untuk tetap meninggalkan Qadisiyah dan dibelakangnya di ikuti Hur bin Yazid yang mengiringinya dan terus mencegah Sayyidina Husein untuk tidak kembali pulang.

Tiba hari Jumat tanggal 3 Muharram tahun 61 Hijriah / 15 Oktober 680 Masehi, datanglah Umar bin Sa'ad bin Abi Waqas dari kufah dengan di iringi 4.000 pasukan berkuda, dan kebanyakan mereka terdiri dari orang-orang yang mengirim surat kepada Sayyidina Husein untuk datang ke kufah dan membaiatnya.

Kemudian Umar mengirimkan utusannya untuk menanyakan kedatangannya ke kufah, maka Sayyidina Husein menjawab "Orang-orang kalianlah yang mengirimi aku surat untuk datang ke kufah, maka aku melakukannya, jika kalian tidak suka terhadap itu, sungguh aku siap pergi dari tempat kalian."

Umar bin Sa'ad kemudian mengirimkan laporan kepada Ubaidillah bin Zayid mengenai hal itu, maka dibalaslah surat Umar tersebut oleh Ubaidillah bin Zayid yang berisi "Jika Sayyidina Husein mau membaiat Yazid maka kami akan menentukan sikap, jika tidak bersedia halangilah mereka dari tempat air." dan menyebabkan selama empat hari (7-10 Muharram) rombongan mereka kehausan, sampai-sampai membuat Hur bin Yazid terharu dan tersentuh hatinya melihat cucu Baginda Nabi Muhammad sengsara, lunglai, kehausan dan kelaparan.

Umar bin Yazid kembali melakukan perundingan dengan Sayyidina Imam Husein dan melaporkannya kepada Ubaidillah bin Zayid, dirasa Ubaidillah terlalu berbelas kasihan maka dikirimlah Syamir bin Dzil Jausyan untuk datang memperingatkan Umar agar melaksanakan tugas secepatnya yatitu membawa Sayyidina Husein dan rombongannya menghadap Ubaidillah bin Zayid dan tunduk terhadapnya, dan apabila menolak ia harus diperangi, Selain itu Ubaidillah juga berkata kepada Syamir "Jika umar bin Sa'ad mau melakukan apa yang kuperintahkan, dengarkanlah perintahnya, jika ia membangkang engaku ambil alih kepemimpinannya dan tebaslah lehernya".

Selain itu Syamir juga membawa sebuah surat dari Ubaidillah bin Zayid untuk Umar bin Sa'ad "sesungguhnya aku mengirim kamu bukan untuk membiarkannya dan tidak pula memberinya harapan dan memperpanjang kesempatannya, dan tidak pula supaya kamu berlutut dihadapanku guna memintakan pertolongannya, hadapkanlah Husein dan pengikutnya kehadapanku dan bersedia tunduk dibawah perintahku, maka apabila ia menolak seranglah mereka sehingga kamu dapat membunuh mereka dan cacahlah tubuh-tubuh mereka, karena sesungguhnya mereka layak menerima itu. kemudian jika Husein telah dibunuh injaklah dada dan punggungnya dengan kuda-kuda kalian, jika kamu sanggup melaksanakan maka akan kami beri balasan, tapi jika tidak tinggalkanlah pasukanmu dan serahkanlah urusanmu kepada Syamir."

Pedang yang seharusnya digunakan untuk menegakkan agama justru dipakai membunuh ahlul bayt (Ilustrasi)

Semua Putra Imam Husein Terbunuh Kecuali Ali Ausath

ketika perintah ini diterima oleh Umar bin Sa'ad segera dia mempersiapkan pasukannya dan meberitahu Sayyidina Husein mengenai isi surat dari Ubaidillah bin Ziyad, kemudian Sayyidina Husein meminta penundaan sampai besok pagi, maka dimalam hari semua kelompok Sayyidina Husein menjalankan Qiyamul lail. kemudian setelah shalat subuh Umar bin Sa'ad memulai peperangan dan mengepung Sayyidina Husein dari semua penjuru.

Sayyidina Husein berseru : "Wahai orang kufa aku tidak pernah melihat orang yang paling berkhianat seperti kalian semua, kalian telah berteriak-teriak kepada kami, lalu kami mendatangi kalian, lalu kalian cepat-cepat membaiat kami secepa lalat. Dan ketika kami telah berada diantara kalian , kalian langsung bertebaran menjauhkan diri seperti laron-laron yang berhamburan. Kalian menghadapi kami dengan hunusan pedang layaknya musuh-musuh kami, padahal tidak ada dosa yang kami perbuat kepada kalian. Ingatlah... laknat Allah SWT pasti menimpa orang-orang yang Dhalim. Sungguh jelek kalian dan sungguh celaka sekali, binasalah kalian... binasalah...." kemudian terjadilah perang sampai waktu Dzuhur dan berhenti untuk melaksanakan shalat kemudian berperang kembali sesudahnya, dan pengikutnya sudah banyak yang gugur, Satu demi satu sahabat, saudara, sepupu, Sayyidina Husein wafat sebagai Syuhada.

Yang mula-mula gugur antara lain Ali Akbar bin Imam Husein, Abdullah bin Ja'far, Qasim bin Husein. Hur bin Ziyad yang tadinya berada di pihak lawan akhirnya membelot dan membela Sayyidina Husein dan berseru "Wahai putra Rasulullah, saya adalah orang pertama melawan kalian tapi sekarang saya di pihak kalian mudah-mudahan saya bisa mendapat syafaat dari kakekmu." lalu ia berperang mati-matian sampai terbunuh.

Peta pertempuran karbala yang sangat tidak seimbang dan tidak adil (Ilustrasi)
Akhirnya tinggallah Sayyidina Husein bersama bayinya Ali Al-Asghar, lalu bayi ini menangis karena kehausan maka Sayyidina Ali berjalan menuju lawannya sambil menggendong bayinya lalu menyampaikan maksudnya, pasukan Yazid bukan memberi bayi tersebut minum mereka justru memanah sang bayi tak berdosa itu sampai wafat.

Dengan perasaan campur aduk sedih, dan marah, Imam Al-Husein menggendong Ali Al-Asghar yang berdarah-darah ke pangkuan ibunya Syahr banu, lalu kembali melawan musuhnya sampai mereka berhasil melemahkannya dengan luka-luka yang banyak. saat itu Imam Husein merasa sangat kehausan, sehingga jatuh ke tanah. Lalu seorang lelaki dari kindah menyerangnya dengan pedang tepat mengenai kepalanya. Darah mengalir dari kepalanya dan Sayyidina Husein mengambil darah di kepalanya dan menuangkan di tanah sambil berkata "Ya Allah, jika engkau menahan pertolonganmu hari ini kepadaku, jadikanlah ini yang terbaik buat kami dan balaslah mereka yang dhalim ini."

Sayyidina Husein sangat kehausan dan mendekati mata air untuk minum tapi Hushain bin Tamim langsung memanahnya tepat mengenai mulutnya, maka Sayyidina Husein berkata "Ya Allah bunuhlah Hushain dengan kehausan." tidak lama setelah peperangan Hushain merasakan panas didalam perutnya dingin dibelakang punggungnya, sehingga es dan kipas didepannya dan perapian di punggungnya, dan kemudian meninggal beberapa lama setelahnya.

Ketika merasa tubuhnya lemah sekali maka Sayyidina Husein berdoa "Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepadamu terhadap perlakuan yang diberikan kepada cucu Nabimu. Ya Allah, hitunglah jumlah mereka dan binasakan mereka dan jangan disisakan."

Seketika itu musuh menyerangnya dari segala arah, Shar'ah bin Syarik At-Tamimi memukul telapak tangan kiri Sayyidina Husein dengan pedang, kemudian Sinan bin Atsan An-Nakha'i menusuk dengan tombak, kemudian yang memenggal kepalanya adalah Syamir bin Dzil Jausyan dan membawanya kehadapan Ubaidillah bin Ziyad, serta menginjak-injak tubuhnya dengan kuda seperti yang telah diperintahkan.

Ketika Umar bin Sa'ad membawa kepala Sayyidina Husein saat beristirahat pasukannya memainkan kepalanya, bahkan terkadang ditancapkan ke tombaknya, sampai ada seorang pendeta Nashrani bertanya kepada mereka, "Kepala siapa yang kau bawa itu?" lalu mereka menjawab "Ini adalah kepala Al-Husein putri Siti Fatimah dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, mendengar itu pendeta tersebut marah dan mengutuk mereka dan meminta agar kepalanya diperbolehkan bermalam di biaranya sehari dengan upah 10.000 dinar, tentu saja permintaan tersebut dikabulkan, dan saat malam hari pendeta ini membersihkan luka-lukanya dan kotorannya lalu ditaburi wangi-wangian dan diletakkan dipangkuannya sambil menangis, esoknya dia menjadi seorang muslim karena semalam telah melihat cahaya yang memancar dari kepala Sayyidina Husein, dan memutuskan keluar dari biara dan menjadi pelayan Ahlul Bayt.

Enam dari tujuh anak Sayyidina Husein meninggal di padang karbala, juga istrinya Syahr Banu, mereka adalah Ali Al-Akbar, Ali Ausath, Ali Al-Asghar, Abdullah, Sakinah, Fatimah, Zainab sedangkan Zainab bibinya meninggal di tenda saat melindungi Ali Zainal Abidin yang tengah sakit di tenda, dan saat pasukan menyerbu tendanya Zainab berteriak dengan gigih melindungi Ali Zainal Abidin "Apakah kalian tidak menyisakan satu lelakipun dari keluarga kami?." lalu pasukan tersebut meninggalkan tenda tersebut menyisakan Ali Zainal Abidin dan menjadikannya satu-satunya keturunan  Rasulullah SAW yang selamat dan meneruskan keturunannya dari jalur Husein hingga menyebar ke seluruh pelosok negri, dimana di Indonesia keturunan ini akrab disebut dengan Habib atau Habaib.

Tubuh imam Husein dimakamkan di karbala, sedangkan kepalanya di pemakaman Baqi, Madinah di sisi kakaknya Sayyidina Hasan dan ibunya Sayyidah Fatimah.

Balasan Terhadap Mereka

Didalam kitabnya Ash-Shawaiq Al-Muhriqah menjelaskan bahwa setelah tragedi tersebut tidak ada satupun orang yang selamat dari siksa dunia, mereka mati terbunuh, buta, dan banyak sekali adzab yang diturunkan Allah kepada mereka sehingga banyak yang mati secara tidak wajar. Dalam karyanya yang lain Ibnu Hajar mengkisahkan tentang pembunuh yang membawa kepala Sayyidina Husein kepada Ubaidillah bin Ziyad dan mengharapkan imbalan yang sangat besar dan bersyairlah 

Akan kupenuhi kantongku dengan emas dan perak
sebagai ganjaran membunuh raja yang tak bermahkota
Seseorang yang pernah shalat di dua kiblat
yang berasal dari keturunan mulia
Akulah pembunuh orang yang terbaik ayah bundanya

mendengar syair itu Ibnu Ziyad marah karena merasa dihina "Kalau kau tahu itu, mengapa kau bunuh dia? Demi Allah kau tidak akan mendapatkan imbalan melainkan aku sertakan engkau dengannya" kemudian memerintahkan pengawal untuk menebas lehernya.

Pesta kemenangan pasukan Ubaidillah bin Ziyad ini juga tidak berlangsung lama, kemenangan yang mereka anggap sebagai keberhasilan memantapkan kekuasaanya di segala penjuru Islam justru menjadi sebaliknya, setelah mengetahui kejadian itu seluruh umat Islam mengecam tindakan tersebut karena telah melampaui batas dan sangat biadab terlebih yang mereka perlakukan seperti itu adalah keluarga dan keturunan Rasulullah SAW.

Yazid bin Muawiyah yang pertama senang dengan kemenanga itu tiba-tiba menjadi murung, teringat nasehat ayahnya "Usahakan sejauh mungkin agar tidak terjadi pertumpahan darah di kalangan umat Islam" dan meramalkan suatu saat akan terjadi tipu daya orang kufah untuk menjebak Husein, maka apabila itu terjadi maka jika kau mempunyai kekuasaan dan wewenang maafkanlah, dia seorang cucu Rasulullah SAW dan masih mempunyai hubungan kekeluargaan dengan kita.

Teringat hal itu Yazid menyadari kesalahannya dan kemarahan umat Islam terus menghantuinya, dan merubah sikapnya, dia pun mulai menghormati dan memperlakukan para keluarga Al-Husein yang masih hidup dengan ramah, walaupun begitu Yazid meninggal dengan cara yang hina yaitu jatuh dari kuda saat mengejar monyet disebabkan patah lehernya, sedang Syamr bin Dzil Jausyan yang ikut membunuh Al-Husein terbunuh oleh Mukhtar bin Abi Ubaid dan melemparkan tubuhnya agar dimakan oleh anjing.

 
;